Thursday, August 22, 2019

KETERKAITAN ALQURAN DENGAN HADIS


KETERKAITAN ALQURAN DAN HADIS


Dr. Muhammad Roihan Daulay, M.A
Dosen IAIN Padangsidimpuan
Email: daulaymuhammadroihan@gmail.

Abstrak
Tulisan ini akan mengkaji tentang hubungan Hadis dengan Alquran yang dibahas dengan terma sunnah, khabar, Atsar, serta bentuk bentuk hadis, kedudukan hadis terhadap Alquran, fungsi hadis terhadap Alquran serta perbandingan hadis dengan Alquran. Alquran dan hadis ini merupakan pedoman yang harus dijadikan sebagai sumber bagi setiap perbuatan manusia yang hidup di dunia ini. Melalui hadislah Alquran dapat dipahami dan diamalkan. Sehingga hubungan hadis dengan Alquran sangat erat hubungannya.

            Keyword: Hadis, Alquran

A.    PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang memiliki aturan aturan yang diikat melalui Alquran dan Hadis. Dengan pedoman ini manusia akan selamat di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain kedua sumber ini merupakan rujukan bagi pemeluk agama islam dapat meraih kebahagiaan di dunia ini terlebih lebih keselamatan di akhirat. Dimana Alquran itu merupakan kalam Allah yang ditunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril yang disampaikan dengan bahasa arab, kemudian mendapat pahala atau ganjaran bagi yang membacanya. Demikian juga dengan Hadis merupakan suatu ketetapan yang dilakukan oleh nabi, baik itu ucapan nabi, perbuatan nabi ketetapan nabi.
Setiap persoalan tentunya dapat dirujuk kepada Alquran dan Hadis. Dari sinilah permasalahn tersebut dapat diatasi dengan baik, sehingga memberikan solusi bagi pemeluk Islam tersebut. Namun, jika kita melihat lebih rinci tentang sumber sumber hukum ini, tentu tidak lah dapat dijelaskan secara detail di dalam Alquran secara jelas. Namun disinilah perlu adanya penjelasan penjelasan yang harus dikaitkan melalui Hadis Hadis Rasulullah SAW.
Pada jurnal ini penulis akan mencoba membahas tentang bagaimana sesungguhnya hubungan antara Hadis dengan Alquran. Sehingga untuk mengkaji ini diperlukan pemaparan pemaparan yang terperinci seperti apa itu Hadis, nama lain dari istilah hadis, seperti sunnah, khabar, Atsar, serta bentuk bentuk hadis, kedudukan hadis terhadap Alquran, fungsi hadis terhadap Alquran serta perbandingan hadis dengan Alquran.

B.     PENGERTIAN HADIS
Kata "Hadis" atau al-Hadis menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama).[1] Kata Hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-Hadist. Selanjutnya di dalam buku Hasbi Ash-Shiddiqi dikemukakan bahwa Hadis menurut bahasa (lughah) adalah jadid, qorib, khabar.[2]
Secara terminologi, ahli Hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam  memberikan pengertian Hadis. Di kalangan ulama Hadis sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan Hadis, adalah :  "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama Hadis menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli Hadis yang lain merumuskan pengertian Hadis dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama Hadis yang lain juga mendefiniskan Hadis sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli Hadis dalam mendefinisikan Hadis. Kasamaan dalam mendefinisikan Hadis ialah Hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi Hadis. Ada ahli Hadis yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen Hadis, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli Hadis yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk Hadis, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan Hadis sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara".
Berdasarkan rumusan definisi Hadis baik dari ahli Hadis maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat a
tau tabi’in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli Hadis mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi Hadis ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Selain Hadis, ada juga istilah yang mempunyai makna seperti Hadis, yakni :
1.      As-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang buruk". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ فَقُلْتُ أُطِيلُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَقَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَيُوتِرُ بِرَكْعَةٍ وَكَانَ يُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ وَالْأَذَانُ فِي أُذُنِهِ يَعْنِي يُخَفِّفُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَجَابِرٍ وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي أَيُّوبَ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ رَأَوْا أَنْ يَفْصِلَ الرَّجُلُ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ وَالثَّالِثَةِ يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Anas bin Sirin dia berkata, saya bertanya kepada Ibnu Umar seraya berkata, saya memanjangkan dalam dua raka'at shalat fajar, maka dia berkata, adalah Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dua raka'at-dua raka'at, lalu witir satu raka'at, beliau mengerjakan sunnah (fajar) dua raka'at dengan ringan (cepat) seakan-akan telah terdengar adzan ditelinganya. (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari 'Aisyah, Jabir, Fadll bin 'Abbas, Abu Ayyub dan Ibnu Abbas. Abu Isa berkata, Hadisnya Ibnu Umar adalah Hadis hasan shahih. Hadis ini juga diamalkan oleh sebagian ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi'in, mereka berpendapat, hendaknya seseorang memisahkan antara raka'at kedua dan raka'at ketiga dengan witir satu raka'at, dengannya pula Malik, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq berkata.[3]
Selain itu, pada defenisi lain menurut bahasa bahwa sunnah itu adalah kamu sungguh akan mengikut jalan jalan (tradisi) orang orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga akhirnya, sekiranya mereka memasuki lubang biawak niscaya kamu juga akan turut memasukinya.[4]
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli Hadis) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah Alquran dan Hadis.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan Hadis, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah Hadis. Ulama ahli Hadis merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".[5]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata Hadis. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"(H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama Hadis memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama Hadis membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri’, artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam Alquran surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah". Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadis ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
Perlu diingat bahwa sekalipun ada di antara Ulama yang membedakan antara Hadis dan sunnah, namun perbedaan itu tidak mutlak diikuti, sebab hal tersebut hanyalah terjadi dikalangan ulama mutaqoddimin. Sementara itu bagi ulama mutaakhkhirin (belakangan) sebagaimana yang dijelaskan oleh Subhi as-Shalih, Hadis dan sunnah adalah dua istilah yang mempunyai makna identik dan sama.[6]
2.      Khabar
Selain istilah Hadis dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Di lain sisi ada juga yang mengatakan bahwa khabar itu adalah berita atau perkataan yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.[7] Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadis. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah Hadis sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadis.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah ‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap Hadis dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadis.
Menurut istilah sumber ahli Hadis; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW.
Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan Hadis dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Hadis lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada Hadis, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan Hadis khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
Menurut istilah , khususnya dalam disiplin ilmu Hadis, ditemukan beberapa defenisi yang dikemukakan ulama. Dianataranya ada yang memiliki makna luas ada yang memiliki makna terbatas. Dalam makna luas misalnya adalah yang dikemukakan oleh at-Thaibi dan Muhammad Mahfuzh sebagai berikut:
Hadis tidak hanya terbatas dengan khabar marfhu’ kepada Rasul, tetapi juga meliputi khabar mauquf, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan maqthu yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Tabi’i.[8]

3.      Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan Hadis. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli Hadis mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabiin. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu. Ada juga yang menyamakan khabar dengan Hadis. Akan tetapi pendapat yang masyhur di kalngan ulama salaf adalah bahwa atsar merupakan riwayat yang berasal dari ulama salaf, sahabat, tabi’in. Pada ulama Khurasan atsar dibatasi hanya pada riwayat yang mauquf, sedangkan khabar bagi mereka merupakan riwayat yang marfu’. Golongan terakhir ini melihat bahwa khabar terbatas kepada riwayat yang disandarkan kepada riwayat rasul.[9]
Jumhur ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada NAbi SAW dan demikian juga kepada sahabat dan tabi’in. namun, para Fuqaha’ khurasan membedakannya dengan mengkhususkan al-mawquf, yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat dengan sebutan Atsar dan al-marfu’, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.

C.     BENTUK-BENTUK HADIS
Sesuai pengertiannya dengan berdasarkan secara terminologi, Hadis ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam Hadis :
1.      Hadis Qauli
Hadis atau sunnah qouliyah ialah perkataan atau ucapan rasul yang pernah beliau utarakan dalam berbagai kesempatan semasa ia  masih hidup. Ucapan ini menyangkut aspek seperti: hukum , akhlak, dan ibadah. Sebagai contohnya:
“sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang akan memperoleh balasan amal berdasarkan niatnya.[10]

Hadis yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya sabda Nabi SAW :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ فَكَانَ يَمُدُّ يَدَهُ حَتَّى تَبْلُغَ إِبْطَهُ فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا هَذَا الْوُضُوءُ فَقَالَ يَا بَنِي فَرُّوخَ أَنْتُمْ هَاهُنَا لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ هَاهُنَا مَا تَوَضَّأْتُ هَذَا الْوُضُوءَ سَمِعْتُ خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Khalaf -yaitu Ibnu Khalifah- dari Abu Malik al-Asyja'i dari Abu Hazim dia berkata, "Saya di belakang Abu Hurairah saat dia sedang berwudlu untuk shalat. Dia memanjangkan tangannya hingga mencapai ketiaknya, maka saya berkata kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, wudlu apaan ini? ' Dia menjawab, 'Wahai bani Farrukh, kalian di sini, kalau saya tahu kalian di sini niscaya aku tidak akan berwudlu dengan (cara) wudlu ini. Saya mendengar kekasihku shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perhiasan seorang mukmin adalah sejauh mana air wudlunya membasuh."

Selain itu ada juga contoh Hadis lain adalah:
2.      Hadis Fi’il,
Hadis yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku Nabi SAW.  Hadis fi’li juga disebutkan dengan sesuatu perbuatan atau tindakan Rasul yang merupakan penjelasan  praktis ajaran agama, seperti: tata cara shalat, puasa, haji, wuduk dsb


Berikut contoh Hadisnya, Seorang sahabat berkata :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْوَلِيدِ يَعْنِي ابْنَ كَثِيرٍ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ يَوْمًا ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ يَا فُلَانُ أَلَا تُحْسِنُ صَلَاتَكَ أَلَا يَنْظُرُ الْمُصَلِّي إِذَا صَلَّى كَيْفَ يُصَلِّي فَإِنَّمَا يُصَلِّي لِنَفْسِهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَأُبْصِرُ مِنْ وَرَائِي كَمَا أُبْصِرُ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ


Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-'Ala' al-Hamdani telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari al-Walid, yaitu Ibnu Katsir telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abi Sa'id al-Maqburi dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu dia berkata, "Rasulullah shalat mengimami kami pada suatu hari, kemudian beliau berpaling seraya bersabda, 'Wahai fulan, tidakkah kamu memperbagus shalatmu, tidakkah seorang yang shalat mencermati apabila dia shalat, bagaimana dia shalat. Dia shalat adalah untuk dirinya sendiri. Demi Allah, aku melihat dari arah belakangku sebagaimana aku melihat dari arah depanku'."

3.      Hadis Taqriri
Hadis yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW
Contoh lain dari Hadis taqriri ini adalah:.[11]

حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حُجَيْرٍ عَنْ طَاوُسٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ لِي مُعَاوِيَةُ أَعَلِمْتَ أَنِّي قَصَّرْتُ مِنْ رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْمَرْوَةِ بِمِشْقَصٍ فَقُلْتُ لَهُ لَا أَعْلَمُ هَذَا إِلَّا حُجَّةً عَلَيْكَ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Amru An Naqid Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujr dari Thawus ia berkata, Ibnu Abbas berkata; Mu'awiyah berkata kepadaku, "Tahukah Anda, bahwa aku telah menggunting rambut Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Marwa?" aku menjawab, "Aku tidak tahu akan ini kecuali ia merupakan hujjah yang bakalan menuntutmu."





    D.    KEDUDUKAN HADIS TERHADAP                ALQURAN
Alquran dan assunnah adalah dua sumber poko syariat Islam. tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa al-Qur an adalah sumber pertama, dan tidak sedikitpun ada keraguan tentang autentisitasnya sebagai wahyu Allah. Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Redaksidan maknanya diturunkan kepada Muhammad saw. melalui wahyu. Seluruh ayat ayat Alquran diriwayatkan secara mutawatir.
 Allah SWT menutup risalah samawiyah dengan risalah islam. Dia mengutus Nabi SAW. Sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan Al-qur`an kepadanya yang merupakan mukjizat terbesar dan hujjah teragung, dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan dan menjelaskannya.
Al-qur`an merupakan dasar syariat karena merupakan kalamullah yang mengandung mu`jizat, yang diturunkan kepada Rasul SAW. Melalui malaikat Jibril mutawatir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis di dalam lembaran lembaran.
Dalam hukum Islam, Hadis menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur`an . penetapan Hadis sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu Al qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al qur`an menunjuk nabi sebagai orang yang harus menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan Allah, karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani kaum muslimin sejak masa sahabat sampai hari ini telah bersepakat untuk menetapkan hukum berdasarkan sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan Hadis sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-qur`an hanya memberikan garis- garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan Hadis sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
Al-qur`an sebagai sumber pokok dan Hadis sebagai sumber kedua mengisyaratkan pelaksanaan dari kenyataan dari keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tertuang dalam dua kalimat syahadat. Karena itu menggunakan Hadis sebagai sumber ajaran merupakan suatu keharusan bagi umat islam. Setiap muslim tidak bisa hanya menggunakan Al-qur`an, tetapi ia juga harus percaya kepada Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam.
Taat kepada Allah adalah mengikuti perintah yang tercantum dalam Al-qur`an sedang taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnah-Nya, oleh karena itu, orang yang beriman harus merujukkan pandangan hidupnya pada Al qur`an dan sunnah/Hadis rasul.
Alqur`an dan Hadis merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat islam sehingga tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan. Apabila perselisihan telah dikembalikan kepada ayat dan Hadis, maka walaupun masih terdapat perbedaan dalam penafsirannya, umat islam seyogyanya menghargai perbedaan tersebut.
Alquran itu diriwayatkan secara pasti (qath’I ats-tsubut). Sunnah berbeda dengan Alquran. Ia tidak semuanya digolongkan ke dalam qath’I ats-tsubut. Bahkan kesemuanya Hadis atau sunnah itu disebut dengan zhanni tsubut, hanya diriwayatkan dalam jumlah mutawatir.[12] Dalam kaitan ini orang yang menolak keterangan Zhanni tidak dihukumkan kafir, sementara orang yang menolak khabar muatawatir berarti tidak menerima kebenaran yang pasti dihukumkan kafir.[13]
Ditinjau dari segi tunjukan lafalnya (dalalah), Alquran dan Hadis atau Sunnah sama sama bisa dibagi ke dalam qat’i ad-dalalah dan zhanni dalalah. Qat’I ad dalalah adalah tunjukan dari suatu lafal hanya menunjukkan makna pasti dan tidak membutuhkan interpretasi dan ta’wil untuk memahaminya.. sementara zhanni dalalah adalah tunjukan lafalnya bersifat relatif dan membutuhkan interpretasi dan ta’wil.[14]


E.     FUNGSI HADIS TERHADAP ALQURAN
Adapun fungsi sunnah atau Hadis terhadap Alquran adalah sebagai:Bayan taqrir atau bayan taklid atau bayan al-isbath.
Bayan ini maksudnya menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Alquran. Jadi fungsi Hadis pada hal ini adalah memperkokoh isi kandungan Alquran. Alquran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Alquran dan Hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.

 Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
a.    Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Alquran. Di sini Hadis berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Alquran. Misalnya, Alquran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :  

“Hai orang – orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al-Baqarah/2:183)
Dan Hadis menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Selanjutnya ada juga disebut dengan bayan tafsir. Maksudnya adalah penjelasan Hadis terhadap ayat ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti ayat ayat mujmal, muthlak dan ‘am. Jadi fungsi Hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran, terhadap ayat ayat Alquran yang masih mujmal, memberikan takhyid terhadap ayat ayat yang masih muthlal dan memberikan takhshis ayat ayat yang masih umum.
b.   Hadis memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global. Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :[15] 
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110) shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu Hadis merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:

Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadis, misalnya sabda Rasulullah SAW:

“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Selanjutnya adapun fungsi Hadis terhadap alquran adalah sebagai bayan at-Tasyri’. Kata tasyri’ artinya perbuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan aturan hukum.[16] Jadi maksud bayan tasyri’ di sini adalah mewujukan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam Alquran.

c. Hadis membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan wasiat:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)[17]
Hadis memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
Kemudia bayan an-Nasakh yaitu diartikan sebagai membatalkan, menghilangkan, memindahkan, mengubah.
d. Hadis memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)[18]
Hadis memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
e. Hadis menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, Hadis berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya Hadis dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
 ‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadis mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

F.      PERBANDINGAN HADIS DENGAN ALQURAN
Hadis dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah daripada Al-quran. Adapun perbandingan antara Hadis dengan alquran adalah seperti terlihat pada penjelasan berikut ini.
1.      Jika dilihat dari sudut persamaan antara Hadis qudusi dengan alquran
Baik Hadis qudusi maupun alquran keduanya bersumber atau datang dari Allah SWT, yang karenanya Hadis kudusi ini disebut dengan Hadis ilahi. Karena dilihat dari sudut sumbernya ini, maka dalam periwayatan atau penyampaian keduanya sama sama memakai ungkapan, qala Allah ta’ala atau Allah ‘Azza wa Jalla.[19]
2.      Perbedaan antara Hadis qudusi dengan alquran
Ada sekitar 6 perbedaan antara Hadis qudusi dengan alquran, seperti dapa dilihat di bawah ini:
Pertama: alquran merupakan mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan Hadis tidak qudusi buka;
Kedua: alquran redaksi dan maknanya dari Allah SWT, sedangkan Hadis qudusi maknanya dari Allah SWT dan redaksinya dari Nabi Muhammad SAW;
Ketiga: dalam shalat, alquran merupakan bacaan yang diwajibkan, sehingga seseorang tidak sah shalatnya kecuali dengan bacaan alquran. Hal ini tidak berlaku padda Hadis qudusi.
Keempat: menolak alquran merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan Hadis qudusi.
Kelima: alquran diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril, sedangkan Hadis qudusi diberikan langsung, baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam: perlakuan atau sikap seseorang terhadap alquran diatur oleh beberapa aturan, seperti keharusan bersuci dari hadas ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin ke bahasa lain tanpa dituliskan lafazh aslinya. Sedangkan hal ini tidak berlaku terhadap Hadis qudusi.
Selain itu juga, bahwa Al-quran adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz Hadis bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri. Dari segi kekuatan dalilnya, Al-quran adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan Hadis kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni. Sekalipun ada Hadis yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit. Membaca Alquran hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian halnya dengan Hadis.
Para sahabat mengumpulkan Al-quran dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan Hadis tidak demikian keadaannya, karena Hadis qouli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan Hadis yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-quran merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan Hadis sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya). Hadis juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam al-quran seperti dalam Hadis yang artinya :
Hadis dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapa yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim).

G.    PENUTUP
Kata "Hadis" atau al-Hadis menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, ahli Hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam  memberikan pengertian Hadis, adalah :  "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang buruk". Khabar menurut lughat, yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan.)
Bentuk bentuk Hadis itu adalah seperti: Hadis qouli, Hadis fi’li, Hadis taqriri. Selain itu ada juga yang disebut dengan Hadis qudusi, yang memiliki persamaan dan perbedaan dengan alquran. Dengan demikian dapat diberikan sebuah kesimpulan bahwa Hadis itu adalah memiliki fungsi sebagai, penguat terhadap alquran, penjelas kepada alquran, sebagai keterangan terhadap alquran, pengganti terhadap hukum yang bertentangan dengan ayat, penetapan hukum yang tidak ditemukan dalam quran.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Shahih Bukhari,  Juz: I, Beirut, Libanon: Dar- al-Fikr, 1981.
al-Khatib. Muhammad Ajjaj, Ushul Hadis,Ulumul wa Mustalahuh, Beirut, Libanon: Dar-Fikir, 1989.

ash-Shalih. Shubhi, Ulum al-Hadis Wa Mushthalahuh, Beirut: Dar-al-Ilm li al-Malayin, 1959.

Ash-Shiddiqi. Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.

As-Sabbagh. Muhammad, al-Hadis-an-Nabawi: Musthalahu, Balagatuh, ‘Ulumuh, Kutubuh, Mansyurat  al-Maktab al-Islami, Riyad, 1392/ 1972.

as-Siba’i. Mushthafa, as-Sunnah wa Makanatha fi At-Tasyri’ al-Islami, Kairo, Mesir: Dar-al-Qoumiyyah, 1949.

At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi,Juz: I, Dar-Fikr, t.t.

At-Tirmidzi, Kitab : Shalat,  Bab : Witir satu rakaat,  No. Hadist : 423

at-Trirmizi. Muhammad Mahfuz ibn ‘Abdillah, Manhaj Zawi an-Nazr, Beirut: Dar-al-Fkir,  1981/1401.

Daud. Abu, Sunan Abu Daud, Juz II, Beirut, Libanon:  Dar-al-Fikr, t.t.

Hajar. Ibnu, Fath al-Bari, Jilid XIII, Beirut: Dar-al-Fikr, t.,t.

Hammadah. Abbas Mutawalli, as-Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuha fi at-Tasyri’, Kairo: Dar-al-Qoumiyyah, t.t.

Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Libanon:  Dar-al-Fikr, t.t.

Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

Wahid. Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005.





[1]Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 3.
[2]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 1.
[3]Tirmidzi, Kitab : Shalat,  Bab : Witir satu rakaat,  No. Haditst : 423
[4]Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Jilid XIII, (Beirut: Dar-al-Fikr, t.,t), h. 234-235.
[5]Abbas Mutawalli Hammadah, as-Sunnah an-Nabawiyah wa Maknatuha fi at-Tasyri’, (Kairo: Dar-al-Qoumiyyah, t.t), h. 23.
[6]Shubhi ash-Shalih, Ulum al-Hadits Wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar-al-Ilm li al-Malayin, 1959), h. 9-10.
[7]Muhammad As-Sabbagh, al-Hadits-an-Nabawi: Musthalahu, Balagatuh, ‘Ulumuh, Kutubuh, Mansyurat  al-Maktab al-Islami, Riyad, 1392/ 1972, h. 13.
[8]Muhammad Mahfuz ibn ‘Abdillah at-Trirmizi, Manhaj Zawi an-Nazr, (Beirut: Dar-al-Fkir,  1981/1401), h. 8.
[9]At-Tirmizi, h. 8-9.
[10]Al-Bukhari, Shahih Bukhari,  Juz: I, (Beirut, Libanon: Dar- al-Fikr, 1981), h. 8.
[11]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, (Beirut, Libanon:  Dar-al-Fikr, t.t), h. 286.
[12]Mushthafa as-Siba’I, as-Sunnah wa Makanatha fi At-Tasyri’ al-Islami, (Kairo, Mesir: Dar-al-Qoumiyyah, 1949), h. 344.
[13]Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadits,Ulumul wa Mustalahuh, (Beirut, Libanon: Dar-Fikir, 1989), h. 301-302.
[14]Ajjaj al-Khatib, 304.
[15]QS. Albaqarah: 110.
[16]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 33.
[17]QS. Al-Baqarah: 180.
[18]QS. Al-Maidah: 3
[19]Ranuwijaya, h. 41-42.