TRADISI MARPEGE-PEGE PADA MASYARAKAT TAPANULI SELATAN
Dr. Muhammad RoihanDaulay, M.A
Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan
Email: daulaymuhammadroihan@gmail.com
|
TRADISI
MARPEGE-PEGE PADA MASYARAKAT TAPANULI SELATAN
Abstrak
Tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat tradisi marpege-pege
pada masyarakat Tapanuli Selatan. Penelitian ini akan mengungkap tradisi marpege-pege sebagai suatu bagian yang
tidak bisa terlepas dari bumi dalihan na
tolu (tungku yang tiga) . Metode penelitian ini adalah kualitatif dan
pendekatan deskriptif. Hasil penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan tradisi marpege-pege di Kecamatan Batang
Angkola, Kecamatan Sayurmatinggi berjalan secara dinamis. Kedinamisan tersebut
dapat dilihat dari adanya yang tetap melaksanakan seperti biasa, dan ada juga
yang sudah dirubah seperti yang terdapat di Desa Sipange, dan ada
juga yang sudah tidak diterapkan lagi seperti di Kelurahan Sigalangan tepatnya
di lingkungan I.
Kata kunci:
Tradisi, marpege-pege, Masyarakat Tapanuli Selatan
Abstract
The purpose of
this study is to see the tradition of marpege-pege
on the people of South Tapanuli. This study will uncover the tradition of marpege-pege as a part that cannot be
separated from the earth of dalihan na
tolu (three stoves) . This
research method is qualitative and descriptive approach. The results of this
study are that the implementation of the marpege-pege
tradition in Batang Angkola District, Sayurmatinggi District runs dynamically.
The dynamism can be seen from the existence of those who continue to carry out
as usual, and there are also those that have been changed such as those in
Sipange Village, and there are also those that have not been implemented again
like in the Sigalangan Village in I.
Keyword: Tradition,
marpege, Society of South Tapanuli
Pendahuluan
Tradisi
yang dilahirkan oleh manusia adalah adat istiadat, yakni kebiasaan namun lebih
ditekankan kepada kebiasaan yang bersifat suprantural yang meliputi dengan
nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari.[1]
Tradisi yang ada dalam suatu komunitas ini merupakan hasil turun temurun dari
leluhur atau dari nenek moyang.
Tradisi
juga merupakan bahagian dari budaya yang senantiasa dilaksanakan oleh masyrakat
secara turun-temurun. Marpege-pege
(tradisi mengumpulkan uang dan bisa juga diartikan dengan kegiatan saling
tolong-menolong bagi keluarga calon mempelai pria baik secara materil maupun
non-materil) merupakan suatu bahagian dari tradisi lokal Tapanuli Selatan. Adanya akulturasi budaya telah menghasilkan
pengaruh serta nilai-nilai yang khas di Indonesia.[2] Guna
mengetahui lebih lanjut tentang tradisi marpege-pege
maka berikut ini akan dijelaskan tentang konsep tradisi dan marpege-pege tersebut sehingga akan lebih mudah untuk
memastikan realitas tradisi marpege-pege
khususnya di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Pembahasan
1.Pengertian Tradisi
Dilihat
pada pembentukan kata bahwa budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi
berarti akal, kecerdikan, kepintaran dan kebijaksanaan, sedangkan ‘daya’
memiliki arti ikhtiar, usaha atau muslihat.[3]
Istilah budaya menurut Dedi Supriyadi mengatakan bahwa budaya (culture) dapat dipahami sebagai
pembangunan yang didasarkan atas kekuatan manusia, baik pembangunan jiwa,
pikiran dan semangat melalui latihan dan pengalaman, bukti nyata pembangunan
intelektual seperti seni dan pengetahuan. Dengan demikian secara sederhana,
dapat dipahami bahwa, kebudayaan merupakan segala sesuatu hasil karya, rasa dan
cipta masyarakat.[4]
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan
manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Perasaan yang terdiri dari jiwa
manusia, mewujudkan segala kaedah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk
mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Sedangkan cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup
bermasyarakat, antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi diartikan dengan suatu adat
kebiasaan secara turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat.
Selain hal di atas, tradisi juga dapat dipahami
sebagai suatu Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan
yang paling baik dan benar.[6] Istilah tradisi,
yang berasal dari
kata bahasa Inggris tradition, sering
juga disamakan dengan
lafaz bahasa Arab ‘adah.
Istilah ini dipergunakan
untuk menunjuk desain
atau pola perilaku dan kegiatan
tertentu menurut standar baku
dalam bidangnya masing-masing yang sering dilakukan oleh masyarakat.
Lanjut
dikemukakan oleh Agung Setiyawan dalam tulisannya yang mengatakan bahwa
kearifan lokal yang ada dalam suatu masyarakat merupakan sebuah adat/tradisi
yang sudah mengakar kuat dan berpengaruh terhadap kehidupan keseharian
masyarakat setempat.[7]
Berdasarkan
keterangan depenisi di atas dapat dipahami bahwa tradisi merupakan suatu
bahagian dari budaya yang telah turun-temurun serta dijalankan oleh masyarakat
berupa adanya hasil karya, cipta, karsa manusia dalam suatu masyarakat. Dalam
hal ini marpege-pege termasuk
bahagian dari budaya yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan.
2.Pengertian marpege-pege
Secara
bahasa marpege-pege adalah suatu
tradisi markumpul hepeng (mengumpulkan uang) yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk membantu calon suami menyediakan mahar (uang) yang telah ditetapkan pihak
perempuan[8]. Barkah
Hadamean Harahap menjelaskan bahwa istilah marpege-pege
tersebut adalah merupakan suatu alat komunikasi guna mengumpulkan warga untuk
dapat bertemu dalam suatu agenda adat.[9]
Secara
prinsipil, bahwa marpege- pege
merupakan hasil budaya masa lalu yang sudah turun-temurun yang dianggap sebagai
suatu nilai, aturan, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat. Hal
semacam ini sering disebut dengan istilah, patik,
uhum, ugari.[10]
Ketiga aspek ini baik sehingga patut secara terus-menerus dijadikan sebagai views of life (pandangan hidup). Tradisi
marpege-pege ini juga adalah hasil
dari pemikiran para pendahulu di wilayah Tapanuli Selatan sehingga menjadi
suatu cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai
persoalan hidup dalam berbagai iklim sosial yang secara dinamis[11].
Berdasarkan
konsep di atas dapat dipahami bahwa marpege-pege
merupakan suatu tradisi yang telah ada sejak sekian lama. Tradisi ini menjadi
sebuah sarana untuk saling bertemu, membantu anggota masyarakat secara bersama
khususnya bagi kaum lelaki yang akan menikah. Seperti halnya yang dikatakan
oleh Bahraini Lubis sebagai Tokoh Adat di Tapanuli Selatan mengatakan bahwa:
Marpege-pege itu berasal dari bahasa Tapanuli Selatan
yaitu pege yang bermakna jahe. Jika
dilihat dari kacamata filosofis pege (jahe), maka pege rasanya pedas dan biasa digunakan untuk membuat minuman
bandrek. Minuman bandrek ini juga akan ikut terasa pedas apabila dicicipi
dengan lidah.[12]
Beranjak
dari filosofi tersebut, maka sepedas apapun kehidupan ini haruslah dirasakan
oleh setiap manusia. Artinya manusia sebagai anggota masyarakat sudah
sepantasnya turut dalam memberikan rasa kebersamaan terhadap anggota masyarakat
lainnya yang sedang membutuhkan bantuan baik secara materil maupun secara
pikiran. Oleh karena itulah, tradisi marpege-pege
sangat identik dengan mengumpulkan hepeng
(uang) untuk diberikan kepada pengantin
pria yang akan mangalap boru
(menjemput pengantin wanita). Untuk mengetahui apa saja tujuan marpege-pege
dapat dijelaskan pada penjelasan berikut.
3.Tujuan marpege-pege
Tujuan
marpege-pege sebagai sebuah tradisi
ternyata memiliki tujuan yang sangat menarik. Adapun tujuan marpege-pege adalah sebagai berikut. Pertama, jika dilihat dari sudut
filosofi bahwa marpege-pege tersebut
berasal dari pege. Sedangkan pege dalam bahasa Angkola dimaknai
dengan jahe. Oleh karena itu, jahe tersebut rasanya pedas. Pedasnya jahe atau pege memberikan tamsilan (perumpamaan) kepada masyarakat bahwa setiap manusia pasti
akan merasakan betapa pedasnya hidup ini. Misalnya ekonomi yang sangat sulit
menjadi gambaran pada manusia untuk bisa dibantu melalui acara marpege-pege (mengumpulkan duit). Oleh karena itu, tujuan marpege-pege dalam hal ini adalah untuk
membantu masyarakat yang hendak menjemput pengantin wanita untuk dinikahi. Kedua, jika dilihat dari sudut pandang agama, maka marpege-pege bertujuan untuk menolong
dalam kebenaran sebagaimana firman Allah swt pada Alquran Surat Al-Maidah ayat
2 yang artinya:
Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.[13]
Berdasarkan
ayat di atas dapat dipahami bahwa marpege-pege
merupakan bentuk solidaritas yang dapat membantu siapapun yang akan menikah.
Oleh karena itu, sekali lagi dalam pandangan agama Islam bahwa tujuan marpege-pege adalah dapat membantu beban
orang lain yang sedang membutuhkan dana dalam menjalankan pernikahannya. Rasulullah
dalam hadisnya menyampaikan bahwa:
Perumpamaan kaum
mukminin dalam cinta-mencintai, sayangmenyayangi dan bahu-membahu, seperti satu
tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya
yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.[14]
Indahnya
tradisi (tradition) tolong-menolong,
saling peduli dan saling membantu saudaranya sangatlah dirasakan oleh
masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan, salah satu bentuk wujud tolong-menolong
tersebut adalah adanya tradisi marpege-pege
yang sudah sangat membudaya dan selalu eksis selama bertahun-tahun lamanya.
Tradisi martahi (musyawarah) ini
adalah tradisi yang dilakukan pra pesta pernikahan yang dilakukan oleh warga
dan masyarakat setempat, biasanya dalam tradisi marpege-pege Kabuapten Tapanuli Selatan, keluarga dari pihak
pengantin laki-laki mendatangi berbagai daerah dan kampung terdekat, dengan
maksud untuk mengundang mereka agar hadir dalam acara marpege-pege. Tradisi Martahi ini adalah kegiatan yang dilaksanakan
oleh masyarakat (orang tua yang hendak menikahkan anaknya), dengan cara
mengundang seluruh koum (kirabat), teman sejawat dan anggota masyarakat desa
terdekat dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang yang akan dipergunakan
untuk keperluan dana pernikahan tersebut.
Selanjutnya
pada daerah yang lain istilah marpege-pege ini disebut juga dengan istilah martahi.[15]
Martahi pasahat karejo adalah suatu tradisi musyawarah
yang dilaksanakan oleh pihak keluarga dan masyarakat setempat yang mewajibkan semua pastak-pastak ni parhutaon (elemen
masyarakat) yang terlibat dalam suatu acara.
4.Manfaat marpege-pege
dengan si miskin. Hubungan
timbal baik yang tidak bisa dipisahkan ini terus berjalan pada setiap lini
kehidupan manusia sesuai dengan tempat di mana mereka tinggal. Kabupaten
Tapanuli Selatan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki tradisi lokal
atau yang sering disebut dengan marpege-pege.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa marpege-pege menjadi suatu tradisi lokal yang sesuai dengan ajaran
Islam. Dalam tradisi ini terdapat sejumlah nilai yang bisa dicontoh oleh daerah
lain. Sebagai tradisi lokal, marpege-pege
ini juga memiliki manfaat bagi masyarakat luas. Di antaranya adalah, bahwa
dengan kegiatan ini maka masyarakat akan terbantu secara ekonomi. Selain itu, marpege-pege juga akan dapat memuluskan
pekerjaan yang beratt akan terasa ringan.
Selanjutnya
pada masyarakat Sipirok misalnya,
istilah marpege-pege ini tidak
dikenal. Mereka hanya mengenal istilah Martahi
(nama acaranya) sedangkan martuppak (memberikan uang kepada keluarga pengantin
pria).[16]
Namun, walapun demikian istilah martahi ini pada hakikatnya memliki kesamaan
jika dilihat daru subtansinya. Marpege-pege
dan martahi[17]
adalah dua hal tradisi yang bertujuan untuk memudahkan urusan pengantin pria
yang akan menikah baik secara materil maupun non-materil.
Metode penelitian
Penelitian
ini adalah penelitian kualitatif pendekatan deskriptif. Penelitian ini
dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan menetapkan tiga kecamatan
sebagai lokasi penelitian. Adapun ketiga lokasi tersebut adalah Kecamatan
Batang Angkola, Kecamatan Sayurmatinggi, Kecamatan Angkola Muaratais.
Hasil dan pembahasan
1. Kecamatan Batang Angkola
Pelaksanaan
marpege-pege di Kecamatan Batang
Angkola di satu sisi masih tetap diperhatahankan. Seperti yang dikemukakakn
oleh Bahraini Lubis yang menyatakan bahwa:
Marpege-pege adalah suatu tradisi di huta (desa) kita ini. Dengan tradisi marpege-pege ini dapat menciptakan
suasana saling melengkapi antara satu pihak dengan pihak lain.[18] Kegiatan
ini dapat menumbuhkan ikatan persaudaraan dalam bermasyarakat. Dalam kegiatan
ini terdapat musyawarah secara bersama-sama oleh pastak-pastak ni parhutaon (elemen masyarakat) mulai dari kahanggi, anak boru dan mora suhut.
Setelah
melakukan analisis terhadap wawancara tersebut, maka dapat dipahami bahwa
tradisi marpege-pege di Kecamatan
Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan sampai saat ini tetap berjalan dengan
baik sesuai dengan tradisi yang dilakukan oleh para tokoh-tohoh adat terdahulu.
Istilah marpege-pege ini ternyata
tidak ditemukan di daerah sipirok dan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Asep safa’at sebagai warga Parsuluman Kecamatan Sipirok Dolok Hol yang
mengatakan bahwa:
Di desa
parsulumun tidak pernah didengar istilah marpege-pege
ini. Namun, perlu saya jelaskan bahwa setiap orang yang akan menjemput pengantin
wanita, maka diselenggarakanlah acara martahi.
Acara martahi ini adalah suatu tradisi lokal yang ada di Kabupaten Tapanuli
Selatan. Acara ini akan dihadiri oleh semua elemen masyarakat yang agenda
pertemuan tersebut adalah untuk membicarakan tentang mangalap boru (menjemput pengantin wanita). Biasanya yang hadir
hanya barisan kahanggi saja ditambah dengan pastak-pastak ni parhutaon (mora, kahanggi, anak boru).[19]
Berasarkan
beberapa keterangan dari informan di atas dapat dipahami bahwa pelaksanaan marpege-pege tersebut dilakukan dengan
aturan sebagai berikut. Pertama, semua unsur keluarga terdekat akan mengadakan
musyawarah kecil hanya bagi keluarga kecil saja seperti ayah, ibu, dan anak.
Pertemuan ini disebut dengan pokat sabagas (musyawarah
satu rumah). Musyawarah ini akan membicarakan tentang siapa saja hatobangan dan
unsur-unsur yang akan diundang, seterusnya disampaikanlah undangan kepada
seluruh masyarakat dengan mengumumkannya di masjid. Tiba pada harinya, maka
semua masyarakat yang berkesempatan hadir akan berkumpul di rumah suhut (punya pesta). Acara selanjutnya
adalah berbicaralah suhut yang dipersilahkan oleh orang kaya (moderator atau pemandu acara adat) untuk menyampaikan
apa hajatan kenapa diundang. Akhirnya suhut sihabolonan akan menyampaikan
semua maksud dan tujuan, termasuk
membicarakan tentang anaknya laki-laki yang akan melangsungkan pernikahan maka
dari itu kiranya semua hadirin dapat memberikan bantuan baik secara materil
(memberikan uang sumbangan) maupun non-materil (tenaga, pikiran) guna
mensukseskan acara yang dimaksud. Acara ini biasanya akan dihadiri oleh seorang
raja panususnan, hatobangon, alim ulama, pemerintahan desa, guna memberikan
legitimasi atas hajatan tersebut serta memberikan penguatan dalam acara
marpege-pege tersebut. Inilah secara ringkas pelaksanaan marpege-pege yang
sampai saat ini masih dilaksanakan di Kecamatan Batang Angkola.
Akan
tetapi perlu disampaikan juga bahwa, di antara sekian desa di Kecamatan Batang
Angkola, maka terdapat juga sebagai temuan di Sigalangan bahwa istilah marpege-pege sudah tidak diterapkan
lagi. Hal ini dapat dilihat bahwa ketika
mangalap boru adalah dimana pihak keluarga laki-laki menjeput pihak perempuan
sesuai kesepakatan yang telah dijanjikan. Perkawinan dengan corak dipabuat
harus direstui oleh kedua orang tua baik lelaki maupun dan perempuan telah
dibicarakan secara adat terlebih dahulu. Hal ini berarti bahwa simempelai
perempuan berangkat dari rumah orang tuanya setelah selesai urusan adat dan
horja, baik upacara adat besar maupun kecil yang disesuaikan dengan kemampuan
orang tua si mempelai perempuan. Perkawinan dengan dipabuat merupakan corak
yang saat dianjurkan dimana pihak laki-laki dan perempuan sama-sama merestui
perkawinan tersebut. Seperti di kelurahan Sigalangan acara mangalap boru yang
pertama dilakukan adalah melamar/manulak sere dan tradisi adat/pesta
pernikahan. Selanjutnya di kelurahan Sigalangan ini tidak ada lagi istilah marpege-pege.[20]
Foto Bersama Kepling
I Kelurahan Sigalangan
Kecamatan Batang
Angkola Pada Tanggal 3 Juli 2019.
2. Kecamatan Sayurmatinggi
Adapun
pelaksanaan marpege-pege di Kecamatan Sayurmatinggi sampai saat ini masih tetap
dilaksanakan dengan formulasi biasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manan
Pulungan sebagai Hatobangon di Desa Aek Badak Julu mengatakan bahwa:
Tadisi
marpege-pege ini sampai saat ini masih terus dilaksanakan di Aek Badak Julu
ini. Kegiatan ini tetap diumumkan di Masjid Nurussa’adah Desa Aek Badak Julu
Kecamatan Sayurmatinggi. Maka semua masyarakat akan berkumpul di rumah yang
memiliki hajat atau pesta pernikahan dalam hal ini (rumah pengantin pria).
Setelah semua berkumpul, barulah orang
kaya (moderator atau pembawa acara adat di Kabupaten Tapanuli Selatan)
memulai acara demi acara. Kebiasaan marpege-pege di Aek Badak tetap memasak
pulut sebagai makanan untuk dikonsumsi pada acara marpege-pege tersebut. Perlu
disampaikan bahwa acara marpege-pege ini hanya dilksanakan di rumah pengantin
pria saja dan tidak dilaksanakan di tempat pengantin perempuan.[21]
Berdasarkan
hasil wawancara tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan marpege-pege di Kecamatan Sayurmatinggi sampai saat ini tetap masih
dilaksanakan.
Adapun
pelsanaan marpege-pege tersebut
adalah dimana keluarga yang akan menjemput boru (pengantin laku-laki) akan
mengadakan musyawarah dengan istilah mangan
sipulut (makan pulut disertai dengan kelapa yang dicampur dengan gula
merah) sebagai pertanda aka nada acara marpege-pege
yang diadakan di malam hari.
Sekalipun
pada daerah lain sudah ada yang merubah makanannya namun masakan yang akan
dikonsumsi di kecamatan Sayurmatinggi tetap mempertahakan sipulut (pulut) sebagai ciri khas yang menggambarkan betapa
lengketnya pulut tersebut. Karena dengan makan pulut ini diharapkan semua
elemen masyarakat akan betul-betul ikut dalam mensukseskan acara mangalap boru
(pengantin wanita) tersebut. Begitu juga halnya dengan Desa Aek Badak Jae,
Kelurahan Sayurmatinggi semuanya tetap menjalankan acara marpege-pege sebagai suatu tradisi masyarakat yang akan menjemput boru (pengantin wanita).
Selanjutnya,
hasil perbincangan dengan salah seorang hatobangon
(pengemuka adat di sipange) yang benama Pamosuk Pulungan[22] telah
menjelaskan bahwa acara marpege-pege
tersebut masih sangat dilematis. Namun, sebelum membicarakan tentang marpege-pege perlu saya jelaskan sedikit tentang aturan mangalap
boru. Karena mangalap boru inilah yang menjadi awal munculnya istilah marpege-pege. Mangalap boru yaitu acara mempelai laki-laki. Selain di rumah mempelai
perempuan, di rumah mempelai laki-laki juga memiliki beberapa susunan acara.
Adapun susunan acara, yaitu:
1) Mananya
calon pengantin wanita, yaitu melamar calon mempelai
perempuan yang dihadiri oleh calon mempelai laki-laki dan kahanggi.
2) Patobang hata (menunjukkan
keseriusan) kepada
keluarga si calon mempelai wanita, yaitu setelah
melamar selanjutnya adalah bertanya untuk kedua kalinya atau memastikan jawaban
dari calon mempelai perempuan, ini dihadiri oleh keluarga perempuan, kahanggi,
dan anak boru.
3) Pataru hepeng
sahatan,
(mengantarkan mahar/uang) yaitu mengantar
uang mahar ke rumah mempelai perempuan. Acara ini dihadiri dari kaum mempelai
laki-laki yairu kahanggi, anak boru, hatobangaon dan begitu juga dari kaum
mempelai perempuan.
4) Mangalap boru, yaitu pesta untuk menjemput mempelai perempuan. Sebelum
berangkat masih ada acara “Kobar adat”,
yaitu memberikan nasihat kepada rombongan “pangalap boru”. Adapun rombongannya
adalah kahanggi, anak boru, hatobangon, bayo pangoli (pandongani), dan nauli
bulung.
5) Manjagit boru, yaitu menyambut kedua mempelai. Biasanya mereka akan
disambut di depan pintu dengan membuat “kulit pisang dengan beras dan bungan dingin-dingin (suatu kulit
batang pisang yang di dalamnya diletakkan berbagai macam bunga) di atasnya” untuk di injak oleh mempelai perempuannya.
Dan di tabur dengan beras kuning.
6) Malehen mangan,
(memberi makan) setelah di sambut kedua mempelai akan di beri makan nasi
oleh-oleh yang dibawa oleh rombongan. Yaitu nasi dengan telor, satu ekor ayam
yang sudah digulai dan dipotong-potong yang dibungkus oleh daun pisang dan kain
“bugis”(nama kain adat) serta diberi “jagar-jagar”(symbol adat) diikatkan di atasnya.
7)
Acara ini dihadiri
oleh kahanggi, anak boru, hatobangon,
harajaon, dan rombongan “pangalap
boru”(penjemput
boru).
Lanjut
dijelaskan oleh Pamosuk Pulungan[23]
yang memberikan gambaran bahwa:
Marpege-pege di Desa Sipange ini sebenarnya tetap
kita laksanakan sesuai dengan kebiasaan di desa ini. Tujuannya adalah untuk
membantu pihak suhut dalam menikahkan anaknya dengan wanita atau calon mempelai
wanita yang jauh maupun dekat. Sehingga, keluarga yang akan menjemput ini
sebenarnya bermaksud untuk dibantu sesuai dengan kemampuan semua anggota
masyarakat. Hanya saja kalau di Desa Sipange ini sekarang sudah diperkecil
ranahnya. Sehingga kalaupun ada yang marpege-pege tersebut itu hanya antar kahanggi (Keluarga dekat saya) saja.
Sedangkan secara kolektif ini sudah tidak diterapkan lagi. Untuk itu, besar
harapan jika dikembalikan ke cara semula. Dimana Seluruh masyarakat terlibat
dalam hal marpege-pege ini, sehingga masalah yang berat akan terasa ringan,
masalah yang sedikit akan terasa banyak jika dilakukan dengan pola kebersamaan.
Berdasarkan
dari penjelasan di atas bahwa tradisi marpege-pege
tetap dijalankan dengan baik meskipun hanya sebatas keluarga terdekat. Namun,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh beliau bahwa tardisi marpege-pege secara universal kiranya
bisa terwujud kembali di Desa Sipange Kecamatan Sayurmatinggi dengan alasan bahwa
jika dilakukan dengan bersama-sama secara banyak orang maka masalah itu akan
semakin mudah diselesaikan dan jika uang yang dibutuhkan itu masih sedikit maka
akan terasa mudah jika bersama-sama ditanggung.
Foto Bersama
Pamosuk Pulungan
Kecamatan
Sayurmatinggi pada
tanggal, 23 Maret 2019.
Penutup
Tradisi
marpege-pege dulunya menjadi suatu tradisi lokal di Tapanuli Selatan. Tradisi
ini pada akhirnya mengalami perubahan secara dinamis. Adapun Pelaksanaan marpege-pege di satu sisi tetap berjalan
seperti di Desa Pintupadang Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli
Selatan. Namun pada sisi yang lain bahwa kegiatan marpege-pege ini sudah tidak
dilaksanakan lagi. Hal ini sesuai dengan pengakuan Kepling I Kelurahan Sigalangan.
Sedangkan pelaksanaan marpege-pege di Desa Aek Badak Julu, Jae dan Kelurahan
Sayurmatinggi masih tetap dilaksanakan seperti mana biasanya. Hanya saja untuk
Desa Sipange tetap dilaksanakan dengan cara yang berbeda dimana yang diundang
hanya sebatas keluarga dekat saja dalam dalam bahasa angkola disebut dengan sa
kahanggi (hanya keluarga pihak ayah dan ibu saja. Dengan demikian dalam
penelitian ini menemukan sebuah temuan baru dimana adanya perubahan secara
dinamis baik itu dalam bentuk pelaksanaan maupun terjadinya perubhan secara
total bahkan hilangnya tradisi marpege-pege tersebut. Untuk itu, penulis
memberikan suatu masukan berupa saran kepada peneliti berikutnya agar
penelitian seperti ini dilanjutkan pada sisi normartif, historis dan
sebagainya.
Daftar Pustaka
Sumber Jurnal:
Robi Darwis, ‘TRADISI NGARUWAT BUMI DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kampung Cihideung Girang Desa Sukakerti Kecamatan
Cisalak Kabupaten Subang)’, Religious:
Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya, 2.1 (2017), 75–83
<file:///C:/Users/User/Downloads/2361-6148-1-PB.pdf>.
DOFARI, ‘PENGARUH BUDAYA NUSANTARA TERHADAP
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ISLAM DI INDONESIA’, Fitrah, 04.2 (2018), 283–96 <https://doi.org/:
ttp://dx.doi.org/10.24952/fitrah.v4i2.947>.
Buhori, ‘ISLAM DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA’, Al-Maslahah, 13.2 (2017), 229–46
<file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI MARPEGE-PEGE/926-2551-1-SM.pdf>.
Setiyawa Agung, ‘BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA:
Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam’, Esensia,
XIII.2 (2012), 203–21 <file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI
MARPEGE-PEGE/738-1212-1-PB.pdf>.
Puji Kurniawan, ‘MEMAHAMI PERTAUTAN AGAMA DAN BUDAYA
STUDI TERHADAP TRADISI MARPEGE-PEGE DI BATAK ANGKOLA Oleh Puji Kurniawan Dosen
Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan’, Yurisprudentia, 2.2 (2016), 35–53
<http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/yurisprudentia/article/view/670>.
Barkah Hadamean Harahap, ‘Urgensi Media Rakyat Di Kota
Padangsidimpuan Dan Tapanuli Bagian Selatan (Perspektif Sistem Komunikasi)’, Hikmah, VI.01 (2012), 97–109
<http://repo.iain-padangsidimpuan.ac.id/205/1/Barkah Hadamean
Harahap1.pdf>.
Heri Aisyah, Siti & Effendi, ‘Bentuk Revitalisasi
Tradisi Marpege-Pege Masyarakat Benteng Huraba Tapanuli Selatan Pada Era
Globalisasi’, Jurnal Education and
Development STKIP Tapanuli Selatan, 7.1 (2017), 56–62.
Muhammad
Bin Ismāīl Bin Ibrāhīm Bin al-Mughīrah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari, Ṣahīh
al-Bukhārī (Beirūt: Dār Ibnu Katsīr, 2002) No. 6011), Lihat juga pada
Muslim, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj Bin Muslim Bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi.
Ṣahīh Muslim (Mesir: Dār Taybah, 2006) No. 2586, Ahmad bin hanbal, Musnad
al-Imam Ahmad Bin Hanbal (Beirūt: Yayasan ar-Risālah, 2009) jilid IV, h. 270.
Irham Dongoran, ‘TINJAUAN HUKUM ISLĀM TERHADAP TRADISI
MARTAHI DALAM PERNIKAHAN SUKU BATAK DI KECAMATAN DOLOK’, Jurnal WARAQAT, II.1 (2017), 66–82
<http://assunnah.ac.id/ejournal/uploads/jurnal/2vol1/4.pdf>.
Sumber
Buku:
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sumber
Wawancara:
Pamosuk Pulungan, Wawancara,
pada Tanggal, 23 Maret 2019.
Manan
Pulungan, Wawancara, Pada Senin, 1
Juli 2019 Pukul 10.30 Wib.
Asep Safa’at, Wawancara, Pada hari Selasa, 23 Juli 2019 Pukul 11.38 Wib.
Pauji
Rahmad (Hatobangon), Miswaruddin (Alim
Ulama), Hamli Sitompul (Kepling I)
Kelurahan Sigalangan Kecamatan Batang Angkola, Wawancara, Pada hari Rabu, 3
Juli 2019 Pukul 14. 20 Wib.
Bahraini
Lubis (Tokoh Adat Tapanuli Selatan), Wawancara
pada Hari Rabu, 20 Februari 2019. Pukul 14.00 Wib.
[1]Robi
Darwis, ‘TRADISI NGARUWAT BUMI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Deskriptif
Kampung Cihideung Girang Desa Sukakerti Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang)’, Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan
Lintas Budaya, 2.1 (2017), 75–83
<file:///C:/Users/User/Downloads/2361-6148-1-PB.pdf>.
[2]DOFARI,
‘PENGARUH BUDAYA NUSANTARA TERHADAP IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ISLAM DI
INDONESIA’, Fitrah, 04.2 (2018),
283–96 <https://doi.org/: ttp://dx.doi.org/10.24952/fitrah.v4i2.947>.
[3]Buhori,
‘ISLAM DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA’, Al-Maslahah,
13.2 (2017), 229–46 <file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI
MARPEGE-PEGE/926-2551-1-SM.pdf>.
[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h. 16.
[5]Supriyadi, Sejarah Peradaban…, h. 18.
[6]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 1543.
[7]Setiyawa
Agung, ‘BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam
Islam’, Esensia, XIII.2 (2012), 203–21
<file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI MARPEGE-PEGE/738-1212-1-PB.pdf>.
[8]Puji
Kurniawan, ‘MEMAHAMI PERTAUTAN AGAMA DAN BUDAYA STUDI TERHADAP TRADISI
MARPEGE-PEGE DI BATAK ANGKOLA Oleh Puji Kurniawan Dosen Fakultas Syariah Dan
Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan’, Yurisprudentia,
2.2 (2016), 35–53 <http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/yurisprudentia/article/view/670>.
[9]Barkah
Hadamean Harahap, ‘Urgensi Media Rakyat Di Kota Padangsidimpuan Dan Tapanuli
Bagian Selatan (Perspektif Sistem Komunikasi)’, Hikmah, VI.01 (2012), 97–109
<http://repo.iain-padangsidimpuan.ac.id/205/1/Barkah Hadamean
Harahap1.pdf>.
[11]Heri
Aisyah, Siti & Effendi, ‘Bentuk Revitalisasi Tradisi Marpege-Pege
Masyarakat Benteng Huraba Tapanuli Selatan Pada Era Globalisasi’, Jurnal Education and Development STKIP
Tapanuli Selatan, 7.1 (2017), 56–62.
[12]Bahraini Lubis (Tokoh Adat Tapanuli Selatan), Wawancara
pada Hari Rabu, 20 Februari 2019. Pukul 14.00 Wib.
[13]Lihat Alquran Surat Al-Maidah
ayat 2.
[14]Muhammad Bin Ismāīl Bin Ibrāhīm
Bin al-Mughīrah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari, Ṣahīh al-Bukhārī (Beirūt:
Dār Ibnu Katsīr, 2002) No. 6011), Lihat juga pada Muslim, Abul Husain Muslim
bin al-Hajjaj Bin Muslim Bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ṣahīh Muslim
(Mesir: Dār Taybah, 2006) No. 2586, Ahmad bin hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Bin
Hanbal (Beirūt: Yayasan ar-Risālah, 2009) jilid IV, h. 270.
[15]Irham
Dongoran, ‘TINJAUAN HUKUM ISLĀM TERHADAP TRADISI MARTAHI DALAM PERNIKAHAN SUKU
BATAK DI KECAMATAN DOLOK’, Jurnal WARAQAT,
II.1 (2017), 66–82 <http://assunnah.ac.id/ejournal/uploads/jurnal/2vol1/4.pdf>.
[16]Asep Safa’at, Wawancara, Pada hari Selasa, 23 Juli
2019 Pukul 11.38 Wib.
[17]Martahi yaitu suatu tradisi
kebudayaan yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tradisi ini menunjukkan
suatu kegiatan ….
[18]Bahraini Lubis (Tokoh Adat Tapanuli Selatan) Sekarang
tinggal di Desa Pintupada Kecamatan Batang Angkola, Wawancara pada Hari Rabu, 20 Februari 2019. Pukul 14.00 Wib.
[19]Asep Safa’at, Wawancara, Pada hari Selasa, 23 Juli
2019 Pukul 11.38 Wib.
[20]Pauji Rahmad (Hatobangon),
Miswaruddin (Alim Ulama), Hamli
Sitompul (Kepling I) Kelurahan
Sigalangan Kecamatan Batang Angkola, Wawancara,
Pada hari Rabu, 3 Juli 2019 Pukul
14. 20 Wib.
[21]Manan Pulungan, Wawancara, Pada Senin, 1 Juli 2019 Pukul
10.30 Wib.