Tuesday, August 20, 2019

PESANTREN DAN GLOBALISASI

IMG20150830094248.jpg
By:    Dr. Muhammad Roihan Daulay, M.A
Lecturel at IAIN Padangsidimpuan
Email: daulay


 PESANTREN DAN GLOBALISASI
Abstrak
Istilah globalisasi telah memberikan kebebasan bagi manusia di segala bidang. Hal ini ditandai dengan adanya transfaransi secara bebas tanpa ada batas-batas pemisah apapun sehingga perkembangan dunia informasi dan teknologi seperti media sosial telah memberikan tantangan bagi dunia pesantren. Dalam mengahadapi tantangan ini maka pesantren harus berupaya mendorong dan membekali diri guna mengahadapi arus globalisasi.

Abstrac

The term globalization has given liberty to man in all fields. It is characterized by the transfaransi freely without limits of any separator so that the development of information and technology such as social media has provided a challenge for the schools. In facing this challenge, the schools should seek to encourage and equip themselves in order to confront globalization.



A.    Pendahuluan
Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di nusantara sudah mulai berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara. Tokoh yang pertama kali yang mendirikan pesantren adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat, India sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa.[1] Berbicara mengenai pesantren tentunya tidak terlepas dengan perkembangan Islam yang ada pada saat sekarang ini. Jika kita lihat, bahwa saat ini pesantren telah mulai berkembang sesuai dengan kemajuan yang ada pada saat ini. Bahkan sebagai pesantren telah memiliki perguruan tinggi, dan telah melibatkan diri dalam persaingan yang ada saat ini. Di antaranya pesantren memiliki keterampilan dalam, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, koperasi, jahit menjahit, bordir.[2]
 Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin global menjadikan pesantren harus mampu untuk dapat menyahuti keadaan tersebut. Zaman globalisasi merupakan salah satu tingkat peradaban yang mesti dilalui. Informasi dan teknologi merupakan salah satu di antara pertanda telah masuknya istilah globalisasi, yang jauh bisa dekat dan yang dekat bisa menjadi jauh akibat semakin banyaknya teknologi yang dihasilkan oleh manusia. Bernajak dari derasnya arus globalisasi telah turut menjadikan pesantren ikut serta di dalam menghadapi zaman globalisasi yang serba singkat dan mudah.
Untuk melihat sejauh mana eksistensi pesantren dalam menghadapi arus globalisasi perlu ditelusuri bagaimana sebenarnya sikap pesantren dalam menghadapi zaman yang semakin global ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini perlu kembali melihat tantangan dan peluang yang dihadapi oleh dunia pesantren terhadap arus globalisasi melalui judul pesantren dan globalisasi.

B.     Pesantren dan perkembangannya
Pembicaraan tentang pesantren selalu memiliki dinamika tersendiri dalam dunia pendidikan Islam. Guna memahami pemaknaan tentang pesantren, maka berikut ini perlu dijelaskan dengan singkat apa sebanarnya pesantren. Dalam kamus bahasa Indonesia dituliskan bahwa pesantren adalah nama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji (pondok).[3]
Pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, di mana pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader kader Ulama atau Da’i.[4]
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa kajian tentang pesantren telah memiliki sejarah yang cukup panjang dan tua di Indonesia. Sehingga, keberadaan pesantren khususnya tradisional di Indonesia memiliki akulturasi tersendiri secara indigenous. Bahkan latar belakang lahirnya tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia juga tidak terlepas dengan keberadaan pesantren yang sangat tua. Katakan saja tokoh intelektual muslim sampai saat ini masih hidup seperti KH. Aqil Siraj (Pimpinan Pusat NU-saat ini), Dr. H. Ibrahim Siregar, MCL (Rektor IAIN Padangsidimpuan) Prof. Dr. Yasir (Mantan Rektor IAIN Sumatera Utara yang sekarang sudah menjadi UIN Sumatera Utara) merupakan tokoh-tokoh terkemuka yang dulunya pernah belajar di pesantren.
 Sejarah berdirinya lembaga pondok pesantren yang baru disebutkan di atas merupakan masa awal dari pembentukan para ustaz yang sampai saat ini telah banyak yang muncul sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di Tanah Air ini. Bahkan tidak heran, dengan adanya pesantren telah mencetak para cendikiawan muslim yang taat. Sebelum abad 60-an, pusat pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok ini barangkali berasal dari pengertian asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab funduq yang berarti hotel atau asrama.[5]
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg  berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah Shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata Shartra yang berarti buku buku suci, buku buku agama atau buku buku tentang ilmu pengetahuan.[6]
Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua di samping masjid. Selain itu pesantren ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran Quran dan Hadis dan merancang segenap kegiatan pendidikannya sebagai cara hidup (way of life).[7]
Dengan demikian pesantren telah jelas memiliki historitas yang tidak terlepas dari budaya bangsa Indonesia seperti adanya akulturasi agama hindu dengan adanya adopsi shastri. Shastri sendiri merupakan orang yang mengerti tentang kitab-kitab agama hindu sendiri. Sedangkan santri yang dipahami dalam dunia pesantren adalah mereka para santri yang mengert akan kitab-kitab kuning atau kitab-kitab klasik baik tentang tauhid, fiqh, tasawuf dan akhlak. Oleh karena itu, terdapat kesesuaian yang cukup menarik jika dilihat dari sudut pandang istilah-istilah yang ada dalam dunia pesantren itu sendiri. Hal ini juga sejalan dengan kekaguman seorang Orentalis Marthin Van Bruinessen. Ia mengatakan bahwa pesantren lewat halaqah dan bandongan sebagai sistem pengajaran dengan kurikulum yang lebih banyak mengkaji kitab kitab klasik (kitab kuning) yang diterapkan, adalah sebuah keunikan, keaslian sekaligus sebuah kehebatan, karena tidak goyah oleh terpaan zaman bahkan dipandang sebagai sesuatu yang unik dan luar biasa.[8]
Pesantren, dalam pandangan Martin adalah salah satu tradisi agung di Indonesia, yang mentransmisikan ajaran ajaran Islam (tradisional) sebagaimana yang terdapat dalam kitab kitab klasik yang ditulis berabat abat yang lalu dengan lima elemen dasar yang meliputinya, yaitu pondok, mesjid, santri, pengajaran kitab kitab Islam klasik dan kiyai sebagai pengelola sekaligus pengasuh utamanya.
Tak berlebihan kiranya jika keberadaan pesantren yang demikian besar perannya dalam sejarah bangsa dan menjaga tradisi pendidikan Islam tradisional, mendapatkan penghormatan dan keistimewaan dari pemerintah dan masyarakat, sebagaimana kekaguman dan kebanggaan Martin akan keberadaanya.
Jika dilihat dari sudut pandang historisnya, maka pesantren ini juga memiliki fungsi yang cukup banyak dalam kemerdekaan Indonesia. Peran mereka para pemuda adalah alumni pesantren telah banyak menorahkan sisi yang cukup berharga demi tegaknya keadilan dan keamanan. Para pemuda itu adalah Alumni dari berbagai pesantren terkemuka di Nusantara. Pesantren telah berabad abad sebelumnya membantu banyak pejuang di daerah dalam berperang melawan Belanda. Ikrar di atas merefleksikan adanya kesamaan jiwa dalam menghadapi penjajah yang notabene beragama lain. Pesantren konsisten menolak kerjasama dengan Belanda seperti ditunjukkan pendiri pesantren Tebuireng Hadratus Syekh KH. Hasyim As’ari yang menolak tawaran pengahargaan dan bantuan dari pemerintah Hindia Belanda.
Perkembangan pesantren mulai dari lahir hingga saat ini tetap memiliki peran yang banyak dalam mencerdaskan kualitas spritualitas anak bangsa di Indonesia. Oleh karena itu, pesantren dapat dipahami sebagai tempat para santri untuk menimba ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi dalam situasi saat ini khususnya di era atau zaman globalisasi, dunia pesantren mendapat peluang dan tantangan yang harus ditepis sehingga dunia pesantren harus mampu memiliki filterisasi secara benar. Filterisasi ini dilakukan guna menyahuti betapa banyaknya situasi atau kondisi yang jika tidak pandai dalam menjalankannya justru ketertinggalan, kebodohan, kemerosotan moral atau akhlaklah yang akan diterima. Hal ini disebabkan oleh semakin derasnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia khususnya di Indonesia.
Globalisasi merupakan bukti perkembangan peradaban manusia dalam pengejewantahkan ayat-ayat Allah swt secara nyata. Globalisasi memiliki dua sisi yang saling tarik menarik dalam kehidupan manusia. Globalisasi dapat memberikan pengaruh positif (peluang) dan pada sisi lain globalisasi dapat memiliki mudharat (ancaman) bagi manusia.

C.    Globalisasi
Istilah globalisasi diambil dari kata “global”. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia merupakan sebuah kontinuitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Dalam istilah yang senada, bahwa  globalisasi merupakan kontinum dari skenario idiologi dan mode kapitalisme liberal yang embrionya telah lama dicetuskan oleh Adam Smith. Efisiensi (profit maxization) adalah ruhnya, revolusi industri motornya, teknologi dan institutional finance internasional (GATT, WTO, IMF) adalah medianya, dan imperialisme/ kolonialisme awal perwujudannya. Pelaku utamanya adalah kaum borjuis (the big bourgeoisie), yakni Trans National Corporation (Althusser).[9] Tujuannya adalah melanggengkan dominasi dengan menghindari modus fisik melalui hegemoni, yakni dominasi (kolonialisme) perspektif dan ideologi yang berbasis produksi ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
Pada perkembangannya, hegemoni berkembang dari Merkantisilme ke berbagai aspek neo-kolonialisme (ekonomi, sosial, politik, dan budaya). Secara praktis historis-empiris, pen-Spanyol-an Amerika merupakan dasar globalisasi tahap pertama, lalu disusul dengan perang dingin (globalisasi idiologi).
Selanjutnya Marshall Mc. Luhas menyebutkan bahwa dunia yang diliputi kesadaran globalisasi ini (global village/ desa buana). Dunia menjadi sangat transparan sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu negara. Batas-batas suatu negara bisa menjadi kabur. Kaburnya dunia diakibatkan oleh perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sistem informasi satelit.[10]
Dari pengertian di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa istilah globalisasi yang bermula dari kemajuan yang terjadi di dunia industri khususnya di eropa. Perkembangan istilah ini akhirnya dapat berkembang sampai pada saat ini. Kemajuan teknologi merupakan pertanda bagi arus globalisasi tersebut karena tidak adanya pembendung atau pembatas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh semuanya sudah terbuka secara nyata. Berbeda dengan masa yang lalu, dimana manusia memiliki etika atau norma yang layak dijadikan sebagai aturan dan batas yang jelas. Bahkan, seorang murid masih enggan bertemu dengan gurunya. Namun, saat ini perkembangan yang terjadi memutus batas-batas yang telah ada sebelumnya. Santri, dapat berkomunikasi secara bebas kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Untuk itulah, sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa Islam maka pengaruh globalisasi harus memikirkan secara nyata tentang apa saja tantangan dan peluang yang bisa dimengerti oleh santri.  Oleh karena itu globalisasi menjadi tawaran bagi dunia pesantren untuk dapat melakukan sinergitas dengan cara-cara yang dapat diterima oleh pesantren itu sendiri.

D.    Peluang Globalisasi
Globalisasi di samping memiliki peluang yang cukup baik bagi dunia pendidikan pesantren juga menjadi tantangan yang cukup spektakuler. Peluang tersebut sangat memiliki kearifan bagi ajaran Islam. Oleh sebab itu, ajaran Islam memiliki relevansi dengan aspek-aspek globalisasi. Adapun aspek-aspek yang relevan dengan globalisasi adalah sebagai berikut:
Pertama: Globalisasi bersifat kompetitif mendorong umat berupaya secara sistemik untuk merespon pembangunan manusia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, baik fisik, intelektual maupun moral.
Sekalipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi dan telekomunikasi telah membuat dunia terasa seolah tanpa batas dan sekat, namun dalam hal ini Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk mencari perkembangan ilmu pengetahuan secara kaffah.
Kedua: kemajuan teknologi dan industry memberikan kemudahan-kemudahan dalam menyelenggarakan ibadah dan muamalah baik dalam memberikan peluang besar teradap pendidikan guna meningkatkan efektifitas proses belajar-mengajar.
Ketiga: era globalisasi memang ditandai dengan maraknya bisnis dan perdagangan tentunya memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan bisnis.
Keempat: globalisasi yang menawarkan produk-produk budaya global yang beraneka ragam, mendorong umat untuk bersifat selektif dengan prinsip memelihara budaya lama yang masih baik dan mengadopsi budaya baru yang sesuai dengan budaya sendiri.
Kelima: penemuan-penemuan sains di era globalisasi, lebih memotivasi umat untuk memberikan dasar religious, dan menunjukkan bahwa Islam tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keenam: keenam globalisasi menggugah gaya hidup umat yang homogeny agar menghargai tradisi dan nilai-nilai agama secara lebih mendalam. Individu maupun institusi agama yang secara sadar bergaya hidup homogeny akan mampu menjadi penyangga tradisi dan nilai-nilai budaya bangsa agar tidak mudah terlibas arus globalisasi.[11]
      Dari peluang di atas dapat dipahami bahwa dengan adanya kemajuan dalam berbagai bidang menjadikan manusia lebih giat untuk mempersiapkan diri untuk sampai pada yang lebih baik, baik dalam bidang sumber daya manusia, maupun secara spritualnya.
Demikian pula halnya kemajuan globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan telekomunikasi telah membuat hubungan komunikasi penduduk antar negara di berbagai belahan dunia menjadi semakin terbuka dan mudah. Seolah dunia ini kecil, orang dapat berkomunikasi setiap saat walaupun berada di belahan dunia dalam jarak yang amat jauh secara fisik, namun dengan kecanggihan alat komunikasi semuanya terasa dekat dan seolah tidak terpisahkan oleh tempat dan jarak yang berjauhan.[12]
Peluang di atas tentu merupakan salah satu bagian di antara peluang-peluang yang telah dikemukakan sebelumnya. Secara teori bahwa setiap perubahan itu pasti memiliki peluang yang positif dan peluang negative atau disebut dengan tantangan. Berikut ini merupakan tantangan yang dihadapi dalam dunia global.

E.     Tantangan Globalisasi
Sebutan globalisasi dapat pula dipandang sebagai suatu tantangan. Dalam konteks globalisasi sebagai tantangan merupakan cara pandang yang optimistis, dimana memandang globalisasi sebagai suatu yang menantang. Sesuatu yang menantang mengandung makna bahwa sesuatu tersebut harus disikapi dan dihadapi dengan barbagai upaya dan strategi.
Pendidikan yang bebas merupakan sebuah tantangan bagi kita disaat ini. Tantangan yang terkandung pada sistem pendidikan yang liberal adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan sebaik-baiknya setiap peluang untuk mengembangkan pesantren dan menghasilkan santri yang dapat bersaing dan dipergunakan dalam dunia secara internasional. Guna menghadapi tantangan tersebut, maka sumber daya manusia yang berkualitas (masyarakat dan kalangan dunia pendidikan di pesantren yang kreatif dan inovatif) sangat diperlukan untuk dapat memainkan peran sebagai pelaku aktif yang dapat bersaing atau bahkan keluar sebagai pemenang dalam persaingan global. Sumber daya manusia yang berkualitas juga sudah menjadi tuntutan dan keharusan untuk dapat menghadapi persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Untuk menangkap peluang-peluang yang diberikan oleh globalisasi, maka Azyumardi Azra memprediksikan bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam banyak hal didominasi ilmu pengetahuan. Dalam tataran praktis, teknologi adalah akan menentukan kemajuan masyarakat di masa kini dan mendatang.[13]
Ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi menunjukkan perkembangan spektakuler dengan banyaknya penemuan-penemuan baru, seperti bayi tabung, penetapan jenis kelamin, kloning, kemampuan mengobati leukemia, penggunaan sinar laser untuk mengurangi lemak pada pembuluh nadi, penciptaan kapal selam yang bebas dari intaian radar musuh, perkembangan computer dengan teknologi tinggi dalam menyongsong era informasi dan sebagainya sampai pada rekayasa genetika dalam pengembangan ilmu biologi.[14]
Amin Abdullah pun menyatakan hal yang sama. Kemajuan teknologi dan bio teknologi berhasil membuat perubahan-perubahan yang sangat spektakuler. Kemajuan di bidang pertanian, misalnya membuat kita terkesima, karena bidang pertanian ini mampu membudidayakan tomat di atas batu bukan di atas tanah yang konvensional. Penanamannya ini juga tidak lahi dengan lewat biji, tetapi lewat daunnya. Bahkan hasilnya pun dapat diperoleh empat ratus kg tomat dari hanya satu pohon.[15]
Berdasarkan temuan di atas dapat dipahami bahwa semua temuan tersebut tidak melanggar otonomi ilmu. Akan tetapi dalam segi pragmatiknya, temuan semacam itu masih dibatasi oleh hal-hal yang humanistic dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai moral di era globalisasi yang dimiliki oleh lingkungan sosial masih memiliki daya control yang kuat.
 Guna memahami hasil kenyataan dengan jelas, maka perlu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu bersaing dengan semua bangsa di dunia, maka semua komponen masyarakat terutama dunia pendidikan di tuntut perannya untuk meningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran khususnya pada pesantren.
Globalisasi tidak bisa ditolak atau dihindari, dia hadir seiring perkembangan peradaban manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menghadapinya dengan seksama, turut serta memainkan peran dalam setiap tantangan dan peluang yang tersedia. Oleh karena itu, bagi pesantren diharapkan dapat bersinergis sesuai dengan bidang masing-masing sehingga bisa berfastabiqul khairat dalam mencapai tujuan utama yakni selamat di dunia dan akhirat. Selain itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang tujuan utamanya untuk mencerdaskan manusia menjadi manusia yang memiliki ilmu secara kaffah serta dibarengi dengan akhlakul karimah dengan sendirinya harus tetap ikut di dalam memainkan peranannya masing-masing sehingga tidak digilas oleh kemajuan zaman.

F.     Solusi pesantren terhadap Arus Globalisasi
Setelah melihat pembahasan dunia pesatren dan globalisasi maka diharapkan di atas baik  penjelasan pada poin sejarah pesantren maupun tradisi pesantren itu sendiri, maka keberadaan pesantren harus mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi di era globalisasi. Memang sudah benar pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang sampai saat ini tetap mengajarkan akhlak yang mahmudah, tetapi di sisi lain pesantren juga harus mampu berkompetitif sebagai pemain utama dalam mengahadapi aruz globalisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Matuhu yang dipinjam dari Karl Mannheim yang melihat globalisasi sebagai suatu ideologi. Bagi Mastuhu globalisasi merupakan konsep atau proses tanpa henti yang tidak bisa dibendung atau ditolak. Bahkan globalisasi menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Sebagai proses, globalisasi akan mengalami tahapan-tahapan perkembangan yang pada tingkat tertentu mampu membentuk format sosial seluruh kehidupan manusia, baik politik sosial budaya ekonomi maupun bidang pendidikan.
Lanjut Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa globalisasi merupakan sebuah sistem simbiosis yang menunjukkan hubungan erat antara aspek-aspek dalam kehidupan. Interpendensi tidak hanya terbatas dalam satu wilayah saja, melainkan juga di dalam kehidupan di suatu negara dengan negara lain di dunia. Bahkan selanjutnya akan menimbulkan adanya akulturasi, kompetisi, bahkan kerjasama.kompetensi semacam ini akan melahirkan pemikiran untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.
Berdasarkan akan hal di atas, maka komunitas agama perlu untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat sehingga siap menghadapi perubahan, terutama perubahan yang ditimbulkan oleh globalisasi tersebut. Globalisasi dapat mempengaruhi wawasan dan cakrawala pikir santri pondok pesantren. Guna menghindari pengaruh negatif globalisasi, pesantren seharusnya menanamkan nilai-nilai agama Islam dan akhlak pada mereka dengan pertimbangan syariat.[16]
Untuk menunjang tercapainya penanaman akan nilai-nilai agama Islam tersebut maka paling tidak harus ada strategi yang diberikan sehingga para santri dapat mudah diarahkan hingga terwujudnya visi-misi pondok pesantren tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ustaz Roihan sebagai pimpinan Pondok Pesantren di Roihanul Jannah Maga mengatakan bahwa:
Pesantren disaat ini sebenarnya harus mulailah memikirkan tempat tinggal santri untuk belajar yang disebut dengan istilah asrama. Kenapa? Karena, pesantren saat sekarang sungguh jauh berbeda dengan pesantren di msa lalu. Pesantren di masa lalu masih identik dengan zamannya. Akan tetapi, di masa sekarang atau masa globalisasi ini pesantren itu sangat banyak dihadapkan dengan tantangan yang tidak menguntungkan. Adapun tantangan di masa globalisasi sekarang ini dapat ditandai dengan berkembangnya informasi dan teknologi. HP, sebagai media komunikasi, saran hiburan, bahkan bentuk-bentuk media sosial yang seperti wa, facebook, line, bbm, histogram, telah banyak memberikan sisi negative bagi masyarakat. Santri misalnya, bayangkan jika bentuk pondok dan tidak ada yang mengawasi ke pondoknya justru akan membuka peluang untuk mengakses tayangan yang tidak baik seperti nonton video sex melalui HP. Apalagi saat ini tayangan yang seperti itu sangat mudah cukup hanya mengisi paket data HP maka tontonan apapun yang diinginkan akan dapat diakses di pondok masing masing.  Untuk itulah sangat perlu diasramakan memiliki tawaran yang cukup baik bagi masa depan santri. [17]
Dari pendapat ustaz Roihan di atas sangat berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ayah Ardabili sebagai salah satu ustaz di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru ketika dijumpai penulis saat di Kantornya mengatakan bahwa:
Pondok pesantren kita sesungguhnya lembaga pendidikan Islam yang bertujuan untuk memberikan pembinaan terhadap santri. Oleh karena itu pesantren kita sampai saat ini tidak mewajibkan untuk asrama. Namun, pesantren kita diberikan pilihan sesuai dengan keinginan masing-masing santri. Hal ini disampaikan bahwa memang setiap perkembangan itu tidak terlepas dengan tantangannya baik yang bersifat cepat maupun lambat. Untuk itu, bagi kita para ustaz di pondok pesantren ini harus memberikan penguatan bagi santri melalui ilmu-ilmu yang dapat memperkuat ilmu tauhid santri. Sesuai dengan visi-misi pondok pesantren kita adalah untuk mendalami ilmu keislaman sebagai dasar dalam hidup dan penghidupan ini. misalnya jika sudah ditanamkan sifat ihsan dalam diri santri maka besar kemungkinan santri akan terhindar dari hal-hal yang merusak nilai moral mereka. Bahkan jatuh uang di jalan sekalipun mereka para santri yang sudah kuat ihsannya maka dia tidak akan mau untuk mengambil uang yang jatuh tadi.[18]
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam harus memiliki upaya dalam menghadapi arus globalisasi. Sekalipun pesantren dipahami oleh masyarakat awam sebagai lembaga yang hanya mengkaji persoalan agama Islam namun dalam pemikiran Islam yang luas maka pesantren harus bisa bersaing dengan situasi dan kondisi kemajuan yang ada pada saat ini. Munculnya pemikiran dalam menerima hal yang baru apalagi yang memiliki relevansi dengan ajaran Islam maka sudah sepantasnya pesantren bergerak menuju perubahan ke arah yang lebih baik sehingga globalisasi yang pada hari ini dihadapkan pada seluruh lapisan masyarakat bisa diterima dengan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang masing-masing.
Sekalipun santri dihadapkan dengan berbagai cobaan dalam pesantren, sebut saja seperti Handphone yang menjadi alat saluran komunikasi antara sesama manusia, juga dapat mengakses tontonan-tontonan yang tidak jelas seperti adanya pemutaran atau tayangan sex yang ada di media sosial seperti yang terdapat di tayangan yutub telah merusak moral dan nilai-nilai yang dihormati di masyarakat harus bisa diterima keberadaannya. Akan tetapi, pada sisi lain pihak pesantren harus mengimbanginya melalui materi keilmuan agama yang dapat membentengi akhlak santri sehingga tetap terjaga dan memiliki keistiqamahan dalam berbagai rintangan yang menghadang.
Selain solusi di atas, maka pesantren harus mampu memberikan perubahan secara mendasar. Adapun perubahan yang dimaksud seperti memberikan asrama bagi para santri guna mempermudah ustaz dalam mengkoordinir kegiatan santri. Kemudian,  tantangan globalisasi dapat ditepis dengan memperdalam ilmu-ilmu keislaman kepada santri.

G.    Kesimpulan

Globalisasi merupakan pertanda terbukanya pintu kebebasan di setiap sektor, baik di bidang pendidikan seperti pesantren, sekolah maupun madrasah. Bergulirnya globalisasi tampaknya terus akan beredar melalui media cetak maupun media elektronik dan menimbulkan pengaruh bagi masyarakat umum. Terbukanya segala akses secara bebas menjadi sebuah tantangan yang harus dibendung oleh dunia pesantren terutama bagi santri yang berpondok maupun yang tinggalnya di asrama. Tanpa memberikan pendidikan Islam secara mendalam bagi para santri maka besar kemungkinan pondok pesantren akan mudah diterpa oleh derasnya arus globalisasi. Namun sebaliknya, jika pendidikan Islam diberikan secara mendalam kepada santri maka besar harapan santri akan mudah beradaftasi dengan dunia globalisasi. Membenahi santri dengan ilmu secara luas telah dapat memberikan pemahaman tentang arus globalisasi dengan benar. Pesantren dan globalisai akan mudah bersinergi dengan baik melalui penguatan materi keagamaan secara mendasar ditambah dengan diberlakukannya asrama pada pesantren.










DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Ali, Huda. Modernisasi Pesantren, Cetakan ke-1, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Dhfier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Cetakan Keempat, Jakarta: LP3ES, 1985.

Engku, Iskandar. Sejarah Pendidikan Islami, Cetakan Pertama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Harvey Harr dan Bruce Russelt. World Politics: The Menu for Choice, New York: W. H. Freeman & Company, 1985.

Muhammad, Ardison. Terorisme Ideologi Penebar Ketakutan, Cetakan Pertama, Surabaya: Liris, 2010.

Muhi, Ali Hanpiah. Peluang dan Tantangan Globalisasi , Makalah: Juli, 2011.
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Semiawan, Conny R. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Setiawan, Iwan. Dampak Globalisasi terhadap Pertanian, Bandung: t.p, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Tiwari, dan M. ChatuverdiB.N., A Practical Hindi-English Dictionary, Delhi: Rashtra Printers, 1970.

Wawancara dengan Ustaz Roihan selaku Pimpinan Pondok Pesantren Roihanul Jannah yang beralamat di Maga pada Hari Minggu, 27 Nopember 2016.

Wawncara dengan Ustaz Ardabili selaku bidang kurikulum di PPMPB pada hari Minggu, 09 Oktober 2016.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisonal, Edisi Revisi, Ciputat: Ciputat Press, 2005.

Zada, Khamami. Intelektualisme Pesantren, Cetakan Pertama, Jakarta: Diva Pustaka Jakarta, 2003.




[1]Khamami Zada, dkk, Intelektualisme Pesantren, Cetakan Pertama (Jakarta: Diva Pustaka Jakarta, 2003), h. 7-8.
[2]Huda Ali dkk, Modernisasi Pesantren, Cetakan ke-1 (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. xii.
[3]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 866.
[4]Iskandar Engku, Sejarah Pendidikan Islami, Cetakan Pertama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 115.
[5] Zamakhsari Dhfier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Cetakan Keempat (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18.
[6]M. Chatuverdi dan Tiwari, B.N., A Practical Hindi-English Dictionary (Delhi: Rashtra Printers, 1970), h. 627.
[7]Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisonal, Edisi Revisi (Ciputat: Ciputat Press, 2005),  59.
[8]Ardison Muhammad, Terorisme Ideologi Penebar Ketakutan, Cetakan Pertama (Surabaya: Liris, 2010), h. 117.
[9]Iwan Setiawan, Dampak Globalisasi terhadap Pertanian ( Bandung: t.p, 2004), h. 2.
[10]Bruce Russelt, Harvey Harr, World Politics: The Menu for Choice (New York: W. H. Freeman & Company, 1985), h. 500.
[11]Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 97-98.
[12]Ali Hanpiah Muhi, Peluang dan Tantangan Globalisasi (Makalah: Juli, 2011), h. 2
[13]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 11.
[14]Conny R. Semiawan, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 113.
[15]M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 144-145.
[16]Muhtarom, Reproduksi Ulama, h. 96.
[17]Wawancara dengan Ustaz Roihan selaku Pimpinan Pondok Pesantren Roihanul Jannah yang beralamat di Maga pada Hari Minggu, 27 Nopember 2016.
[18]Hasil wawncara dengan Ustaz Ardabili pada hari Minggu, 09 Oktober 2016.