KETERKAITAN ALQURAN DENGAN HADIS
KETERKAITAN
ALQURAN DAN HADIS
Dr. Muhammad Roihan Daulay, M.A Dosen IAIN Padangsidimpuan Email: daulaymuhammadroihan@gmail. |
Abstrak
Tulisan ini akan mengkaji tentang hubungan Hadis dengan Alquran yang
dibahas dengan terma sunnah, khabar, Atsar, serta bentuk bentuk hadis,
kedudukan hadis terhadap Alquran, fungsi hadis terhadap Alquran serta
perbandingan hadis dengan Alquran. Alquran dan hadis ini merupakan pedoman yang
harus dijadikan sebagai sumber bagi setiap perbuatan manusia yang hidup di
dunia ini. Melalui hadislah Alquran dapat dipahami dan diamalkan. Sehingga
hubungan hadis dengan Alquran sangat erat hubungannya.
Keyword: Hadis, Alquran
A.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang memiliki aturan aturan yang diikat melalui
Alquran dan Hadis. Dengan pedoman ini manusia akan selamat di dunia dan di
akhirat. Dengan kata lain kedua sumber ini merupakan rujukan bagi pemeluk agama
islam dapat meraih kebahagiaan di dunia ini terlebih lebih keselamatan di
akhirat. Dimana Alquran itu merupakan kalam Allah yang ditunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril yang disampaikan dengan bahasa arab,
kemudian mendapat pahala atau ganjaran bagi yang membacanya. Demikian juga
dengan Hadis merupakan suatu ketetapan yang dilakukan oleh nabi, baik itu
ucapan nabi, perbuatan nabi ketetapan nabi.
Setiap
persoalan tentunya dapat dirujuk kepada Alquran dan Hadis. Dari sinilah
permasalahn tersebut dapat diatasi dengan baik, sehingga memberikan solusi bagi
pemeluk Islam tersebut. Namun, jika kita melihat lebih rinci tentang sumber
sumber hukum ini, tentu tidak lah dapat dijelaskan secara detail di dalam
Alquran secara jelas. Namun disinilah perlu adanya penjelasan penjelasan yang
harus dikaitkan melalui Hadis Hadis Rasulullah SAW.
Pada
jurnal ini penulis akan mencoba membahas tentang bagaimana sesungguhnya
hubungan antara Hadis dengan Alquran. Sehingga untuk mengkaji ini diperlukan
pemaparan pemaparan yang terperinci seperti apa itu Hadis, nama lain dari
istilah hadis, seperti sunnah, khabar, Atsar, serta bentuk bentuk hadis,
kedudukan hadis terhadap Alquran, fungsi hadis terhadap Alquran serta
perbandingan hadis dengan Alquran.
B.
PENGERTIAN HADIS
Kata "Hadis" atau al-Hadis menurut bahasa berarti al-jadid
(sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama).[1]
Kata Hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan
dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah
al-Hadist. Selanjutnya di dalam buku Hasbi Ash-Shiddiqi dikemukakan bahwa Hadis
menurut bahasa (lughah) adalah jadid, qorib, khabar.[2]
Secara
terminologi, ahli Hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian Hadis. Di kalangan
ulama Hadis sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak
berbeda. Ada yang mendefinisikan Hadis, adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan,
dan hal ihwalnya". Ulama Hadis menerangkan bahwa yang termasuk "hal
ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ulama ahli Hadis yang lain merumuskan pengertian Hadis dengan :
"Segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya".
Ulama Hadis
yang lain juga mendefiniskan Hadis sebagai berikut : "Sesuatu yang
didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".Dari
ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli Hadis dalam
mendefinisikan Hadis. Kasamaan dalam mendefinisikan Hadis ialah Hadis dengan
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari
perumusan definisi Hadis. Ada ahli Hadis yang menyebut hal ihwal atau sifat
Nabi sebagai komponen Hadis, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli Hadis
yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk Hadis,
tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan
ulama Ushul, mendefinisikan Hadis sebagai berikut :
"Segala
perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara".
Berdasarkan
rumusan definisi Hadis baik dari ahli Hadis maupun ahli ushul, terdapat
persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang
disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat
a
tau
tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli
Hadis mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi Hadis
ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil
untuk menetapkan hukum syara’.
Selain Hadis,
ada juga istilah yang mempunyai makna seperti Hadis, yakni :
1.
As-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan
kebiasaan yang baik atau yang buruk". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy,
pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang
dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai
sunnah, walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau
dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ
سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ فَقُلْتُ أُطِيلُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَقَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ مَثْنَى
مَثْنَى وَيُوتِرُ بِرَكْعَةٍ وَكَانَ يُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ وَالْأَذَانُ فِي
أُذُنِهِ يَعْنِي يُخَفِّفُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَجَابِرٍ
وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي أَيُّوبَ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ
بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ رَأَوْا أَنْ يَفْصِلَ الرَّجُلُ بَيْنَ
الرَّكْعَتَيْنِ وَالثَّالِثَةِ يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكٌ
وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad
bin Zaid dari Anas bin Sirin dia berkata, saya bertanya kepada Ibnu Umar seraya
berkata, saya memanjangkan dalam dua raka'at shalat fajar, maka dia berkata,
adalah Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dua
raka'at-dua raka'at, lalu witir satu raka'at, beliau mengerjakan sunnah (fajar)
dua raka'at dengan ringan (cepat) seakan-akan telah terdengar adzan
ditelinganya. (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari
'Aisyah, Jabir, Fadll bin 'Abbas, Abu Ayyub dan Ibnu Abbas. Abu Isa berkata, Hadisnya
Ibnu Umar adalah Hadis hasan shahih. Hadis ini juga diamalkan oleh sebagian
ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam dan para
tabi'in, mereka berpendapat, hendaknya seseorang memisahkan antara raka'at
kedua dan raka'at ketiga dengan witir satu raka'at, dengannya pula Malik,
Syafi'i, Ahmad dan Ishaq berkata.[3]
Selain itu, pada defenisi lain menurut bahasa
bahwa sunnah itu adalah kamu sungguh akan mengikut jalan jalan (tradisi) orang
orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga
akhirnya, sekiranya mereka memasuki lubang biawak niscaya kamu juga akan turut
memasukinya.[4]
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin
(ahli-ahli Hadis) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi
Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual
yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya
memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep
perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu
yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga
sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah
diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan
kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan
dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya.
Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan
as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah Alquran dan Hadis.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah,
dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan Hadis,
dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat
tertentu, yang berbeda dengan istilah Hadis. Ulama ahli Hadis merumuskan
pengertian sunnah sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW.,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan
hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua
Hira maupun sesudahnya".[5]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas,
kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata Hadis. "Ulama yang
mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW.,
sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna,
bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan
meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW.,
tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan
penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan
untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan
sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah
adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan
hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan
kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua
hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"(H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas,
disebabkan karena ulama Hadis memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang
sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah
surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama Hadis membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan
ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh,
memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri’, artinya pembuat undang-undang
wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam Alquran surat al-Hasyr ayat 7
yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka
ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah". Ulama
Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi
tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah
adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila
ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah
menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh
Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadis ialah
ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang
perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka
sendiri.
Perlu diingat bahwa sekalipun ada di antara
Ulama yang membedakan antara Hadis dan sunnah, namun perbedaan itu tidak mutlak
diikuti, sebab hal tersebut hanyalah terjadi dikalangan ulama mutaqoddimin.
Sementara itu bagi ulama mutaakhkhirin (belakangan) sebagaimana yang dijelaskan
oleh Subhi as-Shalih, Hadis dan sunnah adalah dua istilah yang mempunyai makna
identik dan sama.[6]
2.
Khabar
Selain istilah Hadis dan Sunnah, terdapat
istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, yaitu berita yang disampaikan
dari seseorang kepada seseorang. Di lain sisi ada juga yang mengatakan bahwa
khabar itu adalah berita atau perkataan yang disampaikan dari seseorang kepada
orang lain.[7]
Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata
Khabar sama artinya dengan Hadis. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip
as-Suyuthi, memandang bahwa istilah Hadis sama artinya dengan khabar, keduanya
dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain,
mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW.,
sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadis.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis
lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah ‘umumun wa khushushun
muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap Hadis dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap
Khabar dapat dikatakan Hadis.
Menurut istilah sumber ahli Hadis; baik warta
dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang
berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang
selain Nabi SAW.
Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang
meriwayatkan Hadis dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah
dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis lebih
umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih
umum dari pada Hadis, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang
diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan Hadis khusus
terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
Menurut istilah , khususnya dalam disiplin ilmu
Hadis, ditemukan beberapa defenisi yang dikemukakan ulama. Dianataranya ada
yang memiliki makna luas ada yang memiliki makna terbatas. Dalam makna luas
misalnya adalah yang dikemukakan oleh at-Thaibi dan Muhammad Mahfuzh sebagai
berikut:
Hadis tidak hanya terbatas dengan khabar
marfhu’ kepada Rasul, tetapi juga meliputi khabar mauquf, yaitu sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat dan maqthu yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Tabi’i.[8]
3.
Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu,
atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a
umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut
istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan Hadis. Dari pengertian
menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli Hadis
mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW., sahabat, dan tabiin. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar
untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu. Ada juga yang menyamakan khabar
dengan Hadis. Akan tetapi pendapat yang masyhur di kalngan ulama salaf adalah
bahwa atsar merupakan riwayat yang berasal dari ulama salaf, sahabat, tabi’in.
Pada ulama Khurasan atsar dibatasi hanya pada riwayat yang mauquf, sedangkan
khabar bagi mereka merupakan riwayat yang marfu’. Golongan terakhir ini melihat
bahwa khabar terbatas kepada riwayat yang disandarkan kepada riwayat rasul.[9]
Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah
Khabar dan Atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada NAbi SAW dan
demikian juga kepada sahabat dan tabi’in. namun, para Fuqaha’ khurasan
membedakannya dengan mengkhususkan al-mawquf, yaitu berita yang disandarkan
kepada sahabat dengan sebutan Atsar dan al-marfu’, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.
C.
BENTUK-BENTUK HADIS
Sesuai pengertiannya dengan berdasarkan secara terminologi, Hadis ataupun
Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam Hadis :
1.
Hadis Qauli
Hadis atau sunnah qouliyah ialah perkataan atau ucapan
rasul yang pernah beliau utarakan dalam berbagai kesempatan semasa ia masih hidup. Ucapan ini menyangkut aspek
seperti: hukum , akhlak, dan ibadah. Sebagai contohnya:
“sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang akan
memperoleh balasan amal berdasarkan niatnya.[10]
Hadis yang berupa perkataan (Qauliyah),
contohnya sabda Nabi SAW :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي
حَازِمٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ
يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ فَكَانَ يَمُدُّ يَدَهُ حَتَّى تَبْلُغَ إِبْطَهُ
فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا هَذَا الْوُضُوءُ فَقَالَ يَا بَنِي
فَرُّوخَ أَنْتُمْ هَاهُنَا لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ هَاهُنَا مَا تَوَضَّأْتُ
هَذَا الْوُضُوءَ سَمِعْتُ خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada
kami Khalaf -yaitu Ibnu Khalifah- dari Abu Malik al-Asyja'i dari Abu Hazim dia
berkata, "Saya di belakang Abu Hurairah saat dia sedang berwudlu untuk
shalat. Dia memanjangkan tangannya hingga mencapai ketiaknya, maka saya berkata
kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, wudlu apaan ini? ' Dia menjawab, 'Wahai bani
Farrukh, kalian di sini, kalau saya tahu kalian di sini niscaya aku tidak akan
berwudlu dengan (cara) wudlu ini. Saya mendengar kekasihku shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Perhiasan seorang mukmin adalah sejauh mana air
wudlunya membasuh."
Selain itu ada juga contoh Hadis lain adalah:
2.
Hadis Fi’il,
Hadis yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup
perilaku Nabi SAW. Hadis fi’li juga
disebutkan dengan sesuatu perbuatan atau tindakan Rasul yang merupakan
penjelasan praktis ajaran agama,
seperti: tata cara shalat, puasa, haji, wuduk dsb
Berikut contoh Hadisnya, Seorang sahabat
berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْوَلِيدِ يَعْنِي ابْنَ كَثِيرٍ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ يَوْمًا ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ يَا فُلَانُ أَلَا تُحْسِنُ صَلَاتَكَ أَلَا يَنْظُرُ الْمُصَلِّي إِذَا صَلَّى كَيْفَ يُصَلِّي فَإِنَّمَا يُصَلِّي لِنَفْسِهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَأُبْصِرُ مِنْ وَرَائِي كَمَا أُبْصِرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-'Ala' al-Hamdani telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari al-Walid, yaitu Ibnu Katsir telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abi Sa'id al-Maqburi dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu dia berkata, "Rasulullah shalat mengimami kami pada suatu hari, kemudian beliau berpaling seraya bersabda, 'Wahai fulan, tidakkah kamu memperbagus shalatmu, tidakkah seorang yang shalat mencermati apabila dia shalat, bagaimana dia shalat. Dia shalat adalah untuk dirinya sendiri. Demi Allah, aku melihat dari arah belakangku sebagaimana aku melihat dari arah depanku'."
3.
Hadis Taqriri
Hadis yang berupa penetapan (taqririyah) atau
penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang
perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW
Contoh lain dari Hadis taqriri ini adalah:.[11]
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حُجَيْرٍ عَنْ طَاوُسٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ لِي مُعَاوِيَةُ أَعَلِمْتَ أَنِّي قَصَّرْتُ مِنْ رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْمَرْوَةِ بِمِشْقَصٍ فَقُلْتُ لَهُ لَا أَعْلَمُ هَذَا إِلَّا حُجَّةً عَلَيْكَ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Amru An Naqid Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujr dari Thawus ia berkata, Ibnu Abbas berkata; Mu'awiyah berkata kepadaku, "Tahukah Anda, bahwa aku telah menggunting rambut Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Marwa?" aku menjawab, "Aku tidak tahu akan ini kecuali ia merupakan hujjah yang bakalan menuntutmu."
D.
KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN
Alquran dan assunnah adalah dua sumber poko syariat Islam. tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa al-Qur an adalah sumber pertama, dan
tidak sedikitpun ada keraguan tentang autentisitasnya sebagai wahyu Allah.
Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Redaksidan
maknanya diturunkan kepada Muhammad saw. melalui wahyu. Seluruh ayat ayat
Alquran diriwayatkan secara mutawatir.
Allah SWT menutup risalah
samawiyah dengan risalah islam. Dia mengutus Nabi SAW. Sebagai Rasul yang
memberikan petunjuk, menurunkan Al-qur`an kepadanya yang merupakan mukjizat
terbesar dan hujjah teragung, dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan
dan menjelaskannya.
Al-qur`an
merupakan dasar syariat karena merupakan kalamullah yang mengandung mu`jizat,
yang diturunkan kepada Rasul SAW. Melalui malaikat Jibril mutawatir lafadznya
baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis
di dalam lembaran lembaran.
Dalam
hukum Islam, Hadis menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an . penetapan Hadis
sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri,
kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al qur`an menunjuk
nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan
Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi
sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak masa sahabat sampai hari ini
telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang
berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan Hadis sebagai sumber hukum
diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis
besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut
untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan Hadis
sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
Al-qur`an
sebagai sumber pokok dan Hadis sebagai sumber kedua mengisyaratkan pelaksanaan
dari kenyataan dari keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tertuang dalam
dua kalimat syahadat. Karena itu menggunakan Hadis sebagai sumber ajaran
merupakan suatu keharusan bagi umat islam. Setiap muslim tidak bisa hanya
menggunakan Al-qur`an, tetapi ia juga harus percaya kepada Hadis sebagai sumber
kedua ajaran Islam.
Taat
kepada Allah adalah mengikuti perintah yang tercantum dalam Al-qur`an sedang
taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnah-Nya, oleh karena itu, orang yang
beriman harus merujukkan pandangan hidupnya pada Al qur`an dan sunnah/Hadis
rasul.
Alqur`an
dan Hadis merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan
yang timbul di kalangan umat islam sehingga tidak melahirkan pertentangan dan
permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada ayat dan Hadis, maka
walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya, umat islam seyogyanya
menghargai perbedaan tersebut.
Alquran
itu diriwayatkan secara pasti (qath’I ats-tsubut). Sunnah berbeda dengan
Alquran. Ia tidak semuanya digolongkan ke dalam qath’I ats-tsubut.
Bahkan kesemuanya Hadis atau sunnah itu disebut dengan zhanni tsubut,
hanya diriwayatkan dalam jumlah mutawatir.[12]
Dalam kaitan ini orang yang menolak keterangan Zhanni tidak dihukumkan
kafir, sementara orang yang menolak khabar muatawatir berarti tidak
menerima kebenaran yang pasti dihukumkan kafir.[13]
Ditinjau
dari segi tunjukan lafalnya (dalalah), Alquran dan Hadis atau Sunnah
sama sama bisa dibagi ke dalam qat’i ad-dalalah dan zhanni dalalah.
Qat’I ad dalalah adalah tunjukan dari suatu lafal hanya menunjukkan makna pasti
dan tidak membutuhkan interpretasi dan ta’wil untuk memahaminya.. sementara
zhanni dalalah adalah tunjukan lafalnya bersifat relatif dan membutuhkan
interpretasi dan ta’wil.[14]
E.
FUNGSI HADIS TERHADAP ALQURAN
Adapun
fungsi sunnah atau Hadis terhadap Alquran adalah sebagai:Bayan taqrir atau
bayan taklid atau bayan al-isbath.
Bayan
ini maksudnya menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam
Alquran. Jadi fungsi Hadis pada hal ini adalah memperkokoh isi kandungan
Alquran. Alquran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan
maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam
pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Alquran
dan Hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
a.
Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Alquran.
Di sini Hadis berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh
Alquran. Misalnya, Alquran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
“Hai
orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al-Baqarah/2:183)
Dan Hadis
menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam
didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ,
dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada
bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Selanjutnya
ada juga disebut dengan bayan tafsir. Maksudnya adalah penjelasan Hadis
terhadap ayat ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut,
seperti ayat ayat mujmal, muthlak dan ‘am. Jadi fungsi Hadis
dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran, terhadap ayat ayat
Alquran yang masih mujmal, memberikan takhyid terhadap ayat ayat
yang masih muthlal dan memberikan takhshis ayat ayat yang masih
umum.
b.
Hadis memberikan rincian terhadap pernyataan Al
qur`an yang masih bersifat global. Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah
shalat :[15]
“Dan dirikanlah oleh kamu
shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam ayat diatas
masih bersifat umum, lalu Hadis merincinya, misalnya shalat yang wajib dan
sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari
Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa
yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya
adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an
tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadis, misalnya sabda
Rasulullah SAW:
“Shalatlah
kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Selanjutnya
adapun fungsi Hadis terhadap alquran adalah sebagai bayan at-Tasyri’. Kata
tasyri’ artinya perbuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan aturan hukum.[16]
Jadi maksud bayan tasyri’ di sini adalah mewujukan, mengadakan, atau menetapkan
suatu hukum atau aturan aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam
Alquran.
c. Hadis
membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan wasiat:
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib
kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,”
(Q.S Al Baqarah/2:180)[17]
Hadis
memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui
sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan
Rasul dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi
Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui
wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau
menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
Kemudia
bayan an-Nasakh yaitu diartikan sebagai membatalkan, menghilangkan,
memindahkan, mengubah.
d. Hadis memberikan pengecualian terhadap
pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan
memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan
pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan.
(Q.S Al Maidah /5:3)[18]
Hadis memberikan pengecualian dengan
membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan
darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda :
”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah
ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn
Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
e. Hadis menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya
tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, Hadis berperan menetapkan hukum
yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya Hadis dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang
bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
‘Abdul
Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa
fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadis mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan
menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,
merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
F.
PERBANDINGAN HADIS DENGAN ALQURAN
Hadis dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat
lebih rendah daripada Al-quran. Adapun perbandingan antara Hadis dengan alquran
adalah seperti terlihat pada penjelasan berikut ini.
1. Jika dilihat dari sudut persamaan antara Hadis qudusi dengan
alquran
Baik Hadis qudusi maupun alquran keduanya bersumber atau datang dari
Allah SWT, yang karenanya Hadis kudusi ini disebut dengan Hadis ilahi. Karena
dilihat dari sudut sumbernya ini, maka dalam periwayatan atau penyampaian
keduanya sama sama memakai ungkapan, qala Allah ta’ala atau Allah
‘Azza wa Jalla.[19]
2. Perbedaan antara Hadis qudusi dengan alquran
Ada sekitar 6
perbedaan antara Hadis qudusi dengan alquran, seperti dapa dilihat di bawah
ini:
Pertama: alquran merupakan mu’jizat terbesar
bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan Hadis tidak qudusi buka;
Kedua: alquran redaksi dan maknanya dari
Allah SWT, sedangkan Hadis qudusi maknanya dari Allah SWT dan redaksinya dari
Nabi Muhammad SAW;
Ketiga: dalam shalat, alquran merupakan
bacaan yang diwajibkan, sehingga seseorang tidak sah shalatnya kecuali dengan
bacaan alquran. Hal ini tidak berlaku padda Hadis qudusi.
Keempat: menolak alquran merupakan perbuatan
kufur, berbeda dengan penolakan Hadis qudusi.
Kelima: alquran diturunkan melalui
perantaraan malaikat jibril, sedangkan Hadis qudusi diberikan langsung, baik
melalui ilham maupun mimpi.
Keenam: perlakuan atau sikap seseorang
terhadap alquran diatur oleh beberapa aturan, seperti keharusan bersuci dari
hadas ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin ke bahasa lain
tanpa dituliskan lafazh aslinya. Sedangkan hal ini tidak berlaku terhadap Hadis
qudusi.
Selain
itu juga, bahwa Al-quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat
Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz Hadis
bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri. Dari segi kekuatan
dalilnya, Al-quran adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan Hadis kebanyakannya
khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni. Sekalipun ada Hadis yang mencapai
martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit. Membaca Alquran hukumnya
adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak
demikian halnya dengan Hadis.
Para
sahabat mengumpulkan Al-quran dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan
keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus
terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan
Hadis tidak demikian keadaannya, karena Hadis qouli hanya sedikit yang
mutawatir. Kebanyakan Hadis yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari
seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-quran merupakan hukum dasar
yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan Hadis sebagai
ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya). Hadis juga ikut menciptakan suatu
hukum baru yang belum terdapat dalam al-quran seperti dalam Hadis yang artinya
:
Hadis
dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan
antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapa yang perempuan) dan tidak
pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan).
(H.R. Bukhari dan Muslim).
G.
PENUTUP
Kata "Hadis" atau al-Hadis menurut bahasa berarti al-jadid
(sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadis
juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, ahli Hadis dan ahli ushul
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian
Hadis, adalah : "Segala perkataan
Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Sunnah menurut bahasa berarti :
"Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang buruk". Khabar menurut
lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Atsar
menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan
(yang dinukilkan.)
Bentuk
bentuk Hadis itu adalah seperti: Hadis qouli, Hadis fi’li, Hadis taqriri.
Selain itu ada juga yang disebut dengan Hadis qudusi, yang memiliki persamaan
dan perbedaan dengan alquran. Dengan demikian dapat diberikan sebuah kesimpulan
bahwa Hadis itu adalah memiliki fungsi sebagai, penguat terhadap alquran,
penjelas kepada alquran, sebagai keterangan terhadap alquran, pengganti terhadap
hukum yang bertentangan dengan ayat, penetapan hukum yang tidak ditemukan dalam
quran.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz: I, Beirut, Libanon: Dar- al-Fikr, 1981.
al-Khatib. Muhammad Ajjaj,
Ushul Hadis,Ulumul wa Mustalahuh, Beirut, Libanon: Dar-Fikir, 1989.
ash-Shalih. Shubhi, Ulum
al-Hadis Wa Mushthalahuh, Beirut: Dar-al-Ilm li al-Malayin, 1959.
Ash-Shiddiqi. Teungku
Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999.
As-Sabbagh. Muhammad, al-Hadis-an-Nabawi:
Musthalahu, Balagatuh, ‘Ulumuh, Kutubuh, Mansyurat al-Maktab al-Islami, Riyad, 1392/ 1972.
as-Siba’i. Mushthafa, as-Sunnah
wa Makanatha fi At-Tasyri’ al-Islami, Kairo, Mesir: Dar-al-Qoumiyyah, 1949.
At-Tirmizi, Sunan
At-Tirmizi,Juz: I, Dar-Fikr, t.t.
At-Tirmidzi, Kitab : Shalat, Bab
: Witir satu rakaat, No. Hadist : 423
at-Trirmizi. Muhammad
Mahfuz ibn ‘Abdillah, Manhaj Zawi an-Nazr, Beirut: Dar-al-Fkir, 1981/1401.
Daud. Abu, Sunan Abu
Daud, Juz II, Beirut, Libanon: Dar-al-Fikr,
t.t.
Hajar. Ibnu, Fath
al-Bari, Jilid XIII, Beirut: Dar-al-Fikr, t.,t.
Hammadah. Abbas Mutawalli,
as-Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuha fi at-Tasyri’, Kairo:
Dar-al-Qoumiyyah, t.t.
Muslim, Shahih Muslim, Beirut,
Libanon: Dar-al-Fikr, t.t.
Ranuwijaya. Utang, Ilmu
Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Wahid. Ramli Abdul, Studi
Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005.
[1]Ramli
Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h.
3.
[2]Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 1.
[4]Ibnu
Hajar, Fath al-Bari, Jilid XIII, (Beirut: Dar-al-Fikr, t.,t), h.
234-235.
[5]Abbas
Mutawalli Hammadah, as-Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuha fi at-Tasyri’, (Kairo:
Dar-al-Qoumiyyah, t.t), h. 23.
[6]Shubhi
ash-Shalih, Ulum al-Hadits Wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar-al-Ilm li
al-Malayin, 1959), h. 9-10.
[7]Muhammad
As-Sabbagh, al-Hadits-an-Nabawi: Musthalahu, Balagatuh, ‘Ulumuh,
Kutubuh, Mansyurat al-Maktab
al-Islami, Riyad, 1392/ 1972, h. 13.
[8]Muhammad
Mahfuz ibn ‘Abdillah at-Trirmizi, Manhaj Zawi an-Nazr, (Beirut: Dar-al-Fkir, 1981/1401), h. 8.
[9]At-Tirmizi,
h. 8-9.
[10]Al-Bukhari,
Shahih Bukhari, Juz: I, (Beirut,
Libanon: Dar- al-Fikr, 1981), h. 8.
[11]Abu
Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, (Beirut, Libanon: Dar-al-Fikr, t.t), h. 286.
[12]Mushthafa
as-Siba’I, as-Sunnah wa Makanatha fi At-Tasyri’ al-Islami, (Kairo,
Mesir: Dar-al-Qoumiyyah, 1949), h. 344.
[13]Muhammad
Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadits,Ulumul wa Mustalahuh, (Beirut, Libanon:
Dar-Fikir, 1989), h. 301-302.
[14]Ajjaj
al-Khatib, 304.
[15]QS.
Albaqarah: 110.
[16]Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 33.
[17]QS.
Al-Baqarah: 180.
[18]QS.
Al-Maidah: 3
[19]Ranuwijaya,
h. 41-42.