Thursday, May 30, 2019

POLITIK PENDIDIKAN




PARADIGMA POLITIK PENDIDIKAN DALAM PERKEMBANGAN
DEMOKRASIDI INDONESIA
by:
Dr.Muhammad Roihan Daulay, MA
Dosen IAIN Padangsidimpuan
Email: daulaymuhammadroihan@gmail.com
A.       PENDAHULUAN
Politik Pendidikan merupakan salah satu sistem motor atau penggerak manusia agar sampai pada tujuan yang sebenarnya. Politik pendidikan juga adalah satu kesatuan yang utuh, dimana tidak terpisahkan antara pendidikan dan politik. Selain itu, keduanya saling menunjang dan mengisi. Politik dan pendidikan juga adalah memiliki hubungan yang sangat erat. Seperti yang telah disampaikan Prof. Dr. Muhammad Sirozi, Ph.D dalam Seminar Nasional (Muhammad Sirozi 2014: Rabu, 28 Mei 2014 di Hotel Polonia Medan), bahwa antara politik dan pendidikan adalah ibarat minuman yang memiliki gula (the manis) dimana tidak akan bisa dipisahkan.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengangkat suatu judul yakni “Paradigma Politik Pendidikan dalam Perkembangan Demokrasi di Indonesia”. Sebagai terma terma yang dibuat dalam tulisan ini adalah tentunya diambil dari peristiwa yang masih tetap aktual disaat sekarang ini.

B.        PERMASALAHAN

1.      Apakah yang dimaksud dengan Politik Pendidikan ?
2.      Bagaimana Paradigma Politik Pendidikan di Indonesia?
3.      BagaimanaParadigma  Perkembangan Demokrasi di Indonesia dalam Menempatkan Pendidikan?



C.        PEMBAHASAN
1.      Politik Pendidikan
Kata politik berasal dari bahasa Inggris, yaitu politics yang berarti permainan politik (  John M.Echols Shadily 1990:437). Dalam bahasa Indonesia, politik diartikan pengetahuan tentang ketatanegaran atau kenegaraan seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, dll. Dalam bahasa Arab kata politik dikenal dengan al-siyasah yang berarti reka cipta, upaya-upaya strtegis dan pengertahuan tentang sesuatu (Jamil Saliba1978:45)
Sedangkan kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pen- dan akhiran –an, dan berarti perbuatan, hal, dan cara (Abuddin Nata 2003: 8). Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Zurinal Z dan Wahdi Sayuti 2006: t.h)
Politik pada awalnya berasal dari kata yunani politen dan diperkenalkan pertama kali oleh plato (347 SM) dengan makna hal ihwal mengenai negara dan dikembangkan oleh muridnya Aristoteles (322 SM) yang memahami politik sebagai seni mengatur dan mengurus negara.
Politik yaitu suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
1.       Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
2.       Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3.       Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
4.       Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Pengertian di atas merupakan makna pertama tentang politik.  Selanjutnya pengertian politik dipahami sebagai kegiatan suatu sistem politik atau negara untuk mencapai tujuan bersama. Pemahaman ini menjadi pemahaman yang paling universal, termasuk di antaranya untuk memahamai kebijakan kebijakan tertentu sebagai upaya merealisasikan tujuan tersebut. Salah satu bentuk derivatnya adalah munculnya istilah politik pembangunan, politik pendidikan, dan seterusnya (BN. Marbun 2002: 445).
Sedangkan politik pendidikan menurut Dale adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk-bentuk pencapainya. Fokusnya ada pada kekuatan yang menggerakkan machinary , bagaimana dan dimana machinary tersebut diarahkan. Konsentrasi kajian politik pendidikan bagi Dale ada pada peranan negara. Ia yakin dengan melalui studi tentang politik pendidikan dapat menerangkan pola-pola, kebijakan, dan proses pendidikan dalam masyarakat secara memadai, disamping memungkinkan kita untuk mempertanyakan persoalan-persoalan diseputar asumsi, maksud dan outcome berbagai strategi perubahan pendidikan. (Dale 1989:24).
Istilah politik pendidikan merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan baik ditingkat lokal maupun nasional (Kimbrough 1964:274).
Definisi ini dikemukakan Kimbroug dengan meminjam pengertian politik yang disampaikan Kammerer sebagai proses pembuatan keputusan-keputusan penting yang melibatkan masyarakat luas. Kimbroug lalu menyatakan bahwa pendidikan publik bersifat politis. Mereka yang terlibat dalam manajemen pendidikan publik adalah para politisi, manakala mereka menuntut keputusan, harus melalui proses politik ( Dari pernyataan Kimbrough ini kita dapat menyatakan bahwa proyek-proyek penting dalam bidang pendidikan terkait dengan konsep ekonomi, sistem sosial, keuangan, fungsi pemerintah, dan bisinis yang kesemuanya melahirkan aktivitas politik dan bersifat partisan. Oleh sebab itu para pimpinan lembaga pendidikan akan berhasil, jika memahami elemen-elemen penting dari struktur kekuasaan dan menggunakan pengetahuan ini dalam melaksanakan politik sekolah. Ketidaktahuan atas proses politik, pimpinan lembaga pendidikan akan mengalami disinformasi tentang sejauhmana prsedur demokratis terlibat dalam pembuatan keputusan. Para administrator pendidikan saatnya harus melihat aktor-aktor lain dalam sistem pengambilan keputusan. Pada konteks berfikir seperti inilah wawasan tentang politik pendidikan penting bagi siapapun yang konsern dengan persoalan pendidikan.
Maka, politik pendidikan adalah segala keijakan pemerintah suatu Negara dalam bidang pendidikan yang berupa perturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara (Abuddin Nata 2003: 9)
Berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan di atas politik pendidikan, dapat dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan. Sifatnya, bisa keras dan bisa lunak. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus (subtle) lewat strategi taktis. Aksi pemogokan guru, unjuk rasa para guru, merupakan wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para pendidikan mengolah potensi kekuasaan kolektif mogok untuk menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar). Strategi politik seperti itu digunakan untuk melawan politik lunak pemerintah terkait anggaran pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru dan sebagainya. Sementara upaya yang dilakukan oleh kalangan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dengan jalan memberi masukan kepada pemerintah tentang kebijakan pendidikan merupakan bagian dari strategi politik lunak. Pencantuman pasal tentang besaran anggaran pendidikan yang harus dilaksanakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam UUD 1945 merupakan keberhasilan dalam menjalankan strategi lunak para pendidik.
Berbicara mengenai politik pendidikan, tentunya membicarakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara politik dan pendidikan. Kedua hal tersebut sesungguhnya sesuai dengan apa yang disampaikan Sirozi dalam perkuliahan S.3 bahwa antara politik dengan pendidikan adalah ibarat antara air dengan gula yang sudah diaduk dalam suatu gelas, maka tidak akan dapat dipisahkan antara gula dengan air yang sudah diaduk tersebut. Oleh karenanya jika berbicara mengenai politik tentunya pasti dibarengindengan pembahasan pendidikan.
Akhir akhir ini wacana yang didengar di media televisi tak obahnya sama dengan wacana pada masa yang lewat, dimana masing masing  calon presiden republik Indonesia yang mendaftar calon presiden dan wakil presiden telah memposisikan pendidikan sebagai salah satu kunci utama dalam merekrut suara di tengah tengah masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan jelas apa yang menjadi prioritas masing masing calon presiden dan wakil presiden disampaikan dalam debat presiden dan wakil presiden dimana masing masing telah memiliki komitmen untuk memperbaiki pendidikan di indonesia. Karena pendidikan dianggap sebagai satu hal yang harus atau mutlak menjadi terobosan baru bagi setiap calon. Oleh sebab itu, dengan berbagai cara telah mulai dilakukan untuk memberikan kepastian terkait dengan rekrutmen suara demi tercapainya sebuah kekuasaan.
Sikap seperti di atas adalah sebuah sikap yang menggambarkan bahwa politik dan pendidikan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan selalu muncul dalam pesta demokrasi yang ada di Indonesia maupun di negara negara lain yang ada di dunia ini. Sehingga keduanya memiliki hubungan yang erat dan dinamis bagi suatu negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.

2.      Paradigma Politik Pendidikan di Indonesia
Berbicara mengenai paradigma politik pendidikan di indonesia tentuanya berawal dari bagaimana perkembangan politik pendidikan pada masa masa yang lewat. Politik pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan siatuasional atau keadaan yang dialaminya, sehingga lebih mudah untuk memberikan gambaran terkait dengan paradigma politik pendidikan yang ada di Indonesia ini.
Sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, politik pendidikan mengahadapi tantangan yang luar biasa. Tantangan tersebut dapat dilihat dengan munculnya peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Yang pertama adalah penjajahan belanda selama tiga setengah abad sebelum Indonesia meredeka yakni sebelum 1945. Peristiwa ini sangat menimbulkan terjadinya tiga hal yang perlu disoroti menurut Muhammad Sirozi. Adapaun ketiga hal tersebut dapat dipahami dari pentingnya analisis kebijakan seperti kebiajakn itu sendiri dan dampaknya bagi budaya bangsa Indonesia, pendidikan itu sendiri, serta mengenai mentalista bangsa Indonesia (Sirozi 2004: 16).
Kebijakan pendidikan yang dimaksudkan di atas adalah kebijakan pendidikan yang dikeluarkan atau disusun oleh orang orang belanda, sehingga sangat mempenagruhi budaya bangsa Indonesia hingga saat ini. Karakteristik  kebiajakan Politik pendidikan bBelanda sesungguhnya dapat dilihat dari ciri cirinya. Menurut Muhammad Sirozi dalam Nasution  mengidentifikasi  tentang ciri ciri pendidikan pada masa itu adalah:
1.    Pendidikan yang diberikan sangat bertahap bagi anak anak bangsa Indonesia.
2.    Tekanan pada dualisme yang bertentangan antara pendidikan bagi orang Belanda dengan Bangsa Indonesia.
3.    Pengawasan sentral yang ketat
4.    Sasaran Pendidikan bagi golongan pribumi terbatas, dan penggunaan sekolah menghasilkan buruh kelas rendah
5.    Asas korkondas yang membuat sekolah di Indonesia sama dengan yang ada di Belanda
6.    Tidak ada rencana pendidikan yang sistematik bagi pribumi bangsa Indonesia (Sirozi 2004: 18)

Dari ciri ciri yang telah tampak di atas bahwa belanda sangat menyukai hal hal  tersebut. Sehingga dengan pola seperti ini telah memberikan peninggalann bagi bangsa Indonesia, terutama dalam budaya pendidikannya. Sehingga penerapan pendidikan Belanda  tersebut hanya dapat dilihat secara simbolik saja. Artinya dalam pembuktian yang dilakukan oleh orang orang belanda sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan rakyata Indonesia. Namun dari pola pendidikan yang dilakukan oleh orang belanda inilah satu satunya jalan yang menjadi pilihan yang harus diikuti pada saat itu. inti dari kebijakan politik pendidikan pada saat ini sebenarnya tidak memberikan akses yang memuaskan bagi bangsa Indonesia.
Paradigma politik pendidikan seperti ini menurut penulis adalah suatu politik pendidikan yang belum menempatkan politik pendidikan tersebut sesuai dengan apa yang menjadi cita cita politik pendidikan itu sendiri, sehingga pada gilirannya kepuasan dalam memperoleh ilmu pengetahuan tersebut masih jauh dari apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia itu sendiri.
Selanjutnya adalah berbicara mengenai kebijakan politik pendidikan yang dilakukan oleh orang belanda sebelum merdeka adalah memberikan gerakan yang terbatas bagi lembaga pendidikan yang ada di tanah air ini. Lembaga pendidikan dimaksudkan itu adalah adanya Sekolah Alquran yang memiliki manfaat bagi umat Islam, sekolah tradisional pesantren yang memberikan pendidikan agama lanjut, dan tarekat yang memberikan pelatihan dalam hukum dan doktrin Islam. hal ini terbukti bahwa untuk pembiayaan pendidikan yang telah dirintis oleh rakyat Indonesia itu sendiri ternyata tidak diberikan dana. Sehingga pada akhirnya dengan melalui penekanan dari bangsa Indonesia pada tahun 1895  barulah diikutkan dalam penganggaran dana.
Berikutnya adalah paradigma politik pendidikan masa orde baru yakni tahun 1965-1998 adalah dimana kelanjutan dari perjuangan rakyat indonesia terutama para ulama untuk memberikan masukan masukan terkait dengan sistem pendidikan yang harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tersebut.
Pada masa ini, sistem politik para Ulama untuk menggagas Undang undang Sistem pendidikan nasiona, paling tidak ada tiga hal yang harus dilihat. Pertama adalah mereka memfasilitasi pemeliharaan sistem dan penyesuaian fungsi masyarakat, menghubungkan perilaku sistem politik secara keseluruhan dengan sistem sosial lain dan dengan lingkungan dan memfasilitasi proses peralihan yang mengalihkan tuntutan dan dukungan menjadi luaran kebijakan yang berkewenangan (Almond & Powell 1978: 14-15).
Selanjutnya pada masa orde baru ini sebenarnya sudah boleh dikatakan dengan sungguh sungguh. Artinya sistem politik pendidikan telah menaruh asas dari rakyat Indonesia itu sendiri. Sehingga pancasila pun sudah dianggap telah memberikan amanah bagi kedudukan sistem Pendidikan yang ada di Indonesia pada saat itu.  sehingga dalam paradigma politik pendidikan seperti ini, telah mulai sesuai dengan tujuan politik pendidikan yang pada gilirannya politik itu adalah kebijakan yang harus disesuaikan dengan situasi atau kondisi, harus fleksibel, terbuka untuk dimodifikasi pada saat saat tertentu, kemudian politik tersebut juga harus merupakan implementasi dan aplikasi dari norma fundamentalis (pancasila) pada setiap saat dan di setiap tempat (Moertopo 1973: 10).



3.      Paradigma  Perkembangan Demokrasi di Indonesia dalam Menempatkan Pendidikan
Sejak Indonesia Merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945, maka disitulah awal mulanya lahirnya demokrasi di Indonesia. Bangsa Indonesia menyatakan dirinya dan bersepakat bahwa untuk kehidupan masyarakat ,bangsa dan negara harus diatur dengan sistem demokrasi (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat).
Dalam perjalanan historis bangsa Indonesia, praktek demokrasi tersebut telah mengalami pasang surut atau pluktuasi. Indikasi yang riil dari pluktuasi tersebut adalah dikenalnya sistem demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Masing masing pemerintahan dengan sistem tersebut telah menginterpretasi atau mempraktekkan demokrasi secara berbeda. Karena hal hal yang yang bersifat positif, maka muncullah hal hal negatif yang merupakan diskripsi antara esensi demokrasi dengan pelaksanaan di lapangan.
Pada dasarnya esensi demokrasi tersebut terletak pada pemuliaan harkat dan martabat kemanusiaan manusia (Human dignity). Harkat dan martabat itu merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Semua manusia telah dianugrahi Allah SWT potensi untuk beragama, kebebasan untuk berfikir, kebebasan untuk memilih, dan berbuat, persamaan kemanusiaan dan kedudukan yang lebih mulia biladibanding dengan makhluk lain. Oleh sebab itu,dalam konteks ini, apapun lebelnya yang dilekatkan pada sistem demokrasi yang dikembangkan, selama sistem tetap memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan manusia, maka ia layak disebut sebagai sistem demokrasi. Sebaliknya jika sistem itu tidak menghormati dan tidak pula memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan manusia, maka sistem itu pada dasarnya bukanlah sistem yang demokratis.
Adalah merupakan fakta historis yang tidak dapat dipungkiri, bahwa sejak kemerdekaan 1945, pelaksanaan demokrasi oleh beberapa generasi kepemimpinan nasional telah membawa sejumlah kemajuan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan, baik dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keberagamaan. Namun, karena demokrasi bukanlah merupakan barang yang sudah jadi, tetapi merupakan hasil perkembangan bertahap dari sebuah proses dan alat perjuangan kekuasaan, (SanehChamarik 1993: 49) maka sudah pasti ditemukan sejumlah kekurangan dan titik titik kelemahannnya. Karenanya, adalah wajar, manakala muncul kritik dari sejumlah kalangan terhadap pemerintah yang berkuasa berkaitan dengan prakte demokrasi dan hasil hasil yang dicapainya. Ketika pemerintah sedang berkuasa merespon secara positif kritik tersebut, maka proses proses ke arah kehidupan demokratis sebenarnya masih terus berjalan. Tetapi, ketika pemerintah memberi respon sebaliknya, maka akan muncul perlawanan yang menyebabkan terjadinya krisis politik dan pemerintahaan. Ketika ini dibiarkan, maka yang terjadi kemudian adalah inflasi, bahkan  mungkin mematikan demokrasi itu sendiri.
Dalam kasus indonesia harus diakui bahwa pemerintahan orde baru yang terkenal dengan strategis penciptaan stabilitas keamanan untuk menunjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, pada awalnya telah bergerak ke arah mengembangkan dan memajukan kehidupan demokrasi. Namun hal itu ternyata bergeser ke arah penciptaan situasi dan kondisi melanggengkan kekuasaan. Sehingga pada tahun 1977 selalu diwarnai oleh konflik konflik internal yang menyebatkan berlarut larutnya bangsa indonesia berada dalam badai krisis multi dimensi. Hal ini diakibatkan oleh semakin otoriternya sistem pemerintahan di Indonesia. Sehingga muncullah banyak tafsiran yang berbeda untuk memperbaiki bangsa ini, hingga pada tahun 1998 terjadilah perubahan yang drastis, dimana munculnya sistem reformasi di negara Indonesia ini yang dipelopori mahasiswa seperti Amin Rais. Sehingga muncullah gerakan reformasi ini yang menuntut demokrasi dalam berbagai dimensi kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan bisa dikatakan sebagai antitesa perlawanan terhadap sistem pemerintahan negara yang elitis dan otoriter.
Di samping membawa sejumlah sisi posistif, dalam perjalannya, ternyata reformasi juga menimbulkan sejumlah akses negatif terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa. Akses tersebut disebabkan kekurangsiapan masyarakat dan bangsa ini untuk hidup berdemokrasi. Akibatnya, reformasi yang baru saja dikerjakan mendatngkan kekikukan dan kegagapan dari hampir semua kalangan. Dalam wujudnya yang konkrit, menurut Eep (Eep 2000: 27) kekikukan dan kegagapan itu mewujud dalam euforia, lonjakan semangat yang tidak terkendali di mana mana. Terlalu lamanya hak hak rakyat dipasung, merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya euforia tersebut. Sehingga ketika kran kebebasan dibuka, ibarat limbah yang telah tertahan lama, air langsung mengalir dengan deras, dan membobol serta merusak benteng dan parit yang mengalirinya. Sehingga reformasi dipahami sebagai kebebasan untuk berbuat apa saja tanpa keteraturan, sehingga sebagaimana dinyatakan Davis dan Mayes, kebebasan yang tidak diseimbangkan dengan keteraturan sangat potensial mendorong ke arah tirani atau kewenangan (Davis & Mayer 2000: 126).
Dalam paradigma demokrasi, instrumen yang lazim dikenal sebagai pembawa, penyalur dan sekaligus pengembang nilai nilai kultur demokrasi adalah partai partai politik. Dalam konteks ini, para politisi dan pemimpin negara merupakan aktor yang memainkan peran penting dalam mendidik masyarakat agar memahami, menghayati dan mengaplikasikan nilai nilai dan budaya demokrasi dalam kehidupan nyata. Oleh sebab itu, maju mundurnya demokrasi pada suatu masyarakat dan bangsa juga sangat bergantung pada sejauh mana political parties memberikan pendidikan demokrasi kepada konstituen dan warga masyarakat.
Selain dari partai partai, maka institusi yang memiliki potensi untuk memperbaiki nilai nilai demokrasi dan memberikan pemahaman demokrasi ini kepada masyarakat adalah Institusi Pendidikan. Karena institusi pendidikan ini, bisa untuk memainkan peranannya dalam mendidika dan melatih masyarakat untuk menjadi warga negar yang aktif dan bertanggung jawab dalam mempraktekkan demokrasi. Masih dalam konteks yang sama, bahwa pendidikan merupakan sarana vital untuk menumbuhkembangkan nilai dan kultur demokrasi, dikarenakan pendidikan berhubungan dengan proses penyampaian, penanaman, pengamalan dan pengembangan nilai nilai. Karena dari persfektif ini, pendidikan juga merupakan political institution. Melalui pendidikan akan dihasilkan warga negara yang bebas, mandiri, kritis dan memahami prinsip prinsip demokrasi. Melalui pendidikan seseorang antara lain dididik untuk berdisiplin bertanggung jawab, berfikir kritis, menghargai harkat dan martabat manusia,  jujur, terbuka, toleran, taat pada hukum, dan dialogis,apresiatip terhadap perbedaan pendapat, mampu mengambil keputusan terbaik untuk diri dan masyarakatnya.
Ketika institusi pendidikan berhasil menanamkan nilai nilai demokrasi kepada peserta didiknya, maka suatu masyarakat bisa berharap kehidupan bangsanya dimasa depan akan berkembang ke arah yang demokratis. Sebab, peserta didik yang berasal dari berbagai institusi pendidikan itulah nantinya yang akan hidup dan mengambil peran dalam kehidupan masa depan. Akan tetapi, jika institusi pendidikan gagal dalam menanamkan nilai nilai demokrasi, maka kehidupan masyarakat akan merosot kembali ke arah masyarakat feodalistik, autokrasi, dan otoriter (Mochtar Bukhori 2001: 65).
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sebelum institusi pendidikan menanamkan dan mengembangkan nilai nilai demokrasi kepada peserta didiknya, maka sistem dan praktik praktik yang dikembangkan dalam institusi pendidikan haruslah merupaka sistem dan praktik yang demokratis. Ketiadaan sistem demokrasi pada institusi pendidikan akan memperlemah dan menyebabkan ketidak mampuan untuk menciptakan generasi yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam mengamalkan nilai nilai demokrasi. Karenanya, pemerintah tidak boleh mengintervensi dan memasung kebebasan institusi institusi pendidikan dalam mengembangkan sistem dan praktik demokrasi.
Bila dicermati, salah satu penyebab utama kekurang mampuan dan kegagalan institusi pendidikan dalam mengajarkan dan menanamkan kultur dan nilai nilai demokrasi kepada peserta didik atau masyarakaat secara umum adalah disebabkab adanya intervensi politik ke dalam dunia pendidikan. Menurut bukhari,( Bukhari 2001: 62) dari tahun 1963, lembaga lembaga pendidikan kita mulai digerogoti oleh sistem birokrasi yang berwatak politis. Kemudian pada tahun 1978, muncul suasana yang sangat restriktif, yang pada dasarnya mengatakan bahwa yang boleh berfikir hanya birokrasi pendidika saja. Birokrasilah yang menentukan segala galanya dalam kehidupan pendidikan Indonesia. Sejak saat itu guru dan petugas pendidikan lainnya merosot derajatnya menjadi sekedar pelaksana dari segala sesuatu yang telah diputuskan oleh birokrasi tersebut.
Apa yang menjadi permasalahan di atas telah menyebabkan institusi institusi pendidikan belum berhasil hingga saat ini, atau boleh dikatakan gagal dalam megembangkan nilai nilai demokras, seperti kesopansantunan, egaliter, terbuka, saling pengertian, tanggung jawab, disiplin, kesamaan, kebersamaan, keadilan, penghormatan, terhadap harkat dan martabat hak hak azasi manusia.
Menurut Ma’arif, realitas sejarah di Indonesia menunjukkan betapa institusi pendidikan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Sistem pendidikan yang bersifat sentralistik dan menekankan pada uniformitas ternyata telah mematikan keberanian para peserta didik untuk mengambil inisiatif dan prakarsa, tidak berani mengajukan pendapat dan menanggung resiko, tidak siap untuk berargumentasi dan berbeda pendapat, dan tidak mampu hidup bersama dalam suasan keberagamaan (Zamroni 2000: 9). Mencermati hal ini, Suparmo (Suparmo 2000: 79) bahkan menyatakan bahwa  pendidikan kita masih banyak menghasilkan manusia yang ikut ikutan emosional dalam menghadapi persoalan masyarakat, mudah berkelahi dan berperang, menjarah orang lain, dan sulit menghargai gagasan yang berbeda. Mereka belum dapat hidup berdemokrasi dengan orang lain. Karenanya sejak bergulirnya proses re, formasi justru terjadi berbagai kasus tindak kekerasan, pelanggaran terhadap hak hak azasi manusia, dan kecenderungan kurang  mempunyai masyarakat untuk hidup bersama dalam suasan kebebasan hidup berdemokrasi.


        D.       KESIMPULAN
Berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan di atas politik pendidikan, dapat dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan. Sifatnya, bisa keras dan bisa lunak. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus (subtle) lewat strategi taktis. Perkembagan Demokrasi di Indonesia ternyata memiliki pengaruh yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia.
Paradigma Politik Pendidikan di Indonesia masih gagal dalam menciptakan sistem demokrasi yang ideal. Hal ini terbukti bahwa dalam perjalan bangsa Indonesia mulai dari dijajah oleh Belanda, masa orde baru, reformasi sampai pada saat ini penguasa masih tetap memanfaatkan jabatan sebagai alat kekuasaan yang dimanfaatkan demi kelanggengan kekuasaannya. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa dalam menciptakan negara yang sejahtera dan bermartabat tentunya harus berawal dari pembenahan, mulai dari penguasa dalam menggunakan kekuasaannya demi terwujudnya negara yang terhindar dari perpecahan, perdebatan yang tidak penting menuju negara yang cerdas, sejahtera dan berkemajuan.
E.        SARAN
1.      Penguasa harus menyadari tugas pokok yang harus ditempuh dalam kepemimpinannya.
2.      Penguasa harus memperbaiki institusi pendidikan di Indonesia
3.      Pemerinyah harus menghindar dari memperkaya diri dan harus memperhatikan rakyat Indonesia sesuai dengan amanah Undang undang dasar 1945.
4.      Pemerintah harus memiliki target yang jelas untuk memperhatikan Institusi Pendidikan di Indonesia
5.      Pemerintah dan rakyat harus mengedepankan nilai nilai Demokrasi untuk menuju rakyat yang adil dan makmur.
6.      Diharapkan kepada semua rakyat indonesia harus mampu mengaplikasikan nilai nilai demiokrasi sehingga jauh dari perbedaan

F.         REFERENSI

Roger. Dale, The State and Education Policy, Milton Keynes, UK: Open University Press, 1989.
Kimbrough, Political Powerand Educational Decision-Making, Chicago: Rand Mcnally & Company, 1964, h.274.
Marbun. BN, Kamus Politik, t.k, 2002.
Shadily. John M.Echols. Kamus Inggris Indonesia, Cet.VIII, Jakarta: Gramedia, 1990.
Sirozi. Muhammad, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyususnan UU No.2 Tahun 1989, Jakarta: INIS, 2004.
Almond, G.A & Coleman, J.S (ed) The Politics of The Developing Area. Princton University Press, 1960.
Moertopo, The Acceleration and Modernization of 25 Year Development, Jakarta: CSIS, 1973.
Chamarik. Saneh, Democracy and Development: A Culture Perspective, Bangkok: Local Development Intitute c/o Temporary Office Departement of Medical Science, 1993.
Fatah. Eep Saefulloh, Zaman Kesempatan: Agenda Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, Bandung: Mizan 2000.
Davis. Stan & Christopher Mayer, Future Wealth, sUnited States of America: Harvard Buisnis  School Press, 2000.
Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000.
Suparmo. Paul, Kurikulum SMU yang Menunjang Pendidikan Demokrasi dalam Sindhunata (ed) Membuka Masa Depan Anak Anak Kita: Mencari Kurikulum Abad XXI, Yogyakarta: Kanisius, 2000.