PONDOK PESANTREN
Pondok Pesantren
Oleh:
Dr. Muhammad Roihan Daulay, M.A
Dosen IAIN Padangsidimpuan
Email: daulaymuhammadroihan@gmail.com
A.
Peranan
Pondok Pesantren
Istilah yang ditemukan dan sering digunakan
untuk menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia, yang terkenal
dengan sebutan pesantren, memiliki nuansa politik. Pada masa kerajaan Mataram,
istilah pondok belum dimasukkan pada nama pesantren. Namun, setelah kerajaan
Mataram dikuasai oleh Islam maka, istilah pesantren harus digabungkan dengan
sebutan pondok. Pondok sendiri, berasal dari bahasa Arab, yakni funduq
yang berarti asrama. Oleh karena itu, di jawa sering disebut dengan pesantren
umumnya digunakan istilah pesantren atau pondok pesantren.[1]
Berdasarkan dua kata di atas, istilah pondok
terambil dari bahasa Arab (Islam) sedangkan pesantren berasal dari bahasa
Hindu. Ternyata dari dua istilah bahasa yang berbeda memiliki nilai filosofis
antara penguasa Hindu dan Islam di Pulau Jawa. Di Minangkabau dikenal dengan surau
sedangkan di Aceh dikenal dengan istilah dayah, rangkang atau
meunasah.[2]
Pengertian pesantren jika dilihat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia memiliki arti asrama atau tempat santri atau
murid-murid belajar mengaji.[3]
Selanjutnya, pesantren juga terdiri dari dua
kata yakni santri yang awalan pe- dan akhiran -an yang
diartikan dengan tempat tinggal para santri.[4]
Selain itu, kata santri juga dapat diartikan dengan adanya gabungan
antara kata sant ‘manusia baik’ dengan suku kata ira ‘suka menolong’, sehingga kata pesantren itu diartikan dengan tempat pendidikan manusia
yang baik-baik.[5]
Menurut pendapat para ahli, istilah santri
itu berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Adapun CC Berg
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata shastni yang dalam
bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[6]
Sejalan dengan pendapat di atas, Steenbrink
menjelaskan bahwa pendidikan pesantren itu jika dilihat dari bentuk dan
sistemnya berasal dari India. Hal ini dapat dilihat ketika proses penyebaran
Islam di Indonesia, maka sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Pulau Jawa. Oleh karena itu, setelah
Islam masuk dan tersebar di Pulau Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh
Islam.[7]
Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami
bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki
kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menyelenggarakan
sistem pendidikan dan pengajaran agama. Dengan demikian, istilah pondok
pesantren yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pondok pesantren
Musthafawiyah Purba Baru yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal.
Sebelum lebih lanjut membahas tentang pondok
pesantren Musthafawiyah Purba Baru, berikut ini akan dijelaskan lebih awal
peran pondok pesantren secara umum. Jika ditelusuri dari peran pondok
pesantren, maka keberadaan pesantren ini memiliki peran yang sangat bermakna
bagi kaum muslimin. Berikut ini akan dibahas tentang peran pondok pesantren.
Pesantren seperti yang telah dibicarakan sebelumnya
adalah sebagai tempat santri untuk belajar ilmu agama Islam maka sudah
seharusnya pesantren berperan aktif untuk menyelenggarakan pendidikan bagi
santri sehingga dapat mewujudkan pembentukan ulama yang dapat memberikan
penguatan terhadap proses kehidupan masyarakat Islam secara luas. Pergumulan
pondok pesantren bersama dengan elemen bangsa dapat melahirkan tradisi
keagamaan moderat, yang menjadikan ciri khas keberagamaan di Indonesia. Lebih
dari itu, keberadaan pesantren inilah sebagai watak keislaman dan keindonesiaan
sampai saat sekarang ini.
Secara ideal, pondok
pesantren diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap masyarakat. Adapun
kontribusi yang dimaksud yaitu,
1. Membangkitkan cinta kepada
agama.
2. Membangkitkan motivasi
untuk mengamalkan agama.
3. Memadukan aspek kognitif,
efektif, dan psikomotorik.
4. Mampu merefleksikan
nilai-nilai keimanan dan akhlakulkarimah di kehidupan sehari-hari.[8]
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa peran
pondok pesantren sebagai tempat belajar ilmu agama Islam dengan tujuan untuk
dapat menyebarkan ajaran Islam. Ilmu yang telah dipelajari di pondok pesantren
langsung disampaikan kepada masyarakat yang belum mengerti tentang agama Islam.
Oleh karena itu, pada mulanya peran pondok pesantren memiliki peran dakwah
Islamiyah.
Selanjutnya, dengan usia yang sangat tua membuat pondok
pesantren layak dinyatakan sebagai lembaga yang telah dikenal sehingga dapat
disebut sebagai milik bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan dan
telah ikut serta di dalam mencerahkan kehidupan bangsa di Indonesia.[9]
Sejalan dengan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa
pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah ikut dalam
mencerdaskan anak bangsa. Bahkan pada masa penjajahan bangsa Belanda ke
Indonesia pondok pesantren telah ikut dalam memainkan perannya demi cita-cita
luhur bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah Belanda sehingga rakyat
Indonesia harus terbebas dari kebodohan terhadap membaca dan menulis serta
terbebas dari kebodohan dalam bidang agama.
Guna memperkuat keikutsertaan pondok pesantren dalam
bidang pendidikan terutama dalam mencerahkan kehidupan bangsa maka pada bidang
yang lain Mahmud Yunus juga memberikan komentar bahwa pondok pesantren, di
samping sebagai lembaga pendidikan Islam juga disatukan sebagai kegiatan dan
tugas dakwah.[10] Di zaman kerajaan Islam, pesantren telah ikut
dalam mewarnai watak Islam. Bahkan pada tahun 1900, ideologi politik keagamaan
yang bercorak menantang kekuasaan kolonial Belanda telah terbentuk pada pondok
pesantren.
Kemajuan zaman menjadikan pondok pesantren harus mampu
untuk tetap mempertahankan eksistensinya dalam menciptakan kader-kader ulama
yang dekat kepada Allah swt. Di antara faktor utama eksisnya pondok pesantren
dalam memperjuangkan cita-citanya adalah adanya sosok syekh kharismatik.
Suryadharma
Ali berpendapat bahwa salah satu faktor utama tumbuh dan berkembangnya sebuah
pondok pesantren dapat dilihat dari sosok seorang Kyai. Kyai memiliki
sifat-sifat yang harus diteladani seperti: keikhlasan, ketabahan, kesabaran,
sikap tanpa pamrih, keluhuran akhlak, kehidupan yang sederhana, dan bersahaja
itulah sesungguhnya yang menjadi modal sosial (social capital) dan modal
kultural (cultural capital) dari perkembangan pesantren.[11]
Sesuai dengan pendapat Suryadharma Ali di atas dapat
dipahami bahwa pondok pesantren bisa bertahan dan memiliki peran positif di
masyarakat dapat dilihat melalui sosok Syekh atau Kyainya. Di mana Syekh atau
Kyai memiliki sifat-sifat mahmudah yang dapat memberikan pengaruh positif bagi
masyarakat secara luas. Melaui sifat keikhlasan,
ketabahan, kesabaran, sikap tanpa pamrih, keluhuran akhlak, kehidupan yang
sederhana inilah yang pada akhirnya pondok pesantren tetap eksis.
Keberadaan
pondok pesantren harus mempertahankan ciri khasnya bukan sebaliknya melakukan
perubahan-perubahan sehingga pada akhirnya mengabaikan bahkan melupakan kitab
kuning, kultur pesantren, bahkan pondok sebagai ciri khas yang harus menjadi
modal utama lahirnya para ulama-ulama yang sangat konsisten dengan ilmu dan
kemandiriannya dalam berkehidupan.
Tantangan
yang dihadapi pesantren tradisional saat ini adalah terjadinya pengalihan dari
aslinya menuju tingkat modern. Jika hal ini dibiarkan, maka dikhawatirkan akan
merubah paradigma keaslian dari awal berdirinya pondok pesantren tradisonal di
Indonesia. Terjadinya pergeseran nilai-nilai dari keaslian pondok pesantren
yang tradisional akan mengakibatkan visi dan misi pondok pesantren menyimpang
dari peran awalnya, dalam bidang kurikulum justeru semakin dangkalnya
pengakajian terhadap kitab-kitab klasik sebagai salah satu karya ulama yang
telah ditulis guna memberikan pemahaman secara terperinci terkait mengenai
agama Islam, bergesernya tradisi pondok pesantren dari sederhana ke hedonis,
bahkan tingkat kemandirian yang harus dimiliki justru akan semakin minim karena
sudah dimanjakan dengan adanya asrama, kurangnya silaturrahim antara sesama
alumni sebagai salah satu hal yang dapat memperkuat pondok pesantren tetap
eksis.
Dengan
demikian, peranan pondok pesantren dalam menciptakan pembentukan ulama harus
dipertahkan baik dari visi dan misi pondok pesantren, proses pendidikannya yang
tetap mempertahankan kitab kuning sebagai bagian dari kurikulum pondok
pesantren, kultur atau budaya santri di pondok pesantren, memperhatikan alumni
sebagai penerus jaringan pondok pesantren dengan membentuk organisasi alumni
sehingga pondok tetap bisa eksis sesuai dengan visi dan misinya.
Peranan
pondok pesantren yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adanya upaya atau
tindakan pondok pesantren Musthafawiyah sebagai lembaga dalam pembentukan ulama
khususnya di Kabupaten Mandailing Natal. Artinya, adanya suatu tindakan yang
dilakukan oleh pondok pesantren Musthafawiyah melalui penetapan visi dan misi
PPMPB, kurikulum PPMPB, kultur PPMPB,
dalam pembentukan ulama khususnya di Kabupaten Mandailing Natal.
Guna
mengetahui peranan apa saja yang perlu ditetapkan, sehingga pondok pesantren
tersebut dapat mencapai tujuannya adapat dilihat pada bahagian berikut.
1.
Visi dan
misi
Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa visi merupakan cita-cita yang akan dicapai
melalui misi yang jelas. Berikut ini merupakan visi pondok pesantren
Musthafawiyah Purba Baru. Adapun visi pondok pesantren Musthafawiyah Purab Baru
adalah untuk membentuk lahirnya ulama yang menganut faham Ahlus Sunnah
Waljamaah.[12]
Sedangkan
misi adalah
a.
Kompetensi di bidang ilmu;
b.
mantap pada keimanan;
c.
Tekun dalam beribadah;
d.
Ihsan setiap saat;
e.
Cekatan dalam berpikir;
f.
Terampil pada urusan agama;
g.
Panutan di tengah masyarakat.
Deskripsi tentang misi
pondok pesantren Musthafawiyah Purba Baru adalah sebagai berikut:
a.
Melanjutkan dan melestarikan apa yang telah dibina dan
dikembangkan oleh pendiri Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Syekh H.
Musthafa Husein Nasution untuk menjadikan Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba
Baru sebagai salah satu lembaga pendidikan yang dihormati dalam upaya mencapai
kebaikan dunia dan kebahagiaan akhirat, dengan tetap solid menganut paham Ahlus
Sunnah Waljama’ah (Mazhab Syafi’iyah);
b.
Membekali peserta didik ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan umum khususnya pengetahuan agama terutama yang menyangkut iman,
Islam, akhlakul karimah, dan berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan;
c.
Secara serius melatih peserta didik agar mampu
membaca, mengartikan dan menafsirkan serta mengambil maksud dari kitab-kitab
kuning (kitab-kitab keislaman yang berbahasa arab);
d.
Secara bertanggungjawab membimbing dan membiasakan
peserta didik dalam beribadah, berzikir dan menerapkan akhlakul karimah dalam
kehidupan sehari-hari baik di dalam maupun di luar lingkungan Pondok Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru;
e.
Dengan kejelian menggali mengembangkan minat dan bakat
peserta didik, sehingga mereka memiliki keterampilan (life skill) sesuai
dengan kebijakan dan kemampuan Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru;
f.
Dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan membangun
kepribadian peserta didik sehingga mereka diharapkan mempunyai kepribadian yang
tangguh, percaya diri, ulet, jujur, dan bertanggung jawab serta berakhlakul
karimah, dengan demikian mereka akan dapat mensikapi dan menyelesaikan setiap
permasalahn hidup dan kehidupan dengan tepat dan benar;
g.
Secara berkesinambungan menanamkan dan memupuk jiwa
patriotisme peserta didik kepada bangsa dan negara, tanah air, almamater
terutama sekali terhadap agama.
2.
Kurikulum
Pondok Pesantren
Kurikulum
adalah program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan pesantren
bagi peserta didik. Berdasarkan program pendidikan tersebut santri melakukan
berbagai kegiatan belajar, sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhannya
sesuai dengan visi pendidikan yang telah ditetapkan.[13]
Kegiatan-kegiatan kurikulum tersebut tidak hanya terbatas pada ruangan saja dan
sejumlah mata melainkan mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan di luar
pesantren. Sesuai dengan hal tersebut maka pandangan modern menjelaskan, bahwa
kegiatan ekstrakurikuler termasuk bagian yang dapat membantu santri dalam
mencapai visi pendidikan yang diinginkan.
Sampai saat ini
keunikan pondok pesantren tradisional yang sampai saat ini masih tetap
dipertahankan adalah adanya materi kitab kuning sebagai salah satu kurikulum
intrakurikuler. Belajar kitab-kitab kuning merupakan khazanah pesantren yang
memiliki nilai-nilai budaya Islam untuk dipertahankan, di antaranya pada bidang
ilmu fiqh yang dipelajari seperti, Fathul Qarib, Kifayatul Akhyar, Bajuri,
Fathul Muin, I’anatu al-Thalibin, Fiqh al-Wadlih,
Minhaju al-Tullab. Pelajaran
fiqh juga akan dapat terjalankan dengan baik jika didukung oleh mata pelajaran
ushul fiqh. Untuk itu materi ushul fiqh ini dapat dibagi kepada beberapa mata
pelajaran. Di antara mata pelajaran pendukung fiqh ini seperti, lathaifu
al-Irsyat, jam’ul jawani.luma’ bayan.[14]
Pengajaran
kitab-kitab klasik sampai saat ini masih mendapatkan sambutan baik dari
masyarakat. Hal ini terbukti dengan ketetapannya dalam menjadikan kitab-kitab
klasik sebagai bahan untuk dibaca dan untuk dipelajari di dalam mesjid. Salah
satu poin utama dalam mempertahankan tradisi pondok pesantren tradisional dapat
dilihat dengan besarnya tingkat perhatian para syekh atau kyai untuk
mengajarkan kitab-kitab klasik tersebut.
Kemudian
kitab-kitab klasik yang dipergunakan untuk kegiatan belajar-mengajar di pondok pesantren
tersebut ditulis dengan memakai bahasa Arab dan bacaannya tidak diberi syakal
(baris). Kemudian, kertas yang digunakan untuk mencetak kitab-kitab klasik itu
dengan menggunakan kertas yang kualitasnya sangat murah dan berwarna kuning,
sehingga sebutan terhadap kitab-kitab klasik tersebut dapat dikatakan dengan
istilah kitab kuning dan dengan tulisan yang tidak memakai baris atau harakat
maka disebut dengan istilah kitab gundul. Di samping itu, karena kitab-kitab
yang ditulis ini merupakan kitab-kitab yang telah lama maka istilah yang sering
didengar sebutan kitab kuno.[15]
Kurikulum
yang dimaksud pada penelitian ini terdiri dari kurikulum yang bersifat,
intrakurikuler, ekstrakurikuler, hidden kurikuler.
3.
Proses
Pembelajaran
Proses pembelajaran
yang dilakukan oleh ustaz penunjang terhadap keberhasilan santri. Komponen
pengajaran, metode menempati peranan yang tidak kalah pentingnya dari komponen
lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada satupun kegiatan belajar
mengajar yang tidak menggunakan metode pengajaran.[16]Peranan
metode pendidikan berasal dari kenyataan yang menunjukan bahwa materi kurikulum
Islam diajarkan, melainkan diberikan dengan cara khusus. Ketidaktepatan dalam
penerapan metode ini kiranya akan menghambat proses belajar mengajar yang akan
berakibat membuang waktu dan tenaga yang tidak perlu.[17]
Guna mencapai maksud dan tujuan pembelajaran yang maksimal diperlukan cara
penyampaian yang baik, yang biasa disebut metode mengajar.[18]
Secara etimologi istilah metode berasal dari bahasa Yunani “Metodos” kata ini terdiri dari dua suku kata:
yaitu “metha” yang berarti, melalui atau melewati
dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode
berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[19]
Berikut ini
merupakan beberapa metode pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran
metode kitab kuning yaitu:
a. Metode Sorogan
b. Metode Wetonan (Bandongan)
c. Metode Halaqoh (Munazaharah)
d. Metode Hiwar atau Musyawarah
e. Metode Bahtsul Masail
f.
Metode
Pengajian Pasaran
g. Metode Hafalan
h. Metode Demonstrasi
i.
Metode
Mukoronah
j.
Metode
Muhawarah (Muhadatsah)
k. Metode Fathul Kutub[20]
Dari sekian
metode pembelajaran di atas maka berikut ini akan dijelaskan di antara beberapa
metode untuk mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Adapun metode
pengajaran yang dilaksanakan pada pondok pesantren secara umum adalah sebagai
berikut:
a.
Metode
Sorogan
Istilah sorogan
berasal dari kata “sorog” dalam bahasa Jawa yang
berarti mengodorkan kitab kepada kyai. Metode ini muncul bersamaan dengan
berdirinya pondok pesantren. Cara mengajarnya dengan sistem berurutan, setiap
santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara
langsung dari kyai.[21]
b. Metode
Bendungan
Sistem pengajaran dengan
menggunakan metode bendungan. Para santri duduk disekitar kyai dengan
membentuk lingkaran. Kyai maupun santri dalam halaqah memegang kitab
masing-masing. Kyai membacakan teks kitab, kemudian menerjemahkannya kata demi
kata dan menerangkan maksudnya.[22]
c. Metode
Wetonan
Metode Wetonan ini di
Sumatera dikenal dengan halaqoh atau dikenal juga dengan sebutan balaghan.
Istilah weton juga berasal dari kata wektu (Jawa). Karena pengajian
tersebut dilakukan pada waktu tertentu dan sesudah melaksanakan perintah Allah
yaitu mengerjakan salat. Pelajaran yang diberikan kyai tidak berurutan,
materinya kadang-kadang memetik dari beberapa buku dan tidak dipelajari
seluruhnya.[23]
Adapun pola[24]
pendidikan pesantren menjadi salah satu cara yang paling efektif dalam
mengenali lembaga pendidikan Islam. Secara praktis, bahwa proses
pembelajaran yang dilaksankannya di PPMPB dilakukan secara terpisah antara
laki-laki dan perempuan. Kemudian, pembelajaran yang dilaksankan di dalam kelas
secara umum lebih menekankan pada pembahasan kitab-kitab kuning. Di samping
itu, proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh ustaz adalah, dimana ustaz
menyuruh santri untuk membaca kita, memberikan makna terhadap kitab yang dibaca
lalu memberikan sebuah pemahaman terhadap kitab yang dibaca tersebut. Kemudian,
bagi ustaz akan memberikan keterangan
bahwa hasil bacaan, pemahaman yang dikemukakan oleh santri bisa benar dan bisa
salah. Jika benar, maka ustaz akan mengatakan benar dan jika salah ustaz akan
meluruskannya.
Selain itu, terdapat juga muzakarah yang dikoordinir oleh
kakak tingkat melalui forum muzakarah yang bersifat kedaerahan. Hal ini, juga
sangat mendukung proses pembelajaran secara intrakurikuler. Dengan demikian. Dalam
sebuah proses pembelajaran, setiap santri memiliki anggapan bahwa ustaz adalah
ayah yang menggantikan orangtua, sehingga ilmu yang disampaikan oleh ustaz
dapat diterima dengan mudah.
4.
Kultur
atau Tradisi Pondok Pesantren
Kultur atau tradisi pondok pesantren menunjukkan sesuatu yang
bernilai (value) dan menjadi kebiasaan (adat istiadat) yang
dilakukan. Tradisi tersebut masih tetap dipertahankan oleh seseorang, lembaga
maupun masyarakat tertentu secara turun-temurun. Tradisi dalam hal ini memiliki
makna penilaian (judgement) atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan cara yang paling baik dan benar.[25]
Kata tradisi berasal dari istilah Latin tradere
yang memiliki arti memindahkan, atau memberikan sesuatu kepada orang lain
untuk disimpan dan merupakan harta milik yang diwariskan dari satu generasi
lainnya untuk dilindungi dan dipelihara.[26]
Selain itu, kata tradisi juga dapat dipahami sebagai a belief, custom, principle of standart
of conduct passed on from generation to generation, esp. when this is done
without a written record.[27] Tradisi terus berlanjut seiring dengan
perjalanan waktu, dapat ditransformasikan dan diciptakan kembali. Salah satu
ciri yang membedakan dari tradisi adalah ritual dan pengulangan yang dilakukan
oleh kelompok, komunitas, dan kolektivitas, dalam mewujudkan suatu kebenaran.
Selanjutnya, sikap dan cara berpikir serta bertindak yang berpegang teguh pada
tradisi (tradition), norma (norm) dan adat istiadat (customs)
secara turun-temurun yang sering disebut dengan istilah tradisional.[28]
Untuk lebih mengenalkan pondok pesantren
tradisional sebagai lembaga pendidikan Islam yang tetap mempertahankan
tradisinya, maka dipandang penting untuk menjelaskan tentang tradisi pondok
pesantren tradisional. Terciptanya tradisi pesantren yang memiliki
keunikan ini ternyata tidak terlepas dengan peran seorang syekh yang sangat
peduli dan mempertahankan nilai-nilai (values) keagamaan. Dengan kata
lain bahwa pelaku dan penjaga tradisi pesantren biasanya dari orang bijak,
pemimpin agama (syekh) dan guru (ustaz). Pernyataan ini dapat dipahami bahwa
para ulama atau syekh inilah yang mampu menjabarkan kebenaran tradisi dan memiliki
(alat) instrument guna memahami teks-teks dan simbol-simbol yang
terdapat dalam kehidupan beragama.
Berikut ini akan dibicarakan mengenai
tradisi-tradisi yang terjadi di pondok pesantren tradisional. Dari pengertian
tradisi di atas dapat dipahami bahwa tradisi ialah sebuah tugas untuk memberikan sesuatu kepada
orang lain. Pemberian ini dapat disimpan dan merupakan harta milik yang harus
diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya untuk dilindungi dan
dipelihara. Tradisi pondok pesantren yang dipahami dalam hal ini termasuk
hal-hal yang berkaitan dengan penampilan para santri.
Terjadinya proses regenerasi ulama ke masa
depan dapat dilihat dengan adanya keterlibatan santri dalam mengaktualisasikan
tradisi pondok pesantren. Pentingnya tradisi pondok pesantren tidak terlepas
peran seorang syekh sebagai sosok yang harus ditiru dan ditauladani. Istilah
syekh ini pada dasarnya merupakan gelar syekh
lebih ditujukan kepada seseorang yang sudah memiliki ilmu tentang agama
Islam secara mendalam, sekaligus memiliki lembaga pendidikan pondok pesantren,
sehingga suatu lembaga pendidikan Islam yang disebut pondok pesantren memiliki
tokoh sentral yang disebut dengan syekh atau kyai. Posisi seorang syekh selain
sebagai pimpinan pondok pesantren juga sebagai pemilik pondok pesantren
tersebut.
Kuatnya otoritas syekh di dalam pesantren dapat
dilihat dengan berkembang tidaknya atau hidup matinya pondok pesantren berada
pada putusan syekh atau kyai. Selain itu, keikhlasan seorang syekh dalam
aktualisasi dirinya menjadikannya sebagai orang yang sangat dihargai di dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga keikhlasan merupakan salah satu kunci dalam
diri seorang syekh.[29]
Penampilan seorang Syekh dalam sebuah pondok pesantren seperti cara berpakaian,
cara berjalan menjadi sebuah tradisi yang dapat ditiru oleh santrinya.
5.
Tujuan
Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang memberikan kontribusinya bagi masyarakat secara umum. Hal
ini dilihat banyaknya pesantren yang telah melahirkan kader-kader ulama guna
terciptanya sebuah masyarakat yang mengenal nilai-nilai Islam.[30]
Pesantren yang membentuk santrinya
tidak hanya membicarakan mengenai pernikahan saja. Tetapi para santri dituntut
untuk lebih dari itu, bahkan para santri akan dibina secara teoretis
selanjutnya mereka akan dimintai secara realitas terkait dengan ilmu yang sudah
dimiliki untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah salah satu
pertanda yang harus dilihat oleh masyarakat. Karena dengan diamalkannya ilmu
yang dimiliki justru akan menjadikan para santri menjadi orang-orang yang
sangat dihormati. Melalui keilmuan agama ditambah dengan adanya bukti nyata
bagi kehidupan juga menjadikan para santri menjadi orang yang sangat mulia.
Mulia tidak hanya dalam pandangan manusia, tetapi mulia di sisi dan pandangan
Allah swt.
Pentingnya pemahaman, pengamalan,
dan pentrasferan ilmu agama Islam bagi santri lewat pondok pesantren justru
menjadi indikator bagi sebutan ulama itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut,
maka menurut M. Arifin, tujuan pondok
pesantren dapat dilihat pada dua hal, yakni:
a.
Tujuan khusus yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim
dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat.
b.
Tujuan umum yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballigh Islam
dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.[31]
Dari pendapat di atas, penulis memahami bahwa pondok pesantren merupakan
tempat untuk pencarian ilmu agama Islam sehingga dengan ilmu yang dimilikinya
akan bermanfaat bagi dirinya jika mampu mengamalkannnya di dunia dan akhirat. Berikutnya
tujuan[32]
pondok pesantren telah memberikan nilai positif
bagi santrinya.
Pemahaman yang penting untuk
dilihat dari tujuan di atas adalah pondok pesantren merupakan tempat memperoleh
ilmu dengan disiplin. Kedisiplinan ini ternyata memiliki tujuan tersendiri guna
mencapai cita-cita yang diraih. Banyak santri yang dilahirkan dengan penuh
disiplin. Bahkan dengan disiplinlah para santri dapat menjadi orang-orang yang
sukses dalam kehidupannya. Namun perlu dijelaskan juga bahwa banyak para santri
yang sudah belajar di pondok pesantren namun tidak sampai pada tingkat yang
diharapkan. Hal ini tentu terlihat bahwa adanya sebuah penyaringan-penyaringan
yang terjadi sehingga tidak semua santri yang telah alumni menjadi ulama
sebagai tujuan berdirinya pondok pesantren.
Beranjak dari kedua tujuan di atas, maka penulis menarik pemahaman
bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren itu adalah:
a. Pertama, adanya pembinaan akhlak dan
kepribadian yang mulia.
b.Kedua, adanya semangat pengabdian, baik untuk
agama, masyarakat maupun bangsa.
c. Ketiga, selama dalam menuntut ilmu
semata-mata hanya untuk mencari mardhatillah atau ridha Allah.
d.Keempat, adanya cita-cita yang dapat
ditanamkan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mewujudkan tujuan pondok pesantren dengan sebaik-baiknya tentunya tidak bisa dipisahkan dengan
kurikulum. Keberadaan kurikulum dalam pondok pesantren menjadi penting dalam
menggapai tujuan tersebut. Guna mengetahui kurikulum pondok pesantren, maka
berikut ini akan dibicarakan tentang kurikulum pondok pesantren.
6.
Tenaga
Pendidik Pondok Pesantren
Tenaga Pendidik di lembaga pendidikan merupakan salah satu komponen
penting yang harus ada. Pendidik adalah tokoh yang mengajarkan ilmu
pengetahuannya kepada siswanya. Bukan hanya mengajarkan pengetahuan akan tetapi
di samping itu harus juga mengajarkan nilai-nilai yang baik dan berbagi macam
keterampilan. Tenaga pendidik di pondok pesantren memiliki beberapa panggilan
di antaranya kyai, Syekh, Guru, Ayah, Buya, Muallim, Bapak, dan Musyrif
sedangkan tenaga pengajar untuk
perempuan di antaranya Ummi, Ibu guru, Ustazah, Muallimah, dan Encik. Perbedaan
tersebut tidak menyalahi makna, namun panggilan tersebut disesuaikan dengan
kebiasaan di pesantren masing-masing.[33]
Dalam Islam, seorang pengajar yang dibutuhkan bukan orang yang
memiliki pengetahuan banyak, orang yang pintar dapat dijadikan sebagai kriteria
pendidik di pondok pesantren. Akan tetapi, yang paling diutamakan adalah
pendidik yang memiliki akhlak yang mahmudah, alim, menjadi contoh
di hadapan siswa di pondok pesantren begitu juga di luar lingkungan pondok
pesantren. Melalui akhlak yang mahmudah (akhlak yang baik), tenaga
pengajar di pondok pesantren dihormati
para santri. Begitu tinggi derajat pendidik dalam Islam sehingga selalu
dihargai siswanya begitu juga dengan masyarakat sekitar. Perbuatan-perbuatan
yang diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari menjadi tauladan yang baik
bagi siswa dan masyarakat sekitarnya. Begitu juga dengan ucapan-ucapan yang
diungkapkannya dapat menjadi dakwah bagi yang mendengarnya.[34]
Seorang pendidik dalam Islam dapat dijadikan sebagai petunjuk jalan
dan sebagai contoh teladan. Jadi pendidik harus orang yang mematuhi
ajaran-ajaran Islam bukan hanya dalam penampilannya akan tetapi juga dalam
batinnya dan merasa orang yang bertanggung jawab membimbing siswanya menjadi
orang yang muslim yang baik.[35]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pendidik atau sering
disebut juga dengan ustaz sekaligus menjadi manusia yang sangat dihormati
bahkan sering diistilahkan dengan pahlawan tanpa jasa. Karena, jasa-jasa mereka
tiada tara dalam mengasuh para santrinya membimbing santrinya agar kelak
menjadi generasi yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. sebagai Sang
Khalik untuk ditaati.
B.
PEMBENTUKAN
ULAMA
Ulama
merupakan sosok panutan yang memiliki pengaruh bagi perkembangan keagamaan
masyarakat. Pengaruh ulama dalam masyarakat sangat penting, sehingga dapat
dipastikan bahwa setiap tempat tinggal yang dihuni oleh masyarakat muslim
memiliki ulama. Pentingnya ulama dalam kehidupan ini menjadi kajian yang sangat
menarik untuk diteliti. Pemaparan ulama akan dimulai dari definisi ulama,
karakteristik ulama, klasifikasi ulama, peran ulama yang akan dijelaskan
sebagai berikut.
1.
Definisi
Ulama
|
Menurut istilah, Nukman Sulaiman memberikan
pengertian tentang ulama adalah seseorang yang memiliki ilmu, mengajarkan ilmu,
takut kepada Allah dengan ilmunya, serta adanya pengakuan masyarakat bahwa ia
benar-benar ulama.[38]
Selain itu, Rakhmad Zailani Kiki dalam disertasinya yang berjudul“Genealogi Intelektual
Ulama Betawi Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad-19 sampai Abad ke-21”, menyatakan bahwa ulama adalah orang yang belajar ilmu-ilmu keagamaan Islam, apakah secara
langsung kepada ulama tertentu atau dalam lembaga-lembaga pendidikan
tradisional Islam seperti: pesantren, halaqah, maupun madrasah.[39]
Humphreys dalam
bukunya Islamic History:A
Framework for Inquiry mengutarakan bahwa:
The ulama, namely “men of religious learning and prestige”
play important social, political,cultural, and religious roles in the history
and development of Muslim society in Indonesia.[40]
Pendapat Humphreys di atas memiliki makna bahwa
istilah ulama di Indonesia digunakan untuk menunjukkan kedua hal yakni ulama yang
memiliki ilmu pengetahuan
tentang Islam secara luas dan pemimpin
sosialkeagamaan yang menempati posisi penting dan strategis penting dalam bidang sosial, politik, budaya, dan agama
dalam sejarah dan perkembangan masyarakat Muslim di Indonesia.Bahkan,
ulama memiliki otoritas dalam memberikan analisis dan penjelasan dari sebuah
fenomena yang terdapat dalam masyarakat.
Lanjut dikemukakan oleh Nukman Sulaiman yang
mengatakan bahwa ulama adalah orang-orang yang mengerti tentang agama, baik
mengenai akidah, hukum maupun muamalat. Selanjutnya Nukman juga menambahkan
bahwa seseorang disebut ulama jika ia berilmu, mengamalkan ilmu, mengajarkan
ilmu, takut kepada Allah dengan ilmunya serta adanya pengakuan masyarakat bahwa
ia benar-benar ulama.[41]
Guna mengetahui tentang lembaga pendidikan pada
masa Islam klasik dapat dilihat dengan adanya mesjid sebagai tempat untuk
memperoleh ilmu. Secara historis, tepatnya pada masa Umar bin Khattab terlihat
bahwa Masjid juga menawarkan bidang kajian yang jauh lebih bervariasi, yang
mencakup tafsir, fikih, ilmu kalam, bahasa arab, sastra, astronomi, dan ilmu
kedokteran.[42]
Beranjak dari hal di atas dapat dipahami bahwa
lembaga pendidikan mesjid telah dapat menghasilkan lahirnya para ulama yang
memiliki kompetensi secara khusus. Sehingga mesjid tidak hanya berfungsi
sebagai sarana ibadah secara khusus, namun pada sisi lain memiliki fungsi untuk
tempat menunut ilmu. Selanjutnya dalam konteks yang lebih khusus istilah ulama
pada masa awal Islam telah diberikan sesuai dengan bidang keilmuan yang
dikuasainya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ulama yang faham dengan persoalan
hadis disebut dengan ulama hadis, ulama yang faham dengan urusan fikih disebut
dengan ulama fikih.
Istilah ulama jika tidak disandingkan dengan
kata yang lain misalnya ulama hadis, ulama tafsir, ulama fikih dan seterusnya,
tentu akan memiliki makna yang sangat luas seperti orang-orang yang berilmu,
baik ilmu agama maupun ilmu lainnya.[43]
Dalam tataran sosial, sebutan ulama ditujukan kepada mereka yang telah memperoleh
pengakuan dari masyarakat. Meskipun demikian, peranannya sebagai pemimpin
sangatlah penting bagi perubahan sosial masyarakat.[44]
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat
dipahami bahwa ulama adalah orang yang telah memiliki pemahaman yang mendalam
tentang agama sehingga dengan ilmu yang dimiliki dapat benar-benar menjadi
figur di tengah-tengah masyarakat dan menjadi kebutuhan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, baik persoalan dunia maupun
persoalan akhirat.
Ulama yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah mereka para alumni PPMPB yang secara kognitif memiliki pemahaman
terhadap ilmu agama. secara performance (Penampilan) alumni yang
tetap mengenakan kain sarung, Baju koko,
lobe, serban, jas, dan sandal. Secara psikomotorik memiliki kemampuan dalam memberikan pengajian tentang
masalah fiqh, tasawuf, dan tauhid kepada masyarakat Mandailing Natal.
2.
Karakteristik
Ulama
Karakteristik ulama dalam Islam tentunya dapat
dilihat dari konsep Alquran sebagai salah satu sumber ajaran yang harus
diterima kebenarannya. Alquran telah membicarakan siapa sesungguhnya yang
disebut sebagai ulama. Allah swt. telah menjelaskan bahwa ciri ulama itu adalah
orang yang beriman, bertakwa, memiliki ilmu yang luas, beribadah dengan landasan
takut kepada Allah. Firman Allah pada surat Fathir ayat 28 sebagai berikut:
ÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøèC ¼çmçRºuqø9r& Ï9ºxx. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 cÎ) ©!$# îÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ
Artinya:
Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.[45]
Sesuai dengan firman Allah di atas, maka dapat
diambil suatu pelajaran bahwa yang tergolong pada karakteristik ulama adalah
seperti yang sudah dijelaskan pada ayat di atas. Ulama memiliki ciri-ciri mulai
dari beriman, bertakwa, menguasai ilmu, memahami ilmu, menjalankan ilmu,
mengajarkan ilmu, berpandangan hidup luas, sampai dengan beribadah yang penuh
rasa takut kepada Allah swt.
Pemaparan di atas menjadi rujukan dalam
musyawarah antarpimpinan pesantren tinggi (Al-Ma’hadul ‘Ali Al-Islami) pimpinan pesantren se-Indonesia yang merumuskan
ciri-ciri ulama sebagai berikut.
a. Menguasai
ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) dan sanggup membimbing umat dengan
memberikan bekal ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari Alquran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.
b. Ikhlas
melaksanakan ajaran Islam.
c. Mampu
menghidupkan Sunnah Rasul dan mengembangkan Islam secara kaffah.
d. Berakhlak
luhur, berpikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan perbuatan positif,
bertanggung jawab, dan istiqamah.
e. Berjiwa
besar, kuat mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah, berjamaah,
tawadhu’, kasih
sayang terhadap sesama, mahabah, serta khasyyah, dan tawakkal kepada
Allah swt.
f. Mengetahui
dan peka terhadap situasi zaman, serta mampu menjawab setiap persoalan untuk kepentingan
Islam dan umatnya.
g. Berwawasan
luas dan menguasai beberapa cabang ilmu demi pengembangannya. Menerima pendapat
orang lain yang tidak bertentangan dengan Islam dan bersikap tawadhu’.[46]
Secara kognitif, ulama merupakan seseorang yang
memahami ilmu agama seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu tasawuf, ilmu nahu,
ilmu sharaf, ilmu mantiq, ilmu akhlak. Namun secara psikomotorik, ulama adalah
seseorang yang memiliki keterampilan baik dalam membaca kitab-kitab kuning,
terampil dalam menjelaskan maksud dan tujuan suatu kitab. Selain itu, secara
afektif ulama berarti di samping memahami kitab kuning, terampil dalam dalam
menjelaskan juga dapat mengaktualisaikan dalam bentuk perbuatan sehari-hari.
Selanjutnya, jika dilihat dari sudut pandang performance
(penampilan) maka ulama yaitu mereka yang telah memiliki penampilan yang
sangat sederhana, misalnya dari jenis pakaian yang dipakai tidak harus mewah
dan kualitas yang bagus. Akan tetapi mereka mengenakan pakaian dengan apa
adanya. Tampil dalam kehidupan sosial dengan pembawaan yang sederhana.
Terkadang tampilan pakaian yang mereka kenakan seperti baju koko, serban, lobe,
kain, serta sandal telah cukup bagi seorang ulama untuk memberikan pengajian di
masyarakat.
Selain itu, dengan penampilan sosok ulama yang
sederhana ini menjadi figur yang layak ditiru oleh masyarakat sehingga
masyarakat semakin percaya diri dalam meniru kehidupan yang cukup sederhana.
Kemudian, dilihat dari tutur kata yang diucapkan maka ulama akan berbicara jika
diperlukan. Oleh karena itu, lewat kehati-hatian dalam menuturkan kata-kata
kepada lawan bicara, ulama selalu menimbang dengan tepat terhadap unsur manfaat
dan mafsadat. Karakteristik ulama dalam penelitian ini adalah
Ulama yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah mereka para alumni PPMPB yang secara karakteristik memiliki pemahaman
terhadap ilmu kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren
Musthafawiyah. Secara performance (Penampilan) alumni yang tetap
mengenakan kain sarung, Baju koko, lobe,
serban, jas, dan sandal. Secara psikomotorik memiliki kemampuan dalam memberikan pengajian tentang
masalah fiqh, tasawuf, dan tauhid kepada masyarakat Mandailing Natal.
3.
Klasifikasi
Ulama
Berikut ini akan diuraikan mengenai klasifikasi
ulama menurut hadis Rasulullah saw. Adapun hadis yang menjelaskan tentang
klasifikasi ulama adalah sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ
أَبِي قِلَابَةَ قَالَ قَالَ أَبُو مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ الْعُلَمَاءُ
ثَلَاثَةٌ فَرَجُلٌ عَاشَ فِي عِلْمِهِ وَعَاشَ مَعَهُ النَّاسُ فِيهِ وَرَجُلٌ
عَاشَ فِي عِلْمِهِ وَلَمْ يَعِشْ مَعَهُ فِيهِ أَحَدٌ وَرَجُلٌ عَاشَ النَّاسُ
فِي عِلْمِهِ وَكَانَ وَبَالًا عَلَيْهِ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Abu Qilabah ia berkata: "Abu Muslim Al Khaulaniberkata: Ulama itu ada tiga: Pertama Ulama yang hidup dengan ilmunya dan manusia lain hidup dengan ilmunya, Kedua ulama yang hidup dengan ilmunya dan tidak seorang pun mendapatkan manfaat ilmu tersebut, dan ketiga ulama yang masyarakat hidup dengan ilmunya, namun ilmu tersebut justru mencelakaan dirinya sendiri".[47]
Sesuai dengan hadis di atas, dapat dipahami
bahwa ada tiga klasifikasi ulama yang dijelaskan. Adapun ketiga klasifikasi
ulama tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a.
Ulama yang hidup dengan
ilmunya dan manusia lain hidup dengan ilmunya. Ulama pada kategori yang pertama
ini dapat dipahami bahwa melalui ilmunya ulama ini menjadikan manusia selalu
mendapatkan solusi dalam menghadapi masalah. Ulama seperti ini sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
b.
Ulama yang hidup dengan
ilmunya dan tidak seorangpun mendapatkan manfaat ilmu tersebut. Ulama pada
kategori yang kedua ini dipahami bahwa ulama yang selalu menutup diri. Menutup
diri yang dimaksudkan pada kategori ini adalah ulama seperti ini sangat
tertutup dengan ilmu yang dimiliki sehingga tak seorangpun yang bisa memperoleh
dari apa yang dimilikinya.
c.
Ulama yang masyarakat hidup
dengan ilmunya, namun ilmu tersebut justru mencelakaan dirinya sendiri.
Biasanya ulama dapat memberikan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat dan juga
terhadap dirinya sendiri. Kategori ulama ini ternyata tidak seperti ulama yang
dapat menjaga muru’ahnya
namun dengan ilmu yang sudah dimilikinya masih memiliki sifat riya dan belum
bisa menyampaikan ilmu dengan ikhlas, sehingga sangat membahayakan dirinya
sendiri. Padahal mencari ilmu dalam Islam harus didasari oleh niat karena Allah
dan untuk mendapatkan ridha dari Allah swt. Ulama seperti ini sangat dihinakan
oleh Allah swt. bahkan dapat mencelakakan dirinya sendri. Oleh karena itu,
ulama tidak hanya dapat dilihat dari ilmu yang dimilikinya saja. Akan tetapi,
ulama itu harus benar-benar mengharapkan ridha dari Allah swt.
Sementara itu, Sufyan Al-Jazairy berpendapat
bahwa ulama kontemporer dapat diklasifikasikan kepada tiga golongan sebagai
berikut.
a.
Ulama Kondang
Pada kajian ini dijelaskan bahwa ulama kondang
adalah para ulama yang menuruti pendapat
dan pikiran mayoritas manusia. Ulama ini bekerja keras untuk memenuhi keinginan
yang memintanya dan senantiasa berusaha untuk mewujudkan apa yang diinginkan
oleh orang banyak. Tipe ulama seperti ini tidak terbesit niatan selain untuk
mendapatkan penggemar dan murid sebanyak-banyaknya. Banyaknya pengikut ulama
ini telah menjadikan hatinya nyaman bahkan merasa senang hati.
b.
Ulama Pegawai Pemerintah
Ulama pemerintah adalah ulama yang taat kepada
semua perintah penguasa. Ulama seperti ini biasanya ulama memainkan posisinya
untuk kepentingan sekaligus mempertahankan posisi politik mereka menyokong
kekuasaannya atas bangsa-bangsa muslim. Tipe ulama ini senantiasa mewujudkan
semua keinginan mereka serta mendengarkan intrik politik mereka apapun itu
bentuknya. Bahkan ulama seperti ini dibagi menjadi dua, yaitu ulama yang resmi
dan ulama yang tidak resmi tercatat sebagai ulama pegawai pemerintah.
c.
Ulama Agama
Ulama agama adalah ulama Rabbani yang konsisten
dalam mengikuti perintah Allah. Ulama seperti ini adalah mereka yang
mengamalkan ilmunya demi mencari ridha Allah swt. Ulama ini selalu berusaha
untuk mengetahui suatu kebenaran. Kelompok ulama ini juga tidak akan pernah
habis sepanjang zaman.[48]
Hal ini merupakan sebuah wujud dari rahmat Allah swt. serta belas kasih-Nya
kepada manusia, sehingga Rasulullah menyatakan dalam sebuah hadisnya sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا
مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ هَانِئٍ حَدَّثَهُ
قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي
قَائِمَةً بِأَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ
حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Manshur
bin Abu Muzahim telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamzah dari
Abdurrahman bin Yazid bin Jabir bahwa 'Umair bin Hani` menceritakan kepadanya,
dia berkata, "Saya mendengar Mu'awiyah berkata di atas mimbar, "Saya
pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan
senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang menegakkan perintah Allah, tidak
ada yang membahayakannya orang yang menghinakan atau menyelisihi mereka sampai
datangnya hari Kiamat, dan mereka akan selalu menang atas manusia."[49]
Isi hadis di atas memberikan penjelasan bahwa
walaupun dunia ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, namun orang yang
menegakkan agama Allah masih tetap menang atas manusia yang ada. Kelompok
inilah yang dinamakan ulama agama. Ulama yang sangat perduli terhadap penegakan
perintah Allah swt. walaupun kondisi yang sangat terpuruk tetap ada dan hidup demi
tegaknya agama Islam di bumi.
Tipe ulama yang ketiga ini menjadi salah satu
kajian yang harus diperdalam pada pembahasan ini. Ciri-ciri ulama agama ini
telah dituliskan pada bagian pembahasan
yang khusus yakni karakteristik ulama sebelumnya. Dengan demikian, dari ketiga
tipe ulama di atas dapat dipahami bahwa pemahaman masyarakat Islam tentang
klasifikasi ulama sangat penting agar masyarakat mampu memahami mana ulama yang
masih tetap konsisten dalam menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya. Dahulu
para ulama dapat dinilai berdasarkan kekuatan hafalan yang dikuasai. Akan
tetapi, kajian klasifikasi ulama yang dimaksudkan saat ini dapat dilihat dari
ketentuan pemahaman tentang kebenaran, ketegasan dalam menyampaikan kebenaran,
dan sikap terhadap pelaku kezaliman.
4.
Peran
Ulama
Ulama memiliki sosok untuk menjaga, memimpin,
dan membimbing masyarakat ke dalam satuan komunitas yang didasari oleh semangat
ajaran Islam, maka ulama menempati
peranan yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat. Pentingnya ulama tidak selamanya terbatas pada ranah
pesantren yang menjadi tempat untuk mengaktualisasikan dirinya. Akan tetapi
lebih dari itu, ulama juga memiliki peran yang cukup besar terhadap kehidupan
spiritual masyarakat.
Guna mengetahui peran ulama berdasarkan
tugas-tugas yang ditunaikan paling tidak, ada dua peran ulama dalam kehidupan
masyarakat, yakni pembimbing dan penghias dalam kehidupan masyarakat.[50]
Adanya generasi ulama yang muncul di berbagai
lembaga, baik dari lembaga formal maupun nonformal telah memainkan peranannya
untuk mencapai tujuan dari pendidikan yang telah ditetapkan. Hal ini bisa
dilihat dari sebuah organisasi pendidikan seperti pesantren yang memiliki
kepastian konektivitas. Sebuah lembaga pendidikan Islam yang memiliki
konektivitas terhadap berbagai alumni-alumni yang terbentuk melalui sebuah
proses pendidikan, kemudian konektivitas tersebut justru semakin menguatkan
eksistensi peranannya dinamakan pondok pesantren. Karena itu, keberadaan sebuah
pondok pesantren sangat memiliki hubungan yang signifikan dalam generasi ulama,
baik melalui jaringan yang terbentuk di sebuah masyarakat maupun yang terbentuk
melalui proses pendidikan yang terjadi antara ustaz dengan ustaz serta ustaz
dengan santrinya.
Pembentukan ulama di Indonesia telah
dimulai sejak awal masuknya Islam ke Nusantara melalui proses perdagangan dan
penyiaran Islam oleh para ulama-ulama Arab. Keberadaan ulama di Indonesia
terlihat dari adanya proses interaksi sosial yang dilakukan melalui perdagangan
antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pedagang. Selanjutnya, perkembangan
munculnya ulama di Indonesia ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya pondok
pesantren sebagai tempat untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Dengan
demikian, lahirnya para ulama-ulama di Indonesia juga ternyata berjalan secara dinamis.
5. Definisi Regenerasi Ulama
Kata regenerasi berasal dari dua kata yaitu re yang artinya
kembali dan generasi adalah angkatan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa
Indonesia, regenerasi diartikan dengan pergantian suatu generasi tua
kepada generasi muda.[51]
Jadi, secara harfiah regenerasi
adalah angkatan kembali, regeneration dalam bahasa Inggris yang artinya
kelahiran kembali.
Ibnu
Khaldun dalam teori generasinya menyatakan bahwa dunia dengan segala sesuatu
yang ada di dalamnya akan fana. Segala sesuatu, baik barang-barang tambang,
tumbuh-tumbuhan, dan seluruh makhluk hidup baik manusia maupun
binatang-binatang merupakan makhluk yang fana dan dapat disaksikan kefanaannya.
Hal ini dapat juga dirasakan oleh berbagai makhluk, terutama manusia.[52]
Berdasarkan teori di atas, maka dapat dipahami
bahwa tidak ada satupun ciptaan Allah di muka bumi ini yang kekal. Manusia,
sekalipun ciptaan Allah pasti akan mengalami kematian. Segala kedudukan manusia
pasti akan mengalami pasang surut. Adakalanya kedudukan manusia sebagai ulama
tidak bisa untuk tetap bertahan pada posisinya, akan tetapi kedudukan sebagai
ulama justru harus mengalami perubahan secara bergantian. Ulama merupakan salah
satu sebutan yang diberikan oleh masyarakat muslim kepada si pemilik ilmu. yang
memiliki kedudukan terhormat di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Pernyataan sebelumnya juga sesuai dengan
pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun dalam mukaddimahnya dengan
mengatakan bahwa berbagai jenis ilmu pengetahuan akan tumbuh dan dipelajari.
Kehormatan merupakan perhiasan yang menjadi bagian dari manusia, yang merupakan
makhluk fana.[53]
Regenerasi ulama yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah pembentukan ulama secara terus-menerus tanpa kekosongan. Kelahiran
kembali akan selalu ada pada setiap proses berkehidupan yang akan terus
berkesinambungan selagi masih ada kepedulian terhadap agama Allah swt.
6.
Jaringan
Alumni
Istilah jaringan merupakan suatu hal yang tidak asing lagi untuk
didengar. Misalnya kita pernah membaca bukunya Azyumardi Azra dengan judul
Jaringan Ulama Timur Tengah dengan Nusantara pada Abad ke XVII-XVIII. Buku ini
mengulas tentang hubungan ulama-ulama Timur Tengah yang dapat melakukan
intraksi baik secara guru dan murid, juga seperti kitab-kitab yang digunakan
menjadi salah satu pertanda bahwa adanya hubungan yang pernah terjadi pada
masa-masa yang lewat. Akan tetapi, kajian jaringan yang dimaksudkan dalam hal
ini adalah terkait dengan alumni PPMPB. Karena, setiap pondok pesantren pasti
memiliki jaringan (net) melalui alumni yang telah selesai belajar maupun
yang pernah belajar di PPMPB. Jaringan itu dapat dilakukan secara internal
maupun eksternal. Jaringan internal artinya jaringan yang dibangun dari pondok
pesantren ke luar. Hal ini dimaksudkan guna untuk memberikan peluang kepada
para alumni untuk bisa melanjutkan ke berbagai lembaga pendidikan yang ada di
luar dari pesantren. Kemudian, jaringan ini juga dapat memberikan sebuah
masukan yang sangat positif bagi pondok pesantren.
Sedangkan jaringan eksternal adalah jaringan yang dibangun dari
luar ke dalam pondok pesantren. Jaringan eksternal ini merupakan jaringan yang
dapat ditarik dari adanya para guru atau seperguruan yang berasal dari luar. Sehingga,
jaringan ini dapat memudahkan setiap persoalan yang muncul pada lembaga
pesantren. Perkembangan pondok pesantren dapat dilihat dengan adanya jaringan
yang telah dibangun sebagai salah satu output (hasil).
Sesuai dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa jaringan
alumni yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya hubungan yang positif dari
pihak PPMPB terhadap para alumninya di mana saja berada. Baik alumni yang sudah
bekerja maupun para alumni yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi baik nasional
maupun internasional.
C. Kajian Terdahulu
Adapun kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian
kali ini akan diuraikan sebagai berikut.
1.
Muhammad
Rozali melalui disertasinya yang berjudul “Tradisi Keulamaan di Al Jam’iyatul
Washliyah Sumatera Utara”. Disertasi yang ditulis
oleh Muhammad Rozali ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana
tradisi keulamaan di Al Jam’iyatul
Washliyah Sumatera Utara. Ada dua pertanyaan yang dikemukakan dalam penelitian
ini: Pertama,bagaimana peranan lembaga pendidikan Al Jam’iyatul Washliyah dalam menghasilkan ulama;
Kedua, bagaimana aktivitas ulama Al Jam’iyatul
Washliyah dan relevansinya di tengah masyarakat. Penelitian ini menggunakan
metode sejarah (historical research) Kuntowijoyo, dengan pendekatan
sejarah sosial. Tahapan yang dilakukan adalah: pemilihan topik, pengumpulan
data, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Proses pengumpulan data
dilakukan menggunakan teknik studi dokumentasi, observasi, literatur dan
wawancara. Temuan penelitian ini menginformasikan: Pertama,Al Jam’iyatul Washliyah memiliki peranan yang besar
dalam reproduksi keulamaan di Sumatera Utara. Dapat dilihat dari jumlah lembaga
pendidikannya yang tersebar di Sumatera Utara dari yang terendah sampai
tertinggi. Kedua, aktivitas
ulama Al Jam’iyatul
Washliyah dapat dipetakan pada beberapa kegiatan yang meliputi: pendidikan, dakwah, amal sosial, politik, dan ekonomi. Sejauh ini aktivitas tersebut
memberikan kontribusi dan relevan di tengah masyarakat Sumatera Utara. Sampai
saat ini kehadirannya di tengah-tengah masyarakat masih dibutuhkan, terutama
produk keulamaannya, dengan argumen.Pertama,Al Jam’iyatul Washliyah tetap mempertahankan tradisi
keulamaannya dengan nilai-nilai tradisional sesuai dengan cita-cita pendirinya.
Kedua, Al Jam’iyatul
Washliyah menyediakan lembaga pendidikan, dakwah, amal sosial, politik dan
ekonomi yang menjadi sumber kehidupan bagi anggotanya. Ketiga, Al Jam’iyatul Washliyah mampu meningkatkan pemahaman
agama Islam terhadap masyarakat Sumatera Utara.
2.
Prof.
Dr. Azyumardi Azra, M.A., dalam bukunya yang berjudul: “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam di Indonesia”. Buku telah
diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Kencana
Prenadamedia Group pada tahun 2013.
Buku ini memberikan informasi tentang belum adanya pengkajian secara
komprehensif terkait dengan jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara.Kajian jaringan ulama Timur Tengah ini juga
dilakukan secara radikalis dan kritis. Selanjutnya, kajian yang dimuat dalam buku ini adalah lebih
berpusat pada aspek “Organisasi” Jaringan Ulama Timur Tengah
terhadaporang-orang yang mendatangi Tanah Suci dan Madinah. Dengan demikian,
kajian tentang aspek intelektual ini sangat penting untuk mengetahui bentuk
gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama. Selain itu,
kajian ini juga memuat bagaimana menjawab masalah pokok, misalnya pertama
bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur Tengah dengan
murid-murid Melayu Indonesia. Dibahas juga bagaimana sifat dan karakteristik
ulama serta apakah ajaran dan tendensi intelektual yang berkembang dalam
jaringan tersebut.
3.
Rakhmad
Zailani Kiki melalui disertasinyang berjudul“Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak
Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad-19 sampai Abad ke-21”. Disertasi
ini ditulis dengan tujuan untuk melacak
antara guru dan murid serta lembaga yang ditempuhnya dalam menimba
ilmu.Disertasi ini merupakan salah satu seri dari rangkaian seri penelitian Ulama Betawi yang dilakukan oleh Jakarta
Islamic Centre (JIC) untuk penyusunan Atlas Ulama Betawi. Masih
banyak ulama Betawi, terutama ulama perempuan, yang belum dibahas pada buku ini
karena data yang diperoleh masih terus didalami dan dilengkapi. Paling tidak,
hadirnya disertasi ini dapat menambah
khazanah tentang sejarah dan perkembangan Islam di tanah Betawi yang etnisnya
dikenal sebagai etnis yang religius dimana ulama masih tetap berperan
meneruskan warisan dan tradisi ulama sebelumnya yang tersambung dalam sebuah
genealogi intelektual.
4.
Penelitian
lapangan yang ditulis oleh dosen-dosen Fakultas
Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan pada tahun 1987 dengan judul“Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka Tapanuli Selatan”. Hasil penelitian ini hanya
mengungkapkan nama-nama ulama yang ada di Tapanuli Selatan pada tahun 1987. Penelitian ini di samping memuat nama-nama
ulama tersebut juga memuat riwayat hidup, seperti pendidikan, karya, kesan-kesan, perjuangan, silsilah keturunan,
peranannya di dalam memajukan pendidikan Islam. Membaca penelitian ini
nampaknya belum sempurna karena keterbatasan
waktu, jarak tempuh yang dilalui oleh para peneliti.
5.
Karel A.
Steenbrink menulis “Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern”, sebuah disertasi dengan judul
asli Recente Ontwikklingen in Indonesich Islamonderricht, yang
diterjemahkan oleh Karel A. Steenbrink sendiri dan Abdurahman dan diterbitkan
oleh LP3ES. Penelitian kualitatif tentang pondok pesantren, madrasah, sekolah
dengan pendekatan historis ini meninjau perkembangan pondok pesantren
dari zaman Kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia, yakni dari
pondok pesantren murni hingga didirikannya madrasah dan sekolahdi pondok
pesantren. Steenbrink berpendapat bahwa perubahan dan pembaruan sistem
pendidikan Islam tradisional di Indonesia pada permulaan abad ke-20 merupakan
akibat dari pembaharuan yang terjadi di dunia Islam itu sendiri, yang
dipelopori oleh para reformis Islam yang dikenal dengan gerakan Salaf pimpinan Jamaluddin al-Afgani. Ia juga
menyebutkan bahwa pendidikan Kolonial Barat cukup besar pengaruhnya terhadap
lembaga pendidikan Islam yang lebih menekankan pada pengetahuan dan
keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama. Hal ini dikaitkan dengan
dikeluarkannya keputusan dari Departemen Agama Republik Indonesia pada
tahun-tahun pertama sesudah tahun 1945, bahwa pendidikan Islam (madrasah) harus
menyesuaikan dengan sistem pendidikan Barat. Hal ini terjadi pada waktu K.H.
Wahid Hasyim Asyari memimpin Departemen Agama. Keputusan Departemen Agama RI
ini berimplikasi pada dimasukkannya mata pelajaran umum ke dalam madrasah dan
didirikannya sekolah-sekolah umum di pondok pesantren sehingga Steenbrink
berpendapat telah terjadi dualisme dalam pendidikan Islam.
6.
Dawam
Rahardjo menyatakan bahwa pondok pesantren tradisional merupakan sub kultural
yang sangat unik dan penting untuk diteliti. Perhatian terhadap masalah ini
sudah banyak direspon oleh para peneliti ilmu-ilmu sosial dan ilmu agama Islam.
Studi tentang pondok pesantren tradisional telah dilakukan oleh para peneliti
dan ilmuan. Sudjoko dkk, telah melakukan penelitian lapangan (field
Research) tentang profil pondok pesantren al-Falah dan delapan pondok
pesantren lain di Bogor. Sudjoko Prasodjo mengawali pandangannya tentang
pentingnya membangkitkan pondok pesantren untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan, dengan asumsi bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
yang berakar dan berpengaruh terhadap masyarakat sekitarnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Sudjoko Prasodjo itu memilih Pondok Pesantren Al-Falah sebagai
objek kajian penelitian, yang bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi
dasar mengenai pondok pesantren, sebagai bahan dasar untuk melakukan pembaruan
pondok pesantren. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif maupun
kuantitatif, yakni dengan wawancara mendalam (defth intervew) dan
kuantitatif yang tidak dilakukan dengan pembuktian tingkat signifikansi suatu
gejala dengan pembuktian statistik inference. Karena keterangan dasar
mengenai pondok pesantren tradisional dianggap belum banyak diketahui. Gambaran
yang diperoleh dari sistem pendidikan tradisional pada Pondok Pesantren
Al-Falah, antara lain bahwa muatan pelajaran agama di Pondok Pesantren Al-Falah
ternyata hanya 25,7% saja dari seluruh mata pelajaran yang diberikan.
7.
Mastuhu
menulis “Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren”.Mastuhu menyatakan bahwa pesantren merupakan
salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk
mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya, atau sering disebut tafaqquh fi al-din. Tidak
sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni
atausetidak-tidaknya pernah belajar di pesantren. Ada enam pondok pesantren
yang menjadi objek studi, yaitu pondok pesantren An-Nuqayah Guluk Guluk Sumenep
Madura, pondok pesantren Salafiyah Ibrahimiyah Sukorejo Asembagus Situbondo,
pondok pesantren Blok Agung Jajag Banyuangi, pondok pesantren Tebuireng Diwek
Jombang, pondok pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran Lamongan dan pondok
pesantren Modern Gontor Ponorogo. Mastuhu menghususkan penelitiannya pada
unsur-unsur dan nilai-nilai luhur dalam sistem pendidikan pada keenam pondok
pesantren tersebut dan dinamika pondok pesantren dalam rangka menghadapi
pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian kualitatif
yang menggunakan metode grounded recearch ini menyimpulkan adanya
butir-butir posistif, butir-butir negatif dan butir-butir plus-minus dari
sistem pendidikan pesantren. Menurut Mastuhu, yang termasuk butir-butir positifdari
sistem pendidikan pesantren yang perlu dikembangkan antara lain: 1) tugas
pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya positif (ilahiyah) dan
mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaitaniyah);2) lembaga pendidikan
pesantren dipandang sebagai tempat
mencari ilmu dan mengabdi, bukan tempat mencari kelas dan ijazah. Butir-butir
negatif dari sistem pendidikan pesantren yang tidak perlu dikembangkan antara
lain: 1) pandangan bahwa ilmu adalah yang sudah mapan dan dapat diperoleh
melalui berkah kiyai; 2) apa-apa yang diajarkan oleh Kiyai, ustaz
dankitab-kitab agama diterima sebagai kebenaran, sedangkan butir-butir
plus-minus adalah butir-butir yang perlu dikembangkan dari sistem pendidikan
pesantren tradisional, tetapi perlu penyempurnaan, seperti: 1) sistem asrama,
yang harus bisa berfungsi sebagai forum dialog untuk mengembangkan ilmu; 2)
metode halaqah dikembangkan menjadi sarana untuk mengembangkan
kepribadian intelektual, bukan hanya untuk menghafal; 3) jenis kepemimpinan
rasional agar lebih mampu menghadapi tantangan zaman.
8.
Abbas
Pulungan, Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Mandailing Bangunan Keilmuan
Islam dan Simbol Masyarakat, Bandung: Citapustaka Media, 2004. Buku
ini memberikan informasi tentang keberadaan pondok pesantren Musthafawiyah dan
lebih menitikberatkan kajiannya pada kepemimpinan masing-masing pimpinan pondok
pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Selanjutnya dalam tulisan beliau lebih
mengupas tentang hubungan antara pesantren Musthafawiyah dengan masyarakat Mandailing.
Berdasarkan
semua kajian terdahulu di atas memiliki tujuan-tujuan yang harus dibedakan.
Pentingnya kajian terdahulu di atas adalah untuk memberikan sebuah bandingan
dan informasi bagi penulis serta dapat melakukan pemilihan masalah dalam kajian ini memenuhi kriteria yang mutakhir. Jika pada kajian yang pertama untuk
mengungkapkan bagaimana tradisi keulamaan di Al Jam’iyatul Washliyah Sumatera Utara, sehingga dari hasil yang
difokuskan oleh Muhammad Rozali dengan hasil bahwa Al Jam’iyatul Washliyah tetap mempertahankan tradisi keulamaannya dengan
nilai-nilai tradisional sesuai dengan cita-cita pendirinya, Al Jam’iyatul Washliyah menyediakan lembaga pendidikan, dakwah, amal
sosial, politik dan ekonomi yang menjadi sumber kehidupan bagi anggotanya, Al
Jam’iyatul Washliyah mampu meningkatkan pemahaman agama Islam terhadap
masyarakat Sumatera Utara. Sedangkan pada penelitian yang saya lakukan ini
lebih fokus pada peranan pondok pesantren Musthafawiyah Purba Baru dalam pembentukan
ulama di Kabupaten Mandailing Natal.
Berikutnya
adalah kajian yang kedua, di mana penelitian yang dilakukan oleh Azra yakni
melihat bagaimana jaringan ulama Timur Tengah dengan ulama Nusantara dalam
meregenerasi para intelektual, maupun melihat cara-cara para ulama Nusantara
bisa melakukan kontak atau hubungan dengan ulama Timur Tengah. Oleh karena itu,
titik tekan yang diarahkan oleh Azra dalam penelitiannya yang sudah dijadikan
sebagai salah satu karya yang sangat bersejarah ke dalam sebuah buku masih
bersifat Universal atau Global. Sementara itu, ulama yang dimaksudkan dalam
penelitian ini lebih fokus kepada skala lokal, sehingga dapat dipahami bahwa
kajian penelitian ini dengan kajian Prof. Azra memang
mengkaji ulama. Hanya saja bisa dibedakan dari skala besar dan skala kecil.
Beranjak dari penelitian ini maka dapat diperjelas kembali bahwa kajian ini
merupakan pengembangan kajian yang sudah dilakukan oleh kajian-kajian terdahulu
baik itu mengenai kajian terdahulu pertama, kedua, maupun yang ketiga.
Selanjutnya,
kajian terdahulu yang berada pada nomor ketiga di atas lebih memfokuskan
kajiannya pada silsilah ulama antara murid dengan guru saja (geneologi),
sementara penelitian saya tidak hanya memfokuskan antara guru dan murid tetapi
lebih jauh ditambah lagi mereka para ulama yang telah mampu untuk
mengaktualisasikan dirinya dalam berbagai bidang yang ada, baik dalam bidang
sosial, pendidikan, ekonomi, maupun dakwah Islam.
Kemudian,
pada kajian terdahulu bagian keempat yakni penelitian yang ditulis oleh
dosen-dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan pada tahun
1987 yang berjudul “Sejarah
Ulama Ulama Terkemuka Tapanuli Selatan” ini
sesungguhnya hanya mengungkapkan
nama-nama ulama yang ada di Tapanuli Selatan pada tahun 1987. Penelitian
ini di samping memuat nama-nama ulama
tersebut juga memuat riwayat hidup, seperti pendidikan, karya,kesan-kesan,
perjuangan, silsilah keturunan, peranannya di dalam memajukan pendidikan Islam.
Membaca penelitian ini nampaknya belum sempurna dikarenakan keterbatasan waktu,
jarak tempuh yang dilalui oleh para peneliti. Sedangkan penelitian yang saya
tulis ini difokuskan untuk melihat peranan pondok pesantren Musthafawiyah Purba
Baru dalam pembentukan ulama di Kabupaten Mandailing Natal.
Pada
bagian kelima ini memberikan sebuah adanya perkembangan pondok pesantren dari
zaman Kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia, yakni dari pondok
pesantren murni hingga didirikannya madrasah dan sekolah di pondok pesantren.
Sedangkan penelitian yang saya maksudkan mengarah kepada peran Pondok Pesantren
Musthafawiyah dalam Generasi ulama di Kabupaten Mandailing Natal.
Sedangkan
pada bagian keenam di atas dapat dipahami bahwa penelitian tersebut bertujuan
untuk mendapatkan data dan informasi dasar mengenai pondok pesantren, sebagai
bahan dasar untuk melakukan pembaruan pondok pesantren. Terakhir pada bagian
ketujuh juga menghususkan penelitiannya pada unsur-unsur dan nilai-nilai luhur
dalam sistem pendidikan, dinamika pondok pesantren dalam rangka menghadapi
pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada enam pondok
pesantren yang menjadi objek studi, yaitu pondok pesantren An-Nuqayah Guluk
Guluk Sumenep Madura, Pondok Pesantren Salafiyah Ibrahimiyah Sukorejo Asembagus
Situbondo, Pondok Pesantren Blok Agung Jajag Banyuangi, Pondok Pesantren
Tebuireng Diwek Jombang, pondok pesantren Muhammadiyah Karangasem Paciran
Lamongan dan Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Jika
dibandingkan kajian terdahulu pada poin keenam dan ketujuh, maka penelitian
tersebut memang membicarakan pesantren tetapi dari segi penelitian yang
berbeda. Penelitian yang akan dilakukan kali ini berkaitan dengan peranan
pondok pesantren Musthafawiyah Purba Baru dalam pembentukan ulama di Kabupaten
Mandailing Natal.
Terakhir,
Abbas pulungan lebih mefokuskan kajiannya terhadap keberadaan pondok pesantren Musthafawiyah dan
lebih menitikberatkan kajiannya pada kepemimpinan masing-masing pimpinan pondok
pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Selanjutnya dalam tulisan beliau lebih mengupas
tentang hubungan antara pesantren Musthafawiyah dengan masyarakat Mandailing.
Sementara peneliti lebih memfokuskan pada peranan pondok pesantren
Musthafawiyah Purba Baru dalam pembentukan ulama di Kabupaten Mandailing Natal.
Dengan
demikian, hal ini menjadi kajian baru yang belum pernah diekspos sehingga perlu
diangkat guna pembangunan wawasan keilmuan dalam bidang keulamaan sebagai
produk dari sebuah pondok pesantren.
[1]Mukti Ali, Beberapa Persoalan
Agama Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 15.
[2]M. Dawam Raharjo, Pesantren dan
Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 5
[3]Hasan Alwi, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 866.
[4]Zamakhsari Dhofier, Tradisi
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18.
[5]Wahjoetomo, Perguruan
Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 5.
[6]Dewan Redaksi, Ensklopedi
Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 20.
[7]Karel A. Steenbrink, Pesantren
Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 20.
[8]Shahrin Harahap, Islam Konsep
dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999),
h.77.
[9]Mastuhu, Dinamika Pesantren (Jakarta:
INIS, 1994), h. 7.
[10]Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 217.
[11]Suryadharma Ali, Paradigma
Pesantren Memperluas Horizon Kajian dan Aksi (Malang: UIN-Maliki Press,
2013), h. 10.
[12]Maratua Simanjuntak, Buku
Peringatan Satu Abad Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Mandailing Natal,Purba
Baru: Panitia Perinagatan, 2013), h. 34.
[13]Oemar Hamalik, Manajemen
Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 10.
[14]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning
Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1995), h. 115-145.
[15]Masdar Fuad Mas’udi, Mengenal Pemikiran Kitab Kuning, dalam M.
Dawam Rahardjo (ed) Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah
(Jakarta: P3M, 1985), h. 55.
[16]Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 72-73.
[17]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Qur’an (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994),
h. 19-21
[19]Armai Arief, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 40.
[20]Yeti Nurizzati, Metode Pembelajaran Pesantren Tradisional,
elib.iaincirebon.ac.id. Diakses, 12 Desember 2016 Pukul 14.00 WIB.
[21]Sukamto, Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), h. 144.
[22]Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika
Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013), h. 93.
[23]Samsul Nizar, Sejarah, h. 94.
[24]Pola I, materi pelajaran yang
dikemukakan di pesantren ini adalah mata pelajaran agama yang bersumber dari
kitab-kitab klasik. Metode penyampaian adalah wetonan dan sorogan
yang tidak memakai sistem klasikal.
Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang dibaca. Mata pelajaran umum
tidak diajarkan dan tidak mengutamakan ijazah sebagai alat mencari kerja. Hal
yang paling diutamakan adalah pendalaman ilmu-ilmu agama semata-mata melalui
kitab-kitab klasik.Pola II, pola ini hampir sama dengan pola I di atas, hanya
saja pada pola II proses belajar mengajar dilaksanakan secara klasikal dan
nonklasikal, juga dididik keterampilan dan pendidikan berorganisasi. Pada
tingkat tertentu diberikan sedikit pengetahuan umum. Santri telah dibagi
jenjang pendidikan mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Metode yang digunakan adalah wetonan,sorogan, hafalan, dan
musyawarah.Pola III, pada pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan
mata pelajaran umum dan ditambah pula dengan memberikan aneka macam pendidikan
lainnya, seperti keterampilan, kepramukaan, olahraga, kesenian dan pendidikan
berorganisasi dan sebagian telah melaksanakan program pengembangan
masyarakat.Pola IV, pola ini menitikberatkan pelajaran keterampilan di samping
pelajaran agama. Keterampilan ditujukan untuk bekal kehidupan bagi seorang
santri setelah tamat dari pesantren ini. Keterampilan yang diajarkan adalah
pertanian, pertukangan dan peternakan.Pola V, pada pola ini materiyang
diajarkan di pesantren adalah sebagai berikut:1) Pengajaran kitab-kitab
klasik. 2) Pendidikan model madrasah, selain mengajarkan
mata pelajaran, juga mengajarkan mata pelajaran umum. Kurikulum madrasah pondok
dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama, kurikulum yang dibuat oleh
pondok sendiri dan kedua, kurikulum pemerintah dengan memodifikasi
materi pelajaran agama. 3) Keterampilan juga diajarkan dengan berbagai
kegiatan keterampilan. 4) Pesantren ini dilengkapi dengan sekolah umum.
Materi pelajaran umum pada sekolah umum yang ada di pesantren seluruhnya
berpedoman kepada kurikulum Kemendiknas. Sedangkan materi pelajaran agama yang
diajarkan di sekolah, pada waktu-waktu yang sudah terjadwal santri menerima
pendidikan agama lewat membaca kitab-kitab klasik. 5) Pada beberapa pesantren yang
tergolong pesantren besar telah membuka universitas atau perguruan tinggi.Lihat
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 24-26.
[25]Departemen Pendidikan dan
Kebudayaa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
h. 959.
[26]Anthony Giddens, Runaway Wolrd (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.
36.
[27]A.S Hornby. E.V. Gatenby. H.
Wakefield, The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English (London:
Oxford University Press, 1958), h. 1367.
[28]Departemen Pendidikan dan
Kebudayaa, Kamus, h. 959
[29]Amiruddin Nahrawi, Pembaharuan
Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Gema Media, 2008), h. 27.
[30]Nilai-nilai Islam adalah nilai
mengandung ketuhanan seperti aqidah atau tauhid, ibadah, akhlak, bermuamalat.
[31]M. Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 248.
[32]Tujuan pondok pesantren juga untuk membina
manusia menjadi orang baik, dengan sistem pondoknya. Maksudnya adalah para
santri dan kyai hidup dalam lingkungan pendidikan yang ketat dan disiplin.
Lihat Taufik Abdullah,
Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 329. Dalam merumuskan tujuan pendidikan pesantren,
maka Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan
dan mewujudkan kepribadian muslim. Kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan menjadi qaula atau
abdi masyarakat, berdiri sendiri bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan
agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu
dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Pendapat yang dikemukakan
oleh Mastuhu tentang tujuan pendidikan pondok pesantren itu, sesungguhnya
berkenaan dengan sarana untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, serta
meningkatkan ibadah kepada Allah.
Tujuan pondok pesantren menurut Ramayulis adalah Pertama, setiap santri harus belajar dan mampu mendalami
ilmu agama tafaqquh fi al-din. Kedua, setiap santri mampu
memberikan peringatan kepada masyarakatnya. Ketiga, setiap santri harus
mampu untuk menjadikan diri dan masyarakatnya sebagai perisai terhadap hal hal
yang merusak agama. Lihat Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2012), h. 267.
[33]Husain dan Ashraf, Crisis Muslim Education,
Diterjemahkan Krisis Pendidikan Islam oleh Rahmani Astuti (Bandung: Risalah,
1986), h. 153-156.
[34]Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan
Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 82-95.
[35]Aliy As’ad, “Terjemah Ta’limul Muta’allim”, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan (Kudus: Menara Kudus, 2007), h. 26.
[36]Akhmad Sya’bi, Kamus
Al-Qalam Arab-Indonesia Indonesia-Arab (Surabaya: Halim Surabaya, 1997), h.
166. Lihat Asad M. Al-Kalali, Kamus Indonesia Arab, Cet Ke-8(Jakarta:
Bulan Bintang, 2002), h. 408. Selanjutnya bisa juga dilihat pada Ahmad Warson
Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Pustaka
Progressif, 1981), h. 1037.
[38]M. Dawam
Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah
Cendikiawan Muslim, cet. 3 (Bandung: Mizan, 1996), h. 171.
[39]Kiki Rakhmad Zailani, Genealogi Intelektual Ulama Betawi Melacak
Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad-19 sampai Abad ke-21 (Jakarta:
Islamic
Center, 2011).h. 15
[40]Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (London: I.B. Thauris, 1999), h. 187. Lihat Abuddin
Nata, Sosiologi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
h. 75.
[41]Rahardjo, Intelektual
Intelegensia, h. 171.
[42]Sayyed Hossein
Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge: The Islamic Text
Society, 1987), h. 65.
[43]Umar Hasyim, Mencari
Ulama Pewaris Nabi (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 14
[44]Ahmad Fadli, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan
Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20) (Jakarta:
Manhalun Nasyi-in Press, 2011), h. 34.
[45]Departemen Agama RI, h. 437.
[46]Badruddin Hsubky, Dilema
Ulama Dalam Perobahan Zaman (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 47.
[47]Ad-Darimi, Kitab Mukaddimah,
Bab: Penghinaan untuk siapa yang ,mencari ilmu bukan karena Allah, No.
Hadis: 366
[48]Sufyan Al-Jazairy, Potret Ulama
Antara yang Konsisten dan Penjilat (Solo: Jazera, 2011), h. 91.
[49]Muslim, Kepemimpinan, Bab: Sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam "Akan senantiasa ada sekelompok orang
dari umatku…."No. Hadist : 3548
[50]Muhammad Faiz Al-Math, Keistimewaan-keistimewaan
Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 56.
[51]Alwi, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 939-940.
[52]Ibnu Khaldun, Mukaddimah Ibnu
Khaldun, terj. Masturi Irham, et al., (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), h. 212.
[53]Ibid