Friday, July 15, 2016

TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ALQURAN



TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ALQURAN

A.                              Pendahuluan
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai dilakukan.  Dengan kata lain tujuan adalah cita, atau suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam suatu adagium disebutkan ”al-umur bimaqoshidiha yaitu setiap tindakan atau aktivitas harus berorientasi pada tujuan. Dengan berorientasi pada tujuan  maka dapat disusun   segala rencana  kegiatan  yang pada akhirnya kegiatan  tersebut akan mengacu dan terfokos pada  apa yang telah dicita-citakan.
Manusia merupakan homo educandum atau hayawanun  naathiq, yaitu makhluk yang dapat dididik atau hewan yang bertutur kata (berpikir).  Untuk dapat mewujudkan hewan yang mampu berpikir diperlukan adanya pendidikan. Dengan demikian maka pendidikan selalu dimaknai sebagai proses memanusiakan manusia.. 
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Hal ini dikarenakan tujuan pendidikan merupakan faktor yang mewarnai hitam putihnya suatu pendidikan, dan menentukan ke arah mana anak didik akan dibawa.  Karena itu perlu adanya perumusan tujuan pendidikan yang maksimal, tegas, jelas, sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.  Lantas, apakah yang ingin diperoleh dari suatu proses pendidikan?, bagaimanakah tujuan pendidikan menurut Alquran?
Dalam Alquran secara eksplisit memang tidak ditemukan term  tujuan pendidikan, misalnya التعلىم /أغراض التربىّة atau   التعلىم /أهدلف التربىّة,  Akan tetapi, tujuan pendidikan  ini dapat disari dan diinterpretasikan  dari beberapa ayat yang ada, yang meliputi  beberapa aspek, diantaranya aspek tujuan, tugas hidup manusia, dan aspek sifat-sifat dasar manusia. 

Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan pendidikan secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang ada dalam Alquran, juga memadukannya dengan hadis Rasul dan pendapat para pakar pendidikan Islam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realitas kekinian.

A.                  Wawasan Alquran Tentang Tujuan Pendidikan
1.    Terwujudnya hamba yang mengabdi pada Allah (‘abd)
Rumusan terwujudnya hamba yang mengabdi kepada Allah (‘abd), sebagai salah satu tujuan pendidikan Islam, sepintas seperti rumusan tujuan hidup manusia. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa  merumuskan tujuan pendidikan harus berorientasi pada tujuan hidup ini. Diantara ayat yang berkenaan dengan tujuan ini adalah:
a.    Alquran Surat al-Dzariyat (51) ayat 56
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
b.    Alquran Surat al-Anbiya’ (21) ayat 25.[1]
لا إله إلا أنا فاعبدون
Artinya: … Tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
Ibadah berasal dari kata   عبادة - عبد -  يعبد   yang berarti mengesakan, melayani, mematuhi.[2] Ibadah yang merupakan kata serapan dari al-ibadah (العبادة) mempunyai arti yang sama dengan kata al-ubudiyah (العبودية) yaitu menundukkan atau merendahkan diri. Yang melakukan ibadah atau menjalankan ibadah disebut   (العابد) atau hamba.
Kedua ayat di atas menggunakan dhamir mutakallim wahdah/kata ganti orang  pertama tunggal (aku). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan Allah dalam menciptakan manusia tidak melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya.[3] Sehingga  ibadah yang dilakukan oleh jin dan manusia hanya ditujukan kepada Allah semata. Hal ini berbeda misalnya dengan penurunan wahyu, pemberian rezeki, atau turunnya siksa yang melibatkan malaikat, sehingga Allah sering kali menggunakan bentuk jamak (kami).  Sekali lagi di sini penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan semata-mata tertuju kepada-Nya tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah swt. Sehingga al-Qurtubi pun  menafsirkan kata  لِيَعْبُدُوْنِ dengan لِيُوَحَّدُوْنِ    yaitu untuk mengesakan-Ku[4]
Ayat di atas dengan sangat tegas menjelaskan bahwa untuk beribadahlah tujuan jin dan manusia diciptakan.[5] Ibadah pada ayat di atas bukan sekedar aktivitas  ritual keagamaan seperti salat, haji, zakat atau ibadah mahdhah lainnya, tetapi segala aktivitas yang  yang dilakukan dalam rangka ibtigha’ mardhatillah/ mencari ridha Allah. Perbuatan ibadah mahdhah seperti salat,  puasa, zakat dan haji belum memenuhi prinsip ibadah jika dilakukan tanpa kesadaran total yang tersimbolkan dalam niat serta sikap penghambaan dan ketundukan kepada perintah Allah.
Bila demikian halnya, maka sesungguhnya ibadah itu bukan bentuk lahirnya, banyak perkara dunia yang  berubah menjadi amal dunia karena niat. Sebaliknya boleh   jadi  suatu  ritual agama tidak bernilai ibadah bila dilakukan   bukan   karena   Allah,  tetapi   untuk  riya  misalnya.  Dengan  demikian niat sebagai simbol kesadaran dan ketundukan merupakan standar prosedur perbuatan yang menentukan apakah suatu perbuatan bernilai ibadah atau tidak, sebagaimana  sabda Rasulullah saw:
عن عمر بن الخطاب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إنما الأعمال بالنية وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya: Dari Umar bin Khattab ra. dari Nabi saw. ia telah berkata: ”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung kepada niatnya, dan bagi seseorang tergantung apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rosulnya [keridhoannya]. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita maka hijrahnya itu tertuju kepada yang dihijrahkan.”[6]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan hidup seorang hamba adalah untuk mengabdi kepada Allah. Karenanya pendidikan diharapkan dapat mewujudkan  tujuan tersebut. Dengan kata lain bahwa tujuan pendidikan Islam harus selaras dengan pandangan hidup seorang muslim  yaitu “merealisasikan pengabdian pada Allah swt. dalam kehidupan manusia, baik secara individu ataupun kelompok”.[7]
Zamakhsari ketika menjelaskan surah al-Zariyat: 56 menyatakan bahwa ibadah itu merupakan pilihan bagi manusia. Seandainya  Allah ingin agar semua   hambanya  beribadah   kepada-Nya tentu ini tidak sulit

bagi Allah, akan tetapi Allah ingin melihat siapa dari hamba-Nya  yang benar-benar memilih untuk beribadah tanpa  keterpaksaan.[8]
2.    Mempersiapkan individu untuk menjadi khalifah (pemimpin)
Sebagaimana tujuan yang pertama yaitu terwujudnya hamba yang mengabdi kepada Allah, maka rumusan  tujuan yang kedua ini yaitu mempersiapkan individu untuk menjadi khalifah berorientasi pada tugas manusia  secara horizontal di muka bumi,[9] yaitu menjadi pemimpin (khalifatullah fil ardh).  Ayat yang membahas tentang hal ini antara lain:
a.    Alquran Surat al-Baqarah  ayat 30
وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى الأرض خليفة, قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما لا تعلمون
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
b.    Alquran Surat shaad ayat 26
ياداوود إنا جعلتك خليفة فى الأرض فاحكم بين الناس بالحق
Artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
c.       Alquran Surat al-Fathir ayat 39
هو الذى جعلكم خلائف فى الأرض فمن كفر فعليه كفره
Artinya: Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.
d.      Alquran Surat Yunus ayat 14
ثم جعلتكم  خلائف  فى الأرض من بعدهم لننظر كيف تعملون
Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.
e.       Alquran Surat Yunus  ayat 73
وجعلناهم  خلائف  وأغرقناالذين كذبوا  بأياتنا
Artinya: Dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
f.     Alquran Surat al-An’am ayat 165
 وهو الذى جعلكم خلائف الأرض و رفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم فى ما ءاتاكم   
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
g.      Alquran Surat al-A’raf  ayat 69.[10]
واذكروا إذ جعلكم  خلفاء من بعد قوم نوح وزادكم فى الخلق بصطة
Artinya: Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada Kaum Nuh itu).
Khalifah  secara etimologi berarti  y
ang menggantikan,  yaitu menggantikan orang lain, dan mengambil tempatnya.[11]  Khalifah,  dimaksudkan     untuk menggantikan  peran    Allah  dalam   menegakkan kehendak-Nya     dan     menerapkan     ketetapan-ketetapan-Nya.[12]   Kata     khalifah  juga mengacu kepada pengertian  penerima otoritas yang bersumber dari Tuhan.[13] Selain itu kata khalifah juga selalu diartikan sebagai pemimpin atau imam.[14]
Khalifah adalah pengganti. Karena  itu maka manusia  berfungsi sebagai pengganti Allah di muka bumi. Konsekuensi logisnya bahwa manusia harus bisa berfungsi sebagai “perpanjangan tangan-Nya”.  Hal ini bukan karena Allah tidak mampu, atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun Allah bermaksud menguji dan memberikan penghormatan kepada manusia. 
Esensi makna khalifah juga sebagai orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin, mengelola,  memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Menurut  al-Maraghi dipilihnya manusia sebagai khalifah karena  manusia sudah dibekali alat untuk bisa meraih kematangan  secara  sempurna di bidang ilmu pengetahuan. [15]
Khalifah pada ayat-ayat  di atas tidak hanya ditujukan untuk Nabi Adam as. atau nabi-nabi tertentu sebagaimana dalam teks ayat. Namun kata khalifah  juga untuk kaum-kaum sesudah mereka yang sebagian menggantikan   sebagian lainnya di kurun waktu dan generasi yang berbeda.[16] Ini berarti bahwa kekhalifahan  merupakan wewenang yang dilimpahkan Allah kepada  Adam as. dan seluruh manusia.   Agar manusia dapat melaksanakan amanah, dan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka manusiapun dibekali dengan potensi yang menopang untuk terwujudnya peran sebagai khalifah tersebut. Melalui   pendidikan, setiap  potensi  yang dianugerahkan oleh Allah swt.  dikembangkan  secara maksimal  sehingga   pendidikan merupakan   suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasan, namun juga untuk membawa manusia pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Dalam khazanah pemikiran pendidikan, pendidikan Islam bukan sekedar bertujuan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, lebih dari itu pendidikan juga berusaha menggembleng manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama). Sebagaimana dalam  surat al-Furqan ayat: 74
والذين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا اللمتقين إماما
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Dari uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya khalifah-khalifah  yang memiliki kemampuan manajerial untuk mengelola   alam raya ini.
3.     Membina dan memupuk akhlakul karimah
Dalam pendidikan Islam, akhlak  merupakan ruh.  Artinya akhlaklah yang menjadi ukuran keberhasilan dan ketercapaian tujuan pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan ditentukan dari akhlak peserta didiknya. Oleh karena tidak heran bila mayoritas para pakar pendidikan Islam juga menyatakan bahwa membina akhlak yang mulia merupakan salah satu tujuan utama pendidikan Islam.[17]
Pembinaan kepribadian (akhlak) sebagai tujuan pendidikan Islam juga dapat dilihat dari hasil Kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamabad tahun 1980 yang merumuskan sebagai berikut:
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena  itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.[18]
UU RI NO 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS bab 2 pasal 3 menyatakan bahwa:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[19]
Di antara ayat Alquran yang  membahas tentang akhlak adalah:
a.    Alquran  Surah al-Qalam ayat 4
وإنك لعلى خلق عظيم
Artinya: Sesungguhnya  kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
b.    Alquran Surah al-Syu’ara’  ayat 137
إن  هذا إلا خلق الأولين
Artinya: Ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.
Secara bahasa (etimologi), akhlak (الأخلاق)  adalah bentuk jamak dari kata khuluqun (خُلُق)   atau khulqun (خُلْق)  yang berarti agama, tabiat dan perangai.  Ibnu Mandzur menjelaskan bahwa hakikat makna "khuluq" adalah gambaran batin manusia yaitu jiwa dan sifat-sifatnya. [20]   
Secara istilah akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.[21] Al-Ghazali dalam ihya’ ’Ulum al-Din  mengatakan
فالخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة، عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية
Artinya: "Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan." [22]
Senada dengan al-Ghazali Ibnu Miskawaih, mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية
Artinya: Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari)"[23]
Jadi pada hakekatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.
Term al-Khulq(الخلق)  dengan makna akhlak memang hanya terdapat pada dua tempat, yaitu  pada surat al-Qalam ayat 4 dan surah al-Syu’ara ayat 137,  namun  Alquran menjelaskan nilai-nilai akhlak dalam berbagai surah dan ayat. Hal ini disebabkan karena akhlak merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam, bahkan  akhlak yang mulia merupakan indikasi dari kematangan iman seseorang.
Di antara ayat yang berkaitan dengan akhlak antara lain adalah  surat Ali Imran:
فبما رحمة من الله لنت لهم وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فاعف عنهم واستغفرلهم وشاورهم فى الأمرفإذ عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين 
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan tujuan membentuk kepribadian sahabat serta pengikutnya yang terdiri dari berbagai karakter dan sikap. Dengan berpedoman  pada ayat ini semua perjuangan Rasul membuahkan hasil membanggakan  dalam waktu singkat,  terbukti hanya dalam tempo 23 tahun Rasulullah berhasil membentuk sebuah masyarakat Arab jahiliah sebagai masyarakat yang memiliki peradaban dan keimanan serta dimensi kecemerlangan dalam segenap aspek kehidupan.
Banyak lagi ayat-ayat Alquran  yang menjadi penyeru kepada akhlak yang baik, yang meliputi akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya, akhlak terhadap manusia, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap keluarga, akhlak terhadap masyarakat dan akhlak terhadap alam sekitar.[24]
Tidak hanya Alquran yang banyak menyinggung tentang akhlak. Rasul dalam hadisnya  juga  mengingatkan manusia akan pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia, seperti terdapat dalam hadis-hadis berikut ini:
حدثنا محمد بن عمرو، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا، وخياركم خياركم لنسائهم"[25]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Umar dari Abi Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw. mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang baik akhlaknya,dan  sebaik baik kamu adalah yang paling baik kepada istri-istrinya
عن سعد بن هشام بن عامر قال أتيت عائشة فقلت يا أم المؤمنين أخبريني بخلق رسول الله صلى الله عليه و سلم قالت : كان خلقه القرآن أما تقرأ القرآن قول الله عز و جل { وإنك لعلي خلق عظيم }

Artinya: Dari Sa’d Ibn Hisam Ibn Amir, ia berkata aku menemui Aisyah, lalu aku berkata wahai Ummul Mukminin, ceritakan kepadaku  tentang akhlak Rasulullah saw. Lalu ia (Aisyah) berkata Akhlak Rasul itu adalah Alquran, dan beliau membaca  firman Allah  {وإنك لعلي خلق عظيم}[26]
Hadis lain adalah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw. Sesungguhnya aku diutus untuk menempurnakan akhlak [27]
Paparan di atas, jelaslah bahwa akhlak merupakan hal yang sangat penting karena merupakan asas yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika memulai pembentukan masyarakat Islam. Akhlak atau budi pekerti yang mulia merupakan asas yang paling kuat untuk melahirkan manusia yang berhati bersih, ikhlas dalam hidup, amanah dalam tugas, cinta kepada kebaikan dan benci kepada kejahatan. Selain itu akhlak juga dalam pelaksanaannya tidak hanya mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia, akan tetapi juga mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Allah.
4.    Untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat
Tujuan pendidikan  dirancang agar dapat merangkum tujuan  hidup  manusia sebagai  makhluk ciptaan Allah   yaitu keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.  Sebagaimana Al-Ghazali mengatakan agar setiap orang mempelajari ilmu, karena ilmu  itu sebagai  perantara  ke perkampungan akhirat.[28] Tujuan ini hanya akan mungkin dicapai  setelah tahap sebelumnya  diterapkan, yaitu  menempatkan manusia  dalam kehidupannya  sebagai pengabdi (‘abd) Allah yang setia  melalui  tahap penempatan  diri sebagai khalifah Allah di bumi sesuai dengan fitrah kejadiaannya. Di antara ayat yang menyatakan tentang hal ini adalah:
a.    Alquran  Surah al-Baqarah ayat 200
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
Artinya: Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.
b.    Alquran  Surah al-Baqarah ayat 201
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".
Doa  yang selalu dimohonkan oleh setiap muslim pada ayat di atas,  bukanlah  segala kesenangan dunia, tetapi  segala yang bersifat hasanah, yaitu  yang baik, bahkan bukan hanya kebaikan di dunia akan tetapi juga memohon kebaikan di akhirat.[29]  Kebaikan  pada ayat di atas menurut Quraish Shihab    bukan hanya  dalam arti iman yang kukuh, kesehatan, rezeki  yang memuaskan,  pasangan yang ideal dan anak-anak yang saleh, tetapi segala  yang menyenangkan  di dunia  dan berakibat menyenangkan di akhirat. [30]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya   berorientasi  untuk  akhirat  akan tetapi untuk kedua-duanya  yaitu   untuk   kehidupan   dunia  akhirat.[31]  Firman Allah dalam Alquran surat al-Qashas ayat 77 yang berbunyi
وابتغ فيما ءاتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب المفسدبن 
Artinya: Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu di duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
5.    Mempersiapkan manusia yang kuat  secara fisik
Di antara tujuan pendidikan Islam itu adalah mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas kholifah dibumi. Sebagian besar tugas kekhalifahan  ini harus dilaksanakan melalui ketrampilan-keterampilan fisik. Artinya fisik yang sehat dan kuat merupakan kunci keberhasilan manusia sebagai khalifah. Tidak hanya sebagai khalifah, sebagai hamba yang tugasnya mengabdikan diri kepada Allah sekalipun dibutuhkan  fisik yang kuat.
Ibadah dalam Islam tidak hanya merupakan aktivitas ruh, namun ibadah merupakan aktivitas ruh dan juga fisik.  Bahkan  sebagian ibadah dalam Islam tidak dapat dilakukan tanpa kekuatan fisik. Ibadah haji misalnya,  hampir semua ibadah haji dilakukan dengan fisik, tawaf, sa’I, melempar jumrah, wukuf dan lain sebagainya memerlukan fisik yang prima untuk dapat melakukan secara sempurna. Oleh karena itu mempersiapkan peserta didik yang kuat secara fisik merupakan tujuan pendidikan Islam. Di antara  ayat yang membahas tentang hal ini adalah:[32]
a.  Alquran Surat al-Nisa ayat 9
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضيعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا
Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan  keturunan yang lemah di belakang mereka, yang  mereka khawatir terhadap (kesejahteraan), oleh sebab itu, hendaklah  mereka  bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
b. Alquran Surat al-Baqarah ayat 247
وقال لهم نبيهم إن الله قد بعث لكم طالوت ملكا قالوا أنى يكون له الملك علينا و نحن أحق بالملك منه ولم يؤت سعة من المال قال إن الله اصطفاه عليكم  وزاده بسطة فى العلم و الجسم والله يؤتى ملكه من يشاء و الله وسيع عليم
Artinya: Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”    Allah      memberikan    pemerintahan    kepada   siapa  yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Kata jism yang hanya disebut sekali dalam Alquran (Surat al-Baqarah: 247),  dipandang sebagai dasar bagi konsep pendidikan   jasmani. Mayoritas mufassir berpendapat  bahwa ayat ini berkaiatan dengan pemimpin.        Pemilihan seorang pemimpin harus didasarkan pada pengetahuan dan kesehatan jasmani, bukan pada  pada keturunan.
Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan melaksanakan titah sebagai khalifah.
Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu hanyalah dari kabilah Yahudi, sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah Bunyamin bin Ya’qub. [33]  Lagi pula disyaratkan yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan, sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami, padahal kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup   untuk menjadi raja?”  Nabi Syamuil   menjawab  bahwa   Thalut   diangkat menjadi raja atas pilihan Allah swt. karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil.
Dari ayat ini diambil pengertian bahwa seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah memiliki kriteria sebagai berikut:
1)        Memiliki kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin.
2)        Memiliki ilmu pengetahuan yang luas, sehingga dapat memimpinnya dengan penuh kebijaksanaan.
c.   Alquran Surat al-Qashas ayat 26
قالت إحدئهما يا أبت استئجره إن خير من استئجرت القوى الأمين
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib dan membantunya mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah seorang pemuka agama dan masyarakat di negeri Madyan. Nabi Musa adalah seorang yang gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya. Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan Nabi Musa.
Ibnu Taimiyah dalam bukunya al-Siyasah al-Syar’iyyah,  sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab merujuk pada ayat di atas, demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf as. sebagai kepala badan logistik negeri itu[34] Maka   tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya kamu kini di sisi kami  menjadi seorang yang kuat lagi terpercaya(Surat Yusuf : 54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut, yaitu kuat dan dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat.
Pengertian kuat di sini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh   karena   itu   terlebih  dahulu harus dilihat bidang apa yang  akan ditugaskan kepada yang dipilih.[35] Sedangkan  kepercayaan  tersebut di atas yang dimaksud adalah integritas pribadi dari orang yang diberi amanat.
Qowiyyul jismi atau kekuatan jasmani merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Salat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka  sebuah atsar sahabar Umar bin Khattab saat memerintahkan penduduk Syam agar mengajari anak mereka memanah, berenang dan mengendarai kuda.
وكتب عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - لأهل الشام يقول لهم: (علموا أولادكم السباحة والرمي والفروسية).[36]
Artinya: Umar bin Khattab menulis  untuk rakyat Syam (Suriah) ia  mengatakan kepada mereka: (Ajarkan anak-anak Anda berenang, menembak dan berkuda).
Atsar ini menunjukkan  pentingnya olahraga  dan keterampilan jasmani.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.[37]
Artinya: Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa kekuatan fisik juga merupakan hal yang penting dan mendapat perhatian khusus dalam Islam.[38]  Dalam kehidupannya, seorang muslim dituntut untuk dapat menjaga kekuatan jasmani, agar ia mampu menjalankan tugas baik sebagai ‘abd  (hamba) atau sebagai khalifah.  Mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain, beban pekerjaan dalam pemenuhan nafkah, pengelolaan pikiran untuk mengatur strategi, hanya bisa dilaksanakan dengan optimal tatkala badan jasad dalam kondisi sehat dan bugar.
Demikian pentingnya  kekuatan dan kesehatan jasmani dalam Islam, sehingga mewujudkan pribadi yang sehat  dan kuat juga merupakan  tujuan pendidikan Islam.  Peserta didik diberikan pendidikan bahkan pelatihan  agar mereka memperhatikan  dan sekaligus menerapkan  teori-teori kesehatan, yang pada akhirnya  akan lahirlah generasi-generasi  yang  sehat dan kuat yang dapat menjalankan tugas sehari-hari  sesuai dengan posisi dan kedudukan  masing-masing.

B.                   KESIMPULAN
Benar  bahwa Alquran secara eksplisit  tidak menjelaskan tujuan pendidikan.  Akan tetapi dari ayat-ayat yang telah penulis paparkan di atas dapat disimpukan bahwa:
1.        Tujuan utama pendidikan Islam adalah  selaras dengan  tujuan hidup seorang muslim yaitu membentuk pribadi yang sadar akan tujuan penciptaannya, yaitu sebagai abid (hamba). Ini dapat dilihat dalam Alquran surah: al-Zariyat: 56, al-Anbiya’: 25, Taha: 14, Hud: 123,  Maryam: 65, Yasin: 61, al-Anbiya’: 92, al-‘Ankabut: 56, Ali Imran: 51, Maryam: 36, al-Zukhruf: 64, al-An’am: 102, Yunus: 3, al-‘Ankabut: 17, al-Hijr: 99, al-Zumar: 2, 66,   al-Baqarah: 21, al-Nisa’: 36, al-Maidah: 72, 117, al-A’raf: 59,  65,  72, 85, Hud: 50, 61, 84, al-Mu’minun: 23, al-‘Ankabut: 36, al-Nahl: 36, al-Hajj: 77, al-Mu’minun: 32, al-Naml: 45, al-‘Ankabut: 16, Nuh:3, al-Najm: 62.
2.        Pendidikan Islam bertujuan membentuk kader-kader khalifah fil ardl yang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.  Ini dapat dilihat dalam Alquran surah al-Baqarah: 30, shaad: 26, al-Fatir: 39, Yunus: 14, 73, al-An’am: 165, al-A’raf: 69, 84, an-Naml: 62.   al-Nur: 55,  al-An’am: 133,  Huud: 57,  al-A’raf: 129, 142.
3.        Membina dan memupuk akhlakul karimah sebagai tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dalam Alquran surah  al-Qalam: 4,  al-Syu’ara’ 137 al-Syu’ara’: 137, Ali Imran: 159,  al-Nisa’: 36, al-Hajj: 77, al-Insan: 26, al-Tahrim: 8, al-Ahqaf: 31,  al-Isra’: 23-24,  al-Ahqaf: 15, al-Baqarah: 83,  al-Nisa’: 36, al-An’am:151,   al-Nisa’: 36-37,  Ali Imran: 110, al-Dhuha: 9-10, al-Balad: 13-16, al-Insan: 8-9, al-Naba’: 9,  al-Qashas: 77,  al-Nasa’: 4, Ali Imran: 32,  al-Maidah: 92,  al-Tahrim: 6,  al-Isra’: 31, al-Baqarah:233
4.        Pendidikan yang  bertujuan untuk menghantarkan setiap muslim untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan  di akhirat. Ini tercantum dalam Alquran surah  al-Baqarah:  200, 201, al-Qashas:  77.
5.        Pribadi yang memiliki fisik yang kuat dan tangguh merupakan sosok ideal yang diharapkan lahir dari sebuah proses pendidikan. Hal ini dapat dipahami dari Alquran surah  al-Nisa:  9, al-Baqarah:  172, 233, 247, al-Qashas: 26,  al-Nahl: 11, al-Maidah 88, al-Anfal: 69.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, terjemahan Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1988

Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. III. t.t.

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, juz 6, Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t.

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 1,  terj. Oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang, PT. Karya Toha Putra, 1992

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006

Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 3,   Mesir: Dar al-Hadits, 1992

Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993

Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Alquran, Juz 17, Riyad, ‘alam al-Kutub, 2003

Al-Rasyidin, Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press.

Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Juz 5, ttp., Muassasah al-Risalah, 2000

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf,  juz 6, Riyadh-Arab Saudi, Maktabah Al-'Abikan, 1998

Hamid Mahmud Ismail, Min Ushul Tarbiyah fi al- Islam,  Shan’a  Wizarah Atbiyah wa At-Ta’lim, l986)

Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,  Jakata: PT. Al-Husna Zikra, 1995

Ibn Hibban, Shahih Ibnu Hibban,  Juz 9, Beirut, Muassasah al-Risalah, t.t.

Ibn Mandzur,  Lisan al-Arab, juz 10, Kairo: Dar al-Ma’arif,  1992, h. 85

Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al A'raq, juz 1, Beirut, Mansyurat Dar Maktabah al-Hayat,  t.t
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ttp., Daar  Thayyibah  li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999

Ilmi Zadah Faidhullah al-Hasani, Fathur Rahman li Thalabi Ayat al-Qur’an,  Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.

Imam al-Baihaqi,  al-Sunan al-Kubra,  juz 10, Mekah, Maktabah dar al-Baz, 1994

Imam al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, juz 8, Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, 1991

Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,  Volume 13, Jakarta: Lentera Hati, 2009

Muhammad ‘Atiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasafatuha, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjid an-Nur, Jilid. 4, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011

Muhammad Ibn Futuh al-Hamidi, al-Jam’u Baina al-Shahihaini al-Bukhari  wa Muslim, juz 9, ttp., Dar al-Nashr,  2002

UU RI No. 20 Th. 2003 Tentang SISDIKNAS, Bandung: Citra Umbara, 2003




[1] Ayat  lain yang  membahas tentang mengabdi/ beribadah kepada Allah  antara lain:  kata  اعبُدْنِى Q.S. Taha: 14, Kata أعْبُدْهُ   Q.S. Hud: 123,  Maryam: 65, Kata اعْبُدُوْنِى Q.S. Yasin: 61, al-Anbiya’: 92, al-‘Ankabut: 56, kata  أعْبُدُوْهُ   Q.S. Ali Imran: 51, Maryam: 36, al-Zukhruf: 64, al-An’am: 102, Yunus: 3, al-‘Ankabut: 17, kata  اعْبُدْ Q.S.al-Hijr: 99, al-Zumar: 2, 66,  kata  أعْبُدُوا   Q.S. al-Baqarah: 21, al-Nisa’: 36, al-Maidah: 72, 117, al-A’raf: 59,  65,  72, 85, Hud: 50, 61, 84, al-Mu’minun: 23, al-‘Ankabut: 36, al-Nahl: 36, al-Hajj: 77, al-Mu’minun: 32, al-Naml: 45, al-‘Ankabut: 16, Nuh:3, al-Najm: 62. Lihat Ilmi Zadah Faidhullah al-Hasani, Fathur Rahman li Thalabi Ayat al-Qur’an,  Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t., h. 287
[2] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, h. 483
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,  Volume 13,  Jakarta: Lentera Hati, 2009, h. 107
[4] Al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Alquran, Juz 17, Riyad: ‘alam al-Kutub, 2003,   h. 55
[5] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjid an-Nur, Jilid. 4, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, h. 181
[6] Imam al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, juz 8, Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, 1991,   h. 361
[7] Hamid Mahmud Ismail, Min Ushul Tarbiyah fi al- Islam Shan’a ttp., Wizarah Atbiyah wa At-Ta’lim, l986, h. 98
[8] Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf,  juz 6, Riyadh-Arab Saudi: Maktabah Al-'Abikan, 1998, h. 425
[9] Al-Rasyidin, Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2005, h. 35
[10] Lihat juga Q.S. al-A’raf: 84, Q.S. an-Naml: 62.  Selain  kata khalifah, Khalaif dan Khulafa, Alquran  juga menyebutkan  kata khalifah dalam  bentuk fi’il Mudhari’ , di antaranya: yastaklifanna: Q.S. al.Nur:55, yastaklif:  al-An’am: 133, yastakhlifu: Huud:57, yastakhlifa: al-A’raf:129 dan dalam bentuk fi’il amar,  ukhlufniy: al-A’raf:142
[11]Luwis Ma’luf,  h. 192
[12] M. Quraish Shihab, volume 1,  h. 173
[13]Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 542
[14] Luwis Ma’luf, h. 192
[15] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid 1,  terj. Oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992, h. 139
[16] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ttp., Daar  Thayyibah  li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999, h. 216
[17] Lihat Muhammad ‘Atiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Falasafatuha, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., h. 22,  Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, h. 76, Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 2, Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, terjemahan Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1988, h. 119
[18] Teks asli dari tujuan pendidikan Islam  menurut  hasil rumusan kongres adalah: “Education should aim at the balanced growth of the total personality of man through the training of man’s spirit, intellect,  the rational self, feeling and bodily sense. Education should there for cater for the growth of man in all its aspect, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively and motivate all these aspect towards goodness and attainment  of.perfection of  complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.” Second World Conference on Muslim Education International Seminar on Islamic Consepts and Curricula, Recommendations, 15th to 20th March 1980. Lihat Lampiran A, Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,  Jakata: PT. Al-Husna Zikra, 1995, h. 2006-207
[19] UU RI No. 20 Th. 2003 Tentang SISDIKNAS, Bandung: Citra Umbara, 2003, h. 7

[20] Ibn Mandzur,  Lisan al-Arab, juz 10, Kairo: Dar al-Ma’arif,  1992, h. 85
[21]Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, Mesir:  Dar al-Kutub al-Mishriyah, t.t., h. 2-3.
[22] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 3,   Mesir: Dar al-Hadits, 1992,  h. 53
[23] Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al A'raq, juz 1, Beirut: Mansyurat Dar Maktabah al-Hayat,  t.t.,  h. 10
[24] Diantara ayat yang mengisahkan tentang akhlak adalah: akhlak kepada Allah: Q.S. al-Nisa’: 36, al-Hajj: 77, al-Insan: 26, al-Tahrim: 8, al-Ahqaf: 31,  akhlak kepada orang tua: Q.S. al-Isra’: 23-24,  al-Ahqaf: 15, al-Baqarah: 83,  al-Nisa’: 36, al-An’am:151,  akhlak kepada tetangga: Q.S. al-Nisa’: 36-37, akhlak kepada sesama manusia, Q.S. Ali Imran: 110, al-Dhuha: 9-10, al-Balad: 13-16, al-Insan: 8-9, Akhlak terhadap diri sendiri, Q.S. al-Naba’: 9, akhlak terhadap lingkungan, Q.S. al-Qashas: 77, akhlak tehadap Rasul: Q.S. al-Nasa’: 4, Ali Imran: 32,  al-Maidah: 92, akhlak terhadap keluarga: Q.S. al-Tahrim: 6,  al-Isra’: 31, al-Baqarah:233
[25]Ibn Hibban, Shahih Ibnu Hibban,  Juz 9, Beirut, Muassasah al-Risalah, t.t.,  h. 843
[26] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, juz 6, Mesir, Muassasah Qurtubah, t.t.,   h. 91
[27]Imam al-Baihaqi,  al-Sunan al-Kubra,  juz 10, Mekah: Maktabah dar al-Baz, 1994,     h. 191
[28] Al-Ghazali,  Juz 1,  h. 27
[29] Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah  ilmu dan ibadah sedangkan kebaikan akhirat adalah syurga. Lihat Al-Ghazali,  juz 1,  h. 17
[30] Quraish Shihab, Volume 1, h. 532
[31]Lihat juga Al-Abrasyi,  h. 23
[32] Ayat lain yang berbicara tentang pendidikan Jasmani adalah: Q.S. al-Anfal: 60, al-A’raf: 148, al-Baqarah: 233 (yaitu tentang hak menyusu bagi seorang anak dan kewajiban seorang ibu untuk menyusuinya. Secara medis air susu iu (ASI) merupakan  makanan yang paling sehat bagi bayi.  Memberikan ASI berarti mempersiapkan anak-anak yang kuat secara fisik. Begitulah perhatian Alquran terhadap pendidikan jasmani, hingga perintah untuk memberikan ASI, memakan makanan yang halal dan bergizi/ baik tidak luput dari perhatiannya.  
[33] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Juz 5, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000,  h. 306
[34] M. Quraish Shihab, Volume 9, h. 580
[35] Misalnya dalam memilih panglima perang. Menurut Ibnu Taimiyah yang harus didahulukan adalah yang memiliki kekuatan, walaupun  amanah keberagamaannya kurang. Karena kekuatannya dapat dimanfaatkan  untuk masyarakat sedangkan  kelemahan imannya tidak merugikan  kecuali dirinya sendiri. Lihat Quraish Shihab, h. 580
[36]Mausu’ah al-Rad ‘ala Mazahib al-Fikriyah al-Mu’asharah, juz 4, h. 339 (dalam Program Windows Maktabah Syamilah).
[37]Muhammad Ibn Futuh al-Hamidi, al-Jam’u Baina al-Shahihaini al-Bukhari  wa Muslim, juz 9, Kairo: Dar al-Nashr,  2002, h. 483
[38] Hal ini dapat dipahami diantaranya: surah al-Baqarah ayat: 233, yaitu tentang perintah untuk memberikan  ASI kepada anak.  Tidak diragukan lagi bahwa secara medis, tidak ada satupun  pruduk susu formula yang dapat menandingi khasiat  ASI. Penelitian-penelitianv ilmiah, telah banyak dilakukan dan terbukti  bahwa ASI sangat bermanfaat untuk kekuatan dan ketahanan tubuh anak.  Demikian juga Q.S.  al-Baqarah: 172,  al-Nahl: 11, al-Maidah 88, al-Anfal: 69, yaitu tentang perintah untuk memakan makanan yang halal lagi baik. Kata halal dan  baik bemakna bahwa seyogyanya  kita tidak hanya memperhatikan persoalan halal-haram, akan tetapi ketika memilih makanan hendaknya kita juga mempertimbangkan vitamin, gizi, protein, dan unsur-unsur lain dalam makanan yang dibutuhkan oleh tubuh, agar  kita memiliki ketahanan dan kekuatan fisik.