PESANTREN DAN GLOBALISASI
By: Dr. Muhammad Roihan Daulay, M.A Lecturel at IAIN Padangsidimpuan Email: daulay |
PESANTREN DAN GLOBALISASI
Abstrak
Istilah
globalisasi telah memberikan kebebasan bagi manusia di segala bidang. Hal ini ditandai
dengan adanya transfaransi secara bebas tanpa ada batas-batas pemisah apapun
sehingga perkembangan dunia informasi dan teknologi seperti media sosial telah
memberikan tantangan bagi dunia pesantren. Dalam mengahadapi tantangan ini maka
pesantren harus berupaya mendorong dan membekali diri guna mengahadapi arus
globalisasi.
Abstrac
The term
globalization has given liberty to man in all fields. It is characterized by
the transfaransi freely without limits of any separator so that the development
of information and technology such as social media has provided a challenge for
the schools. In facing this challenge, the schools should seek to encourage and
equip themselves in order to confront globalization.
A.
Pendahuluan
Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di nusantara sudah mulai berdiri
sejak menyebarnya Islam ke Nusantara. Tokoh yang pertama kali yang mendirikan
pesantren adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat, India
sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa.[1]
Berbicara mengenai pesantren tentunya tidak terlepas dengan perkembangan Islam
yang ada pada saat sekarang ini. Jika kita lihat, bahwa saat ini pesantren
telah mulai berkembang sesuai dengan kemajuan yang ada pada saat ini. Bahkan
sebagai pesantren telah memiliki perguruan tinggi, dan telah melibatkan diri
dalam persaingan yang ada saat ini. Di antaranya pesantren memiliki
keterampilan dalam, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, koperasi,
jahit menjahit, bordir.[2]
Seiring dengan kemajuan zaman yang
semakin global menjadikan pesantren harus mampu untuk dapat menyahuti keadaan
tersebut. Zaman globalisasi merupakan salah satu tingkat peradaban yang mesti
dilalui. Informasi dan teknologi merupakan salah satu di antara pertanda telah
masuknya istilah globalisasi, yang jauh bisa dekat dan yang dekat bisa menjadi
jauh akibat semakin banyaknya teknologi yang dihasilkan oleh manusia. Bernajak
dari derasnya arus globalisasi telah turut menjadikan pesantren ikut serta di
dalam menghadapi zaman globalisasi yang serba singkat dan mudah.
Untuk melihat sejauh mana eksistensi pesantren dalam menghadapi arus globalisasi
perlu ditelusuri bagaimana sebenarnya sikap pesantren dalam menghadapi zaman
yang semakin global ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini perlu kembali melihat
tantangan dan peluang yang dihadapi oleh dunia pesantren terhadap arus
globalisasi melalui judul pesantren dan globalisasi.
B. Pesantren dan perkembangannya
Pembicaraan tentang pesantren selalu memiliki dinamika tersendiri dalam
dunia pendidikan Islam. Guna memahami pemaknaan tentang pesantren, maka berikut
ini perlu dijelaskan dengan singkat apa sebanarnya pesantren. Dalam kamus
bahasa Indonesia dituliskan bahwa pesantren adalah nama tempat santri atau
tempat murid-murid belajar mengaji (pondok).[3]
Pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia,
didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. hal ini bisa dilihat dari
perjalanan sejarah, di mana pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban
dakwah Islamiyah yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus
mencetak kader kader Ulama atau Da’i.[4]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa kajian tentang pesantren
telah memiliki sejarah yang cukup panjang dan tua di Indonesia. Sehingga, keberadaan
pesantren khususnya tradisional di Indonesia memiliki akulturasi tersendiri
secara indigenous. Bahkan latar belakang lahirnya tokoh-tokoh terkemuka
di Indonesia juga tidak terlepas dengan keberadaan pesantren yang sangat tua.
Katakan saja tokoh intelektual muslim sampai saat ini masih hidup seperti KH.
Aqil Siraj (Pimpinan Pusat NU-saat ini), Dr. H. Ibrahim Siregar, MCL (Rektor
IAIN Padangsidimpuan) Prof. Dr. Yasir (Mantan Rektor IAIN Sumatera Utara yang
sekarang sudah menjadi UIN Sumatera Utara) merupakan tokoh-tokoh terkemuka yang
dulunya pernah belajar di pesantren.
Sejarah berdirinya lembaga pondok
pesantren yang baru disebutkan di atas merupakan masa awal dari pembentukan
para ustaz yang sampai saat ini telah banyak yang muncul sebagai tokoh yang
sangat berpengaruh di Tanah Air ini. Bahkan tidak heran, dengan adanya
pesantren telah mencetak para cendikiawan muslim yang taat. Sebelum abad 60-an,
pusat pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama
pondok. Istilah pondok ini barangkali berasal dari pengertian asrama para
santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau
barangkali berasal dari kata Arab funduq yang berarti hotel atau asrama.[5]
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di
depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor Johns
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru
mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat
bahwa istilah tersebut berasal dari istilah Shastri yang dalam bahasa India
berarti orang yang tahu buku buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli
kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata Shartra yang
berarti buku buku suci, buku buku agama atau buku buku tentang ilmu
pengetahuan.[6]
Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat
Islam penting kedua di samping masjid. Selain itu pesantren ini merupakan
lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari
pengajaran Quran dan Hadis dan merancang segenap kegiatan pendidikannya sebagai
cara hidup (way of life).[7]
Dengan demikian pesantren
telah jelas memiliki historitas yang tidak terlepas dari budaya bangsa
Indonesia seperti adanya akulturasi agama hindu dengan adanya adopsi shastri.
Shastri sendiri merupakan orang yang mengerti tentang kitab-kitab agama hindu
sendiri. Sedangkan santri yang dipahami dalam dunia pesantren adalah mereka
para santri yang mengert akan kitab-kitab kuning atau kitab-kitab klasik baik
tentang tauhid, fiqh, tasawuf dan akhlak. Oleh karena itu, terdapat kesesuaian
yang cukup menarik jika dilihat dari sudut pandang istilah-istilah yang ada
dalam dunia pesantren itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan kekaguman
seorang Orentalis Marthin Van Bruinessen. Ia mengatakan bahwa pesantren lewat
halaqah dan bandongan sebagai sistem pengajaran dengan kurikulum yang lebih
banyak mengkaji kitab kitab klasik (kitab kuning) yang diterapkan, adalah
sebuah keunikan, keaslian sekaligus sebuah kehebatan, karena tidak goyah oleh
terpaan zaman bahkan dipandang sebagai sesuatu yang unik dan luar biasa.[8]
Pesantren, dalam pandangan
Martin adalah salah satu tradisi agung di Indonesia, yang mentransmisikan
ajaran ajaran Islam (tradisional) sebagaimana yang terdapat dalam kitab kitab
klasik yang ditulis berabat abat yang lalu dengan lima elemen dasar yang
meliputinya, yaitu pondok, mesjid, santri, pengajaran kitab kitab Islam klasik
dan kiyai sebagai pengelola sekaligus pengasuh utamanya.
Tak berlebihan kiranya
jika keberadaan pesantren yang demikian besar perannya dalam sejarah bangsa dan
menjaga tradisi pendidikan Islam tradisional, mendapatkan penghormatan dan
keistimewaan dari pemerintah dan masyarakat, sebagaimana kekaguman dan
kebanggaan Martin akan keberadaanya.
Jika dilihat dari sudut
pandang historisnya, maka pesantren ini juga memiliki fungsi yang cukup banyak
dalam kemerdekaan Indonesia. Peran mereka para pemuda adalah alumni pesantren
telah banyak menorahkan sisi yang cukup berharga demi tegaknya keadilan dan
keamanan. Para pemuda itu adalah Alumni dari berbagai pesantren terkemuka di
Nusantara. Pesantren telah berabad abad sebelumnya membantu banyak pejuang di
daerah dalam berperang melawan Belanda. Ikrar di atas merefleksikan adanya
kesamaan jiwa dalam menghadapi penjajah yang notabene beragama lain. Pesantren
konsisten menolak kerjasama dengan Belanda seperti ditunjukkan pendiri
pesantren Tebuireng Hadratus Syekh KH. Hasyim As’ari yang menolak tawaran
pengahargaan dan bantuan dari pemerintah Hindia Belanda.
Perkembangan pesantren
mulai dari lahir hingga saat ini tetap memiliki peran yang banyak dalam
mencerdaskan kualitas spritualitas anak bangsa di Indonesia. Oleh karena itu,
pesantren dapat dipahami sebagai tempat para santri untuk menimba ilmu-ilmu
keislaman. Akan tetapi dalam situasi saat ini khususnya di era atau zaman
globalisasi, dunia pesantren mendapat peluang dan tantangan yang harus ditepis
sehingga dunia pesantren harus mampu memiliki filterisasi secara benar.
Filterisasi ini dilakukan guna menyahuti betapa banyaknya situasi atau kondisi
yang jika tidak pandai dalam menjalankannya justru ketertinggalan, kebodohan,
kemerosotan moral atau akhlaklah yang akan diterima. Hal ini disebabkan oleh
semakin derasnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia khususnya di
Indonesia.
Globalisasi merupakan bukti
perkembangan peradaban manusia dalam pengejewantahkan ayat-ayat Allah swt
secara nyata. Globalisasi memiliki dua sisi yang saling tarik menarik dalam
kehidupan manusia. Globalisasi dapat memberikan pengaruh positif (peluang) dan
pada sisi lain globalisasi dapat memiliki mudharat (ancaman) bagi manusia.
C. Globalisasi
Istilah globalisasi diambil dari kata “global”. Kata ini melibatkan
kesadaran baru bahwa dunia merupakan sebuah kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi
sebagai kesatuan utuh. Dalam istilah yang senada, bahwa globalisasi merupakan kontinum dari skenario
idiologi dan mode kapitalisme liberal yang embrionya telah lama dicetuskan oleh
Adam Smith. Efisiensi (profit maxization) adalah ruhnya, revolusi
industri motornya, teknologi dan institutional finance internasional
(GATT, WTO, IMF) adalah medianya, dan imperialisme/ kolonialisme awal
perwujudannya. Pelaku utamanya adalah kaum borjuis (the big bourgeoisie),
yakni Trans National Corporation (Althusser).[9]
Tujuannya adalah melanggengkan dominasi dengan menghindari modus fisik melalui
hegemoni, yakni dominasi (kolonialisme) perspektif dan ideologi yang berbasis
produksi ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
Pada perkembangannya, hegemoni berkembang dari Merkantisilme ke berbagai
aspek neo-kolonialisme (ekonomi, sosial, politik, dan budaya). Secara praktis
historis-empiris, pen-Spanyol-an Amerika merupakan dasar globalisasi tahap
pertama, lalu disusul dengan perang dingin (globalisasi idiologi).
Selanjutnya Marshall Mc. Luhas menyebutkan bahwa dunia yang diliputi
kesadaran globalisasi ini (global village/ desa buana). Dunia menjadi sangat
transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu negara. Batas-batas
suatu negara bisa menjadi kabur. Kaburnya dunia diakibatkan oleh perkembangan
pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit.[10]
Dari pengertian di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa istilah globalisasi
yang bermula dari kemajuan yang terjadi di dunia industri khususnya di eropa.
Perkembangan istilah ini akhirnya dapat berkembang sampai pada saat ini.
Kemajuan teknologi merupakan pertanda bagi arus globalisasi tersebut karena
tidak adanya pembendung atau pembatas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
semuanya sudah terbuka secara nyata. Berbeda dengan masa yang lalu, dimana
manusia memiliki etika atau norma yang layak dijadikan sebagai aturan dan batas
yang jelas. Bahkan, seorang murid masih enggan bertemu dengan gurunya. Namun,
saat ini perkembangan yang terjadi memutus batas-batas yang telah ada
sebelumnya. Santri, dapat berkomunikasi secara bebas kepada siapa saja, kapan
saja, dan di mana saja.
Untuk itulah, sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa Islam maka
pengaruh globalisasi harus memikirkan secara nyata tentang apa saja tantangan
dan peluang yang bisa dimengerti oleh santri. Oleh karena itu globalisasi menjadi tawaran
bagi dunia pesantren untuk dapat melakukan sinergitas dengan cara-cara yang
dapat diterima oleh pesantren itu sendiri.
D. Peluang Globalisasi
Globalisasi di samping memiliki peluang yang cukup baik bagi dunia
pendidikan pesantren juga menjadi tantangan yang cukup spektakuler. Peluang
tersebut sangat memiliki kearifan bagi ajaran Islam. Oleh sebab itu, ajaran
Islam memiliki relevansi dengan aspek-aspek globalisasi. Adapun aspek-aspek
yang relevan dengan globalisasi adalah sebagai berikut:
Pertama: Globalisasi bersifat kompetitif mendorong umat berupaya
secara sistemik untuk merespon pembangunan manusia menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas, baik fisik, intelektual maupun moral.
Sekalipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
transportasi dan telekomunikasi telah membuat dunia terasa seolah tanpa batas
dan sekat, namun dalam hal ini Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk
mencari perkembangan ilmu pengetahuan secara kaffah.
Kedua: kemajuan teknologi dan industry memberikan
kemudahan-kemudahan dalam menyelenggarakan ibadah dan muamalah baik dalam
memberikan peluang besar teradap pendidikan guna meningkatkan efektifitas
proses belajar-mengajar.
Ketiga: era globalisasi memang ditandai dengan maraknya bisnis dan
perdagangan tentunya memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan manajerial dan bisnis.
Keempat: globalisasi yang menawarkan produk-produk budaya global
yang beraneka ragam, mendorong umat untuk bersifat selektif dengan prinsip
memelihara budaya lama yang masih baik dan mengadopsi budaya baru yang sesuai
dengan budaya sendiri.
Kelima: penemuan-penemuan sains di era globalisasi, lebih
memotivasi umat untuk memberikan dasar religious, dan menunjukkan bahwa Islam
tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keenam: keenam globalisasi menggugah gaya hidup umat yang homogeny
agar menghargai tradisi dan nilai-nilai agama secara lebih mendalam. Individu
maupun institusi agama yang secara sadar bergaya hidup homogeny akan mampu
menjadi penyangga tradisi dan nilai-nilai budaya bangsa agar tidak mudah
terlibas arus globalisasi.[11]
Dari peluang di atas dapat dipahami bahwa
dengan adanya kemajuan dalam berbagai bidang menjadikan manusia lebih giat
untuk mempersiapkan diri untuk sampai pada yang lebih baik, baik dalam bidang
sumber daya manusia, maupun secara spritualnya.
Demikian pula halnya kemajuan globalisasi yang ditandai dengan
perkembangan teknologi dan telekomunikasi telah membuat hubungan komunikasi
penduduk antar negara di berbagai belahan dunia menjadi semakin terbuka dan
mudah. Seolah dunia ini kecil, orang dapat berkomunikasi setiap saat walaupun
berada di belahan dunia dalam jarak yang amat jauh secara fisik, namun dengan
kecanggihan alat komunikasi semuanya terasa dekat dan seolah tidak terpisahkan
oleh tempat dan jarak yang berjauhan.[12]
Peluang di atas tentu merupakan salah satu bagian di antara
peluang-peluang yang telah dikemukakan sebelumnya. Secara teori bahwa setiap
perubahan itu pasti memiliki peluang yang positif dan peluang negative atau
disebut dengan tantangan. Berikut ini merupakan tantangan yang dihadapi dalam
dunia global.
E. Tantangan Globalisasi
Sebutan globalisasi dapat pula dipandang sebagai suatu tantangan. Dalam
konteks globalisasi sebagai tantangan merupakan cara pandang yang optimistis,
dimana memandang globalisasi sebagai suatu yang menantang. Sesuatu yang
menantang mengandung makna bahwa sesuatu tersebut harus disikapi dan dihadapi
dengan barbagai upaya dan strategi.
Pendidikan yang bebas merupakan sebuah tantangan bagi kita disaat ini.
Tantangan yang terkandung pada sistem pendidikan yang liberal adalah bagaimana
kita dapat memanfaatkan sebaik-baiknya setiap peluang untuk mengembangkan
pesantren dan menghasilkan santri yang dapat bersaing dan dipergunakan dalam
dunia secara internasional. Guna menghadapi tantangan tersebut, maka sumber
daya manusia yang berkualitas (masyarakat dan kalangan dunia pendidikan di
pesantren yang kreatif dan inovatif) sangat diperlukan untuk dapat memainkan
peran sebagai pelaku aktif yang dapat bersaing atau bahkan keluar sebagai
pemenang dalam persaingan global. Sumber daya manusia yang berkualitas juga
sudah menjadi tuntutan dan keharusan untuk dapat menghadapi persaingan yang
sangat ketat dalam memperebutkan lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Untuk menangkap peluang-peluang yang diberikan oleh globalisasi, maka Azyumardi
Azra memprediksikan bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam
banyak hal didominasi ilmu pengetahuan. Dalam tataran praktis, teknologi adalah
akan menentukan kemajuan masyarakat di masa kini dan mendatang.[13]
Ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi menunjukkan
perkembangan spektakuler dengan banyaknya penemuan-penemuan baru, seperti bayi
tabung, penetapan jenis kelamin, kloning, kemampuan mengobati leukemia,
penggunaan sinar laser untuk mengurangi lemak pada pembuluh nadi, penciptaan
kapal selam yang bebas dari intaian radar musuh, perkembangan computer dengan
teknologi tinggi dalam menyongsong era informasi dan sebagainya sampai pada
rekayasa genetika dalam pengembangan ilmu biologi.[14]
Amin Abdullah pun menyatakan hal yang sama. Kemajuan teknologi dan bio
teknologi berhasil membuat perubahan-perubahan yang sangat spektakuler.
Kemajuan di bidang pertanian, misalnya membuat kita terkesima, karena bidang
pertanian ini mampu membudidayakan tomat di atas batu bukan di atas tanah yang
konvensional. Penanamannya ini juga tidak lahi dengan lewat biji, tetapi lewat
daunnya. Bahkan hasilnya pun dapat diperoleh empat ratus kg tomat dari hanya
satu pohon.[15]
Berdasarkan temuan di atas dapat dipahami bahwa semua temuan tersebut
tidak melanggar otonomi ilmu. Akan tetapi dalam segi pragmatiknya, temuan
semacam itu masih dibatasi oleh hal-hal yang humanistic dan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai moral di era
globalisasi yang dimiliki oleh lingkungan sosial masih memiliki daya control
yang kuat.
Guna memahami hasil kenyataan
dengan jelas, maka perlu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang
mampu bersaing dengan semua bangsa di dunia, maka semua komponen masyarakat
terutama dunia pendidikan di tuntut perannya untuk meningkatan kualitas
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran khususnya pada pesantren.
Globalisasi tidak bisa ditolak atau dihindari, dia hadir seiring
perkembangan peradaban manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu, yang harus dilakukan adalah menghadapinya dengan seksama, turut
serta memainkan peran dalam setiap tantangan dan peluang yang tersedia. Oleh
karena itu, bagi pesantren diharapkan dapat bersinergis sesuai dengan bidang
masing-masing sehingga bisa berfastabiqul khairat dalam mencapai tujuan utama
yakni selamat di dunia dan akhirat. Selain itu, pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yang tujuan utamanya untuk mencerdaskan manusia menjadi
manusia yang memiliki ilmu secara kaffah serta dibarengi dengan akhlakul
karimah dengan sendirinya harus tetap ikut di dalam memainkan peranannya
masing-masing sehingga tidak digilas oleh kemajuan zaman.
F. Solusi pesantren terhadap Arus Globalisasi
Setelah melihat pembahasan dunia pesatren dan globalisasi maka diharapkan
di atas baik penjelasan pada poin sejarah
pesantren maupun tradisi pesantren itu sendiri, maka keberadaan pesantren harus
mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi di era globalisasi. Memang
sudah benar pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sampai
saat ini tetap mengajarkan akhlak yang mahmudah, tetapi di sisi lain pesantren
juga harus mampu berkompetitif sebagai pemain utama dalam mengahadapi aruz
globalisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Matuhu yang dipinjam dari Karl
Mannheim yang melihat globalisasi sebagai suatu ideologi. Bagi Mastuhu
globalisasi merupakan konsep atau proses tanpa henti yang tidak bisa dibendung
atau ditolak. Bahkan globalisasi menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Sebagai
proses, globalisasi akan mengalami tahapan-tahapan perkembangan yang pada
tingkat tertentu mampu membentuk format sosial seluruh kehidupan manusia, baik
politik sosial budaya ekonomi maupun bidang pendidikan.
Lanjut Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa globalisasi merupakan sebuah
sistem simbiosis yang menunjukkan hubungan erat antara aspek-aspek dalam
kehidupan. Interpendensi tidak hanya terbatas dalam satu wilayah saja,
melainkan juga di dalam kehidupan di suatu negara dengan negara lain di dunia.
Bahkan selanjutnya akan menimbulkan adanya akulturasi, kompetisi, bahkan
kerjasama.kompetensi semacam ini akan melahirkan pemikiran untuk mencetak
sumber daya manusia yang berkualitas.
Berdasarkan akan hal di atas, maka komunitas agama perlu untuk mempelajari
ilmu pengetahuan yang memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat sehingga
siap menghadapi perubahan, terutama perubahan yang ditimbulkan oleh globalisasi
tersebut. Globalisasi dapat mempengaruhi wawasan dan cakrawala pikir santri
pondok pesantren. Guna menghindari pengaruh negatif globalisasi, pesantren
seharusnya menanamkan nilai-nilai agama Islam dan akhlak pada mereka dengan
pertimbangan syariat.[16]
Untuk menunjang tercapainya penanaman akan nilai-nilai agama Islam
tersebut maka paling tidak harus ada strategi yang diberikan sehingga para
santri dapat mudah diarahkan hingga terwujudnya visi-misi pondok pesantren
tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ustaz Roihan sebagai pimpinan Pondok
Pesantren di Roihanul Jannah Maga mengatakan bahwa:
Pesantren disaat ini sebenarnya harus mulailah memikirkan tempat tinggal
santri untuk belajar yang disebut dengan istilah asrama. Kenapa? Karena,
pesantren saat sekarang sungguh jauh berbeda dengan pesantren di msa lalu.
Pesantren di masa lalu masih identik dengan zamannya. Akan tetapi, di masa
sekarang atau masa globalisasi ini pesantren itu sangat banyak dihadapkan
dengan tantangan yang tidak menguntungkan. Adapun tantangan di masa globalisasi
sekarang ini dapat ditandai dengan berkembangnya informasi dan teknologi. HP,
sebagai media komunikasi, saran hiburan, bahkan bentuk-bentuk media sosial yang
seperti wa, facebook, line, bbm, histogram, telah banyak memberikan sisi
negative bagi masyarakat. Santri misalnya, bayangkan jika bentuk pondok dan
tidak ada yang mengawasi ke pondoknya justru akan membuka peluang untuk
mengakses tayangan yang tidak baik seperti nonton video sex melalui HP. Apalagi
saat ini tayangan yang seperti itu sangat mudah cukup hanya mengisi paket data
HP maka tontonan apapun yang diinginkan akan dapat diakses di pondok masing
masing. Untuk itulah sangat perlu
diasramakan memiliki tawaran yang cukup baik bagi masa depan santri. [17]
Dari pendapat ustaz Roihan di atas sangat berbeda dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Ayah Ardabili sebagai salah satu ustaz di Pondok Pesantren
Musthafawiyah Purba Baru ketika dijumpai penulis saat di Kantornya mengatakan
bahwa:
Pondok pesantren kita sesungguhnya lembaga pendidikan Islam yang
bertujuan untuk memberikan pembinaan terhadap santri. Oleh karena itu pesantren
kita sampai saat ini tidak mewajibkan untuk asrama. Namun, pesantren kita
diberikan pilihan sesuai dengan keinginan masing-masing santri. Hal ini
disampaikan bahwa memang setiap perkembangan itu tidak terlepas dengan
tantangannya baik yang bersifat cepat maupun lambat. Untuk itu, bagi kita para
ustaz di pondok pesantren ini harus memberikan penguatan bagi santri melalui
ilmu-ilmu yang dapat memperkuat ilmu tauhid santri. Sesuai dengan visi-misi
pondok pesantren kita adalah untuk mendalami ilmu keislaman sebagai dasar dalam
hidup dan penghidupan ini. misalnya jika sudah ditanamkan sifat ihsan dalam
diri santri maka besar kemungkinan santri akan terhindar dari hal-hal yang
merusak nilai moral mereka. Bahkan jatuh uang di jalan sekalipun mereka para
santri yang sudah kuat ihsannya maka dia tidak akan mau untuk mengambil uang
yang jatuh tadi.[18]
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam harus memiliki upaya dalam menghadapi arus
globalisasi. Sekalipun pesantren dipahami oleh masyarakat awam sebagai lembaga
yang hanya mengkaji persoalan agama Islam namun dalam pemikiran Islam yang luas
maka pesantren harus bisa bersaing dengan situasi dan kondisi kemajuan yang ada
pada saat ini. Munculnya pemikiran dalam menerima hal yang baru apalagi yang
memiliki relevansi dengan ajaran Islam maka sudah sepantasnya pesantren
bergerak menuju perubahan ke arah yang lebih baik sehingga globalisasi yang
pada hari ini dihadapkan pada seluruh lapisan masyarakat bisa diterima dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan bidang masing-masing.
Sekalipun santri dihadapkan dengan berbagai cobaan dalam pesantren, sebut
saja seperti Handphone yang menjadi alat saluran komunikasi antara sesama
manusia, juga dapat mengakses tontonan-tontonan yang tidak jelas seperti adanya
pemutaran atau tayangan sex yang ada di media sosial seperti yang terdapat di
tayangan yutub telah merusak moral dan nilai-nilai yang dihormati di masyarakat
harus bisa diterima keberadaannya. Akan tetapi, pada sisi lain pihak pesantren
harus mengimbanginya melalui materi keilmuan agama yang dapat membentengi
akhlak santri sehingga tetap terjaga dan memiliki keistiqamahan dalam berbagai
rintangan yang menghadang.
Selain solusi di atas, maka pesantren harus mampu memberikan perubahan
secara mendasar. Adapun perubahan yang dimaksud seperti memberikan asrama bagi
para santri guna mempermudah ustaz dalam mengkoordinir kegiatan santri.
Kemudian, tantangan globalisasi dapat
ditepis dengan memperdalam ilmu-ilmu keislaman kepada santri.
G.
Kesimpulan
Globalisasi merupakan pertanda terbukanya pintu kebebasan di setiap sektor,
baik di bidang pendidikan seperti pesantren, sekolah maupun madrasah. Bergulirnya
globalisasi tampaknya terus akan beredar melalui media cetak maupun media
elektronik dan menimbulkan pengaruh bagi masyarakat umum. Terbukanya segala
akses secara bebas menjadi sebuah tantangan yang harus dibendung oleh dunia
pesantren terutama bagi santri yang berpondok maupun yang tinggalnya di asrama.
Tanpa memberikan pendidikan Islam secara mendalam bagi para santri maka besar
kemungkinan pondok pesantren akan mudah diterpa oleh derasnya arus globalisasi.
Namun sebaliknya, jika pendidikan Islam diberikan secara mendalam kepada santri
maka besar harapan santri akan mudah beradaftasi dengan dunia globalisasi. Membenahi
santri dengan ilmu secara luas telah dapat memberikan pemahaman tentang arus
globalisasi dengan benar. Pesantren dan globalisai akan mudah bersinergi dengan
baik melalui penguatan materi keagamaan secara mendasar ditambah dengan
diberlakukannya asrama pada pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Falsafah
Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Ali, Huda. Modernisasi
Pesantren, Cetakan ke-1, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama,
2007.
Azra, Azyumardi. Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Dhfier, Zamakhsari. Tradisi
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Cetakan Keempat, Jakarta:
LP3ES, 1985.
Engku, Iskandar. Sejarah
Pendidikan Islami, Cetakan Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
Harvey Harr dan Bruce
Russelt. World Politics: The Menu for Choice, New York: W. H. Freeman
& Company, 1985.
Muhammad, Ardison. Terorisme
Ideologi Penebar Ketakutan, Cetakan Pertama, Surabaya: Liris, 2010.
Muhi, Ali Hanpiah. Peluang dan Tantangan Globalisasi ,
Makalah: Juli, 2011.
Muhtarom, Reproduksi
Ulama di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Semiawan, Conny R. Dimensi
Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Setiawan, Iwan. Dampak Globalisasi terhadap Pertanian, Bandung:
t.p, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. Ketiga, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.
Tiwari, dan M. ChatuverdiB.N.,
A Practical Hindi-English Dictionary, Delhi: Rashtra Printers, 1970.
Wawancara dengan Ustaz
Roihan selaku Pimpinan Pondok Pesantren Roihanul Jannah yang beralamat di Maga
pada Hari Minggu, 27 Nopember 2016.
Wawncara dengan Ustaz
Ardabili selaku bidang kurikulum di PPMPB pada hari Minggu, 09 Oktober 2016.
Yasmadi, Modernisasi
Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisonal, Edisi
Revisi, Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Zada, Khamami. Intelektualisme
Pesantren, Cetakan Pertama, Jakarta: Diva Pustaka Jakarta, 2003.
[1]Khamami
Zada, dkk, Intelektualisme Pesantren, Cetakan Pertama (Jakarta: Diva
Pustaka Jakarta, 2003), h. 7-8.
[2]Huda
Ali dkk, Modernisasi Pesantren, Cetakan ke-1 (Jakarta: Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama, 2007), h. xii.
[3]Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III,
Cet. Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 866.
[4]Iskandar
Engku, Sejarah Pendidikan Islami, Cetakan Pertama (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), h. 115.
[5]
Zamakhsari Dhfier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Cetakan
Keempat (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18.
[6]M.
Chatuverdi dan Tiwari, B.N., A Practical Hindi-English Dictionary
(Delhi: Rashtra Printers, 1970), h. 627.
[7]Yasmadi,
Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisonal, Edisi Revisi (Ciputat: Ciputat Press, 2005), 59.
[8]Ardison
Muhammad, Terorisme Ideologi Penebar Ketakutan, Cetakan Pertama (Surabaya:
Liris, 2010), h. 117.
[9]Iwan
Setiawan, Dampak Globalisasi terhadap Pertanian ( Bandung: t.p, 2004),
h. 2.
[10]Bruce
Russelt, Harvey Harr, World Politics: The Menu for Choice (New York: W.
H. Freeman & Company, 1985), h. 500.
[11]Muhtarom,
Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
h. 97-98.
[12]Ali
Hanpiah Muhi, Peluang dan Tantangan Globalisasi (Makalah: Juli, 2011),
h. 2
[13]Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 11.
[14]Conny
R. Semiawan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), h. 113.
[15]M.
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), h. 144-145.
[16]Muhtarom,
Reproduksi Ulama, h. 96.
[17]Wawancara
dengan Ustaz Roihan selaku Pimpinan Pondok Pesantren Roihanul Jannah yang
beralamat di Maga pada Hari Minggu, 27 Nopember 2016.
[18]Hasil
wawncara dengan Ustaz Ardabili pada hari Minggu, 09 Oktober 2016.