Wednesday, August 21, 2019

TRADISI MARPEGE-PEGE PADA MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

Dr. Muhammad RoihanDaulay, M.A
Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan
Email: daulaymuhammadroihan@gmail.com

 TRADISI MARPEGE-PEGE PADA MASYARAKAT TAPANULI SELATAN


Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat tradisi marpege-pege pada masyarakat Tapanuli Selatan. Penelitian ini akan mengungkap tradisi marpege-pege sebagai suatu bagian yang tidak bisa terlepas dari bumi dalihan na tolu (tungku yang tiga) . Metode penelitian ini adalah kualitatif dan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan tradisi marpege-pege di Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Sayurmatinggi berjalan secara dinamis. Kedinamisan tersebut dapat dilihat dari adanya yang tetap melaksanakan seperti biasa, dan ada juga yang sudah dirubah seperti yang terdapat di Desa Sipange, dan   ada juga yang sudah tidak diterapkan lagi seperti di Kelurahan Sigalangan tepatnya di lingkungan I.

Kata kunci: Tradisi, marpege-pege, Masyarakat Tapanuli Selatan

Abstract
The purpose of this study is to see the tradition of marpege-pege on the people of South Tapanuli. This study will uncover the tradition of marpege-pege as a part that cannot be separated from the earth of dalihan na tolu (three stoves) . This research method is qualitative and descriptive approach. The results of this study are that the implementation of the marpege-pege tradition in Batang Angkola District, Sayurmatinggi District runs dynamically. The dynamism can be seen from the existence of those who continue to carry out as usual, and there are also those that have been changed such as those in Sipange Village, and there are also those that have not been implemented again like in the Sigalangan Village in I.

Keyword: Tradition, marpege, Society of South Tapanuli

Pendahuluan
Tradisi yang dilahirkan oleh manusia adalah adat istiadat, yakni kebiasaan namun lebih ditekankan kepada kebiasaan yang bersifat suprantural yang meliputi dengan nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.[1] Tradisi yang ada dalam suatu komunitas ini merupakan hasil turun temurun dari leluhur atau dari nenek moyang.
Tradisi juga merupakan bahagian dari budaya yang senantiasa dilaksanakan oleh masyrakat secara turun-temurun. Marpege-pege (tradisi mengumpulkan uang dan bisa juga diartikan dengan kegiatan saling tolong-menolong bagi keluarga calon mempelai pria baik secara materil maupun non-materil) merupakan suatu bahagian dari tradisi lokal Tapanuli  Selatan. Adanya akulturasi budaya telah menghasilkan pengaruh serta nilai-nilai yang khas di Indonesia.[2] Guna mengetahui lebih lanjut tentang tradisi marpege-pege maka berikut ini akan dijelaskan tentang konsep tradisi dan marpege-pege tersebut sehingga akan lebih mudah untuk memastikan realitas tradisi marpege-pege khususnya di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Pembahasan
1.Pengertian Tradisi
Dilihat pada pembentukan kata bahwa budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi berarti akal, kecerdikan, kepintaran dan kebijaksanaan, sedangkan ‘daya’ memiliki arti ikhtiar, usaha atau muslihat.[3] Istilah budaya menurut Dedi Supriyadi mengatakan bahwa budaya (culture) dapat dipahami sebagai pembangunan yang didasarkan atas kekuatan manusia, baik pembangunan jiwa, pikiran dan semangat melalui latihan dan pengalaman, bukti nyata pembangunan intelektual seperti seni dan pengetahuan. Dengan demikian secara sederhana, dapat dipahami bahwa, kebudayaan merupakan segala sesuatu hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.[4] Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Perasaan yang terdiri dari jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat, antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.[5] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi diartikan dengan suatu adat kebiasaan secara turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.
 Selain hal di atas, tradisi juga dapat dipahami sebagai suatu Penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.[6] Istilah   tradisi,   yang   berasal   dari    kata bahasa Inggris   tradition,  sering  juga  disamakan  dengan  lafaz bahasa Arab  ‘adah.  Istilah   ini  dipergunakan   untuk  menunjuk  desain  atau pola   perilaku dan  kegiatan   tertentu  menurut standar baku dalam bidangnya masing-masing yang sering dilakukan oleh masyarakat.
Lanjut dikemukakan oleh Agung Setiyawan dalam tulisannya yang mengatakan bahwa kearifan lokal yang ada dalam suatu masyarakat merupakan sebuah adat/tradisi yang sudah mengakar kuat dan berpengaruh terhadap kehidupan keseharian masyarakat setempat.[7]
Berdasarkan keterangan depenisi di atas dapat dipahami bahwa tradisi merupakan suatu bahagian dari budaya yang telah turun-temurun serta dijalankan oleh masyarakat berupa adanya hasil karya, cipta, karsa manusia dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini marpege-pege termasuk bahagian dari budaya yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2.Pengertian marpege-pege
Secara bahasa marpege-pege adalah suatu tradisi markumpul hepeng (mengumpulkan uang) yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk membantu calon suami menyediakan mahar (uang) yang telah ditetapkan pihak perempuan[8]. Barkah Hadamean Harahap menjelaskan bahwa istilah marpege-pege tersebut adalah merupakan suatu alat komunikasi guna mengumpulkan warga untuk dapat bertemu dalam suatu agenda adat.[9]
Secara prinsipil, bahwa marpege- pege merupakan hasil budaya masa lalu yang sudah turun-temurun yang dianggap sebagai suatu nilai, aturan, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat. Hal semacam ini sering disebut dengan istilah, patik, uhum, ugari.[10] Ketiga aspek ini baik sehingga patut secara terus-menerus dijadikan sebagai views of life (pandangan hidup). Tradisi marpege-pege ini juga adalah hasil dari pemikiran para pendahulu di wilayah Tapanuli Selatan sehingga menjadi suatu cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai persoalan hidup dalam berbagai iklim sosial yang secara dinamis[11].
Berdasarkan konsep di atas dapat dipahami bahwa marpege-pege merupakan suatu tradisi yang telah ada sejak sekian lama. Tradisi ini menjadi sebuah sarana untuk saling bertemu, membantu anggota masyarakat secara bersama khususnya bagi kaum lelaki yang akan menikah. Seperti halnya yang dikatakan oleh Bahraini Lubis sebagai Tokoh Adat di Tapanuli Selatan mengatakan bahwa:
Marpege-pege itu berasal dari bahasa Tapanuli Selatan yaitu pege  yang bermakna jahe. Jika dilihat dari kacamata filosofis pege (jahe), maka pege rasanya pedas dan biasa digunakan untuk membuat minuman bandrek. Minuman bandrek ini juga akan ikut terasa pedas apabila dicicipi dengan lidah.[12]

Beranjak dari filosofi tersebut, maka sepedas apapun kehidupan ini haruslah dirasakan oleh setiap manusia. Artinya manusia sebagai anggota masyarakat sudah sepantasnya turut dalam memberikan rasa kebersamaan terhadap anggota masyarakat lainnya yang sedang membutuhkan bantuan baik secara materil maupun secara pikiran. Oleh karena itulah, tradisi marpege-pege sangat identik dengan mengumpulkan hepeng (uang)  untuk diberikan kepada pengantin pria yang akan mangalap boru (menjemput pengantin wanita). Untuk mengetahui apa saja tujuan marpege-pege dapat dijelaskan pada penjelasan berikut.
3.Tujuan marpege-pege
Tujuan marpege-pege sebagai sebuah tradisi ternyata memiliki tujuan yang sangat menarik. Adapun tujuan marpege-pege adalah sebagai berikut. Pertama, jika dilihat dari sudut filosofi bahwa marpege-pege tersebut berasal dari pege. Sedangkan pege dalam bahasa Angkola dimaknai dengan jahe. Oleh karena itu, jahe tersebut rasanya pedas. Pedasnya jahe atau pege memberikan tamsilan (perumpamaan) kepada masyarakat bahwa setiap manusia pasti akan merasakan betapa pedasnya hidup ini. Misalnya ekonomi yang sangat sulit menjadi gambaran pada manusia untuk bisa dibantu melalui acara marpege-pege (mengumpulkan duit). Oleh karena itu, tujuan marpege-pege dalam hal ini adalah untuk membantu masyarakat yang hendak menjemput pengantin wanita untuk dinikahi. Kedua, jika dilihat dari sudut pandang agama, maka marpege-pege bertujuan untuk menolong dalam kebenaran sebagaimana firman Allah swt pada Alquran Surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.[13]

Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa marpege-pege merupakan bentuk solidaritas yang dapat membantu siapapun yang akan menikah. Oleh karena itu, sekali lagi dalam pandangan agama Islam bahwa tujuan marpege-pege adalah dapat membantu beban orang lain yang sedang membutuhkan dana dalam menjalankan pernikahannya. Rasulullah dalam hadisnya menyampaikan bahwa:
Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayangmenyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.[14]

Indahnya tradisi (tradition) tolong-menolong, saling peduli dan saling membantu saudaranya sangatlah dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan, salah satu bentuk wujud tolong-menolong tersebut adalah adanya tradisi marpege-pege yang sudah sangat membudaya dan selalu eksis selama bertahun-tahun lamanya. Tradisi martahi (musyawarah) ini adalah tradisi yang dilakukan pra pesta pernikahan yang dilakukan oleh warga dan masyarakat setempat, biasanya dalam tradisi marpege-pege Kabuapten Tapanuli Selatan, keluarga dari pihak pengantin laki-laki mendatangi berbagai daerah dan kampung terdekat, dengan maksud untuk mengundang mereka agar hadir dalam acara marpege-pege. Tradisi Martahi ini adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat (orang tua yang hendak menikahkan anaknya), dengan cara mengundang seluruh koum (kirabat), teman sejawat dan anggota masyarakat desa terdekat dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah uang yang akan dipergunakan untuk keperluan dana pernikahan tersebut.
Selanjutnya pada daerah yang lain istilah marpege-pege ini disebut juga dengan istilah martahi.[15] Martahi pasahat karejo adalah suatu tradisi musyawarah yang dilaksanakan oleh pihak keluarga dan masyarakat setempat yang mewajibkan semua pastak-pastak ni parhutaon (elemen masyarakat) yang terlibat dalam suatu acara.

4.Manfaat marpege-pege
 dengan si miskin. Hubungan timbal baik yang tidak bisa dipisahkan ini terus berjalan pada setiap lini kehidupan manusia sesuai dengan tempat di mana mereka tinggal. Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki tradisi lokal atau yang sering disebut dengan marpege-pege. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa marpege-pege menjadi suatu tradisi lokal yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam tradisi ini terdapat sejumlah nilai yang bisa dicontoh oleh daerah lain. Sebagai tradisi lokal, marpege-pege ini juga memiliki manfaat bagi masyarakat luas. Di antaranya adalah, bahwa dengan kegiatan ini maka masyarakat akan terbantu secara ekonomi. Selain itu, marpege-pege juga akan dapat memuluskan pekerjaan yang beratt akan terasa ringan.
Selanjutnya pada  masyarakat Sipirok misalnya, istilah marpege-pege ini tidak dikenal. Mereka hanya mengenal istilah Martahi  (nama acaranya) sedangkan martuppak  (memberikan uang kepada keluarga pengantin pria).[16] Namun, walapun demikian istilah martahi ini pada hakikatnya memliki kesamaan jika dilihat daru subtansinya. Marpege-pege dan martahi[17] adalah dua hal tradisi yang bertujuan untuk memudahkan urusan pengantin pria yang akan menikah baik secara materil maupun non-materil.
Metode penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif pendekatan deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan menetapkan tiga kecamatan sebagai lokasi penelitian. Adapun ketiga lokasi tersebut adalah Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Sayurmatinggi, Kecamatan Angkola Muaratais.

Hasil dan pembahasan
1.      Kecamatan Batang Angkola
Pelaksanaan marpege-pege di Kecamatan Batang Angkola di satu sisi masih tetap diperhatahankan. Seperti yang dikemukakakn oleh Bahraini Lubis yang menyatakan bahwa:
Marpege-pege adalah suatu tradisi di huta (desa) kita ini. Dengan tradisi marpege-pege ini dapat menciptakan suasana saling melengkapi antara satu pihak dengan pihak lain.[18] Kegiatan ini dapat menumbuhkan ikatan persaudaraan dalam bermasyarakat. Dalam kegiatan ini terdapat musyawarah secara bersama-sama oleh pastak-pastak ni parhutaon (elemen masyarakat) mulai dari kahanggi, anak boru dan mora suhut.

Setelah melakukan analisis terhadap wawancara tersebut, maka dapat dipahami bahwa tradisi marpege-pege di Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan sampai saat ini tetap berjalan dengan baik sesuai dengan tradisi yang dilakukan oleh para tokoh-tohoh adat terdahulu. Istilah marpege-pege ini ternyata tidak ditemukan di daerah sipirok dan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Asep safa’at sebagai warga Parsuluman Kecamatan Sipirok Dolok Hol yang mengatakan bahwa:
Di desa parsulumun tidak pernah didengar istilah marpege-pege ini. Namun, perlu saya jelaskan bahwa setiap orang yang akan menjemput pengantin wanita, maka diselenggarakanlah acara martahi. Acara martahi ini adalah suatu tradisi lokal yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Acara ini akan dihadiri oleh semua elemen masyarakat yang agenda pertemuan tersebut adalah untuk membicarakan tentang mangalap boru (menjemput pengantin wanita). Biasanya yang hadir hanya barisan kahanggi saja ditambah dengan pastak-pastak ni parhutaon (mora, kahanggi, anak boru).[19]

Berasarkan beberapa keterangan dari informan di atas dapat dipahami bahwa pelaksanaan marpege-pege tersebut dilakukan dengan aturan sebagai berikut. Pertama,  semua unsur keluarga terdekat akan mengadakan musyawarah kecil hanya bagi keluarga kecil saja seperti ayah, ibu, dan anak. Pertemuan ini disebut dengan pokat  sabagas (musyawarah satu rumah). Musyawarah ini akan membicarakan tentang siapa saja hatobangan dan unsur-unsur yang akan diundang, seterusnya disampaikanlah undangan kepada seluruh masyarakat dengan mengumumkannya di masjid. Tiba pada harinya, maka semua masyarakat yang berkesempatan hadir akan berkumpul di rumah suhut (punya pesta). Acara selanjutnya adalah berbicaralah suhut yang dipersilahkan oleh orang kaya (moderator atau pemandu acara adat) untuk menyampaikan apa hajatan kenapa diundang. Akhirnya suhut sihabolonan akan menyampaikan semua  maksud dan tujuan, termasuk membicarakan tentang anaknya laki-laki yang akan melangsungkan pernikahan maka dari itu kiranya semua hadirin dapat memberikan bantuan baik secara materil (memberikan uang sumbangan) maupun non-materil (tenaga, pikiran) guna mensukseskan acara yang dimaksud. Acara ini biasanya akan dihadiri oleh seorang raja panususnan, hatobangon, alim ulama, pemerintahan desa, guna memberikan legitimasi atas hajatan tersebut serta memberikan penguatan dalam acara marpege-pege tersebut. Inilah secara ringkas pelaksanaan marpege-pege yang sampai saat ini masih dilaksanakan di Kecamatan Batang Angkola.
Akan tetapi perlu disampaikan juga bahwa, di antara sekian desa di Kecamatan Batang Angkola, maka terdapat juga sebagai temuan di Sigalangan bahwa istilah marpege-pege sudah tidak diterapkan lagi. Hal ini dapat dilihat  bahwa ketika mangalap boru adalah dimana pihak keluarga laki-laki menjeput pihak perempuan sesuai kesepakatan yang telah dijanjikan. Perkawinan dengan corak dipabuat harus direstui oleh kedua orang tua baik lelaki maupun dan perempuan telah dibicarakan secara adat terlebih dahulu. Hal ini berarti bahwa simempelai perempuan berangkat dari rumah orang tuanya setelah selesai urusan adat dan horja, baik upacara adat besar maupun kecil yang disesuaikan dengan kemampuan orang tua si mempelai perempuan. Perkawinan dengan dipabuat merupakan corak yang saat dianjurkan dimana pihak laki-laki dan perempuan sama-sama merestui perkawinan tersebut. Seperti di kelurahan Sigalangan acara mangalap boru yang pertama dilakukan adalah melamar/manulak sere dan tradisi adat/pesta pernikahan. Selanjutnya di kelurahan Sigalangan ini tidak ada lagi istilah marpege-pege.[20]
Foto Bersama Kepling I Kelurahan Sigalangan
Kecamatan Batang Angkola Pada Tanggal 3 Juli 2019.

2.      Kecamatan Sayurmatinggi
Adapun pelaksanaan marpege-pege di Kecamatan Sayurmatinggi sampai saat ini masih tetap dilaksanakan dengan formulasi biasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manan Pulungan sebagai Hatobangon di Desa Aek Badak Julu mengatakan bahwa:
Tadisi marpege-pege ini sampai saat ini masih terus dilaksanakan di Aek Badak Julu ini. Kegiatan ini tetap diumumkan di Masjid Nurussa’adah Desa Aek Badak Julu Kecamatan Sayurmatinggi. Maka semua masyarakat akan berkumpul di rumah yang memiliki hajat atau pesta pernikahan dalam hal ini (rumah pengantin pria). Setelah semua berkumpul, barulah orang kaya (moderator atau pembawa acara adat di Kabupaten Tapanuli Selatan) memulai acara demi acara. Kebiasaan marpege-pege di Aek Badak tetap memasak pulut sebagai makanan untuk dikonsumsi pada acara marpege-pege tersebut. Perlu disampaikan bahwa acara marpege-pege ini hanya dilksanakan di rumah pengantin pria saja dan tidak dilaksanakan di tempat pengantin perempuan.[21]

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan marpege-pege di Kecamatan Sayurmatinggi sampai saat ini tetap masih dilaksanakan.
Adapun pelsanaan marpege-pege tersebut adalah dimana keluarga yang akan menjemput boru (pengantin laku-laki) akan mengadakan musyawarah dengan istilah mangan sipulut (makan pulut disertai dengan kelapa yang dicampur dengan gula merah) sebagai pertanda aka nada acara marpege-pege yang diadakan di malam hari.
Sekalipun pada daerah lain sudah ada yang merubah makanannya namun masakan yang akan dikonsumsi di kecamatan Sayurmatinggi tetap mempertahakan sipulut (pulut) sebagai ciri khas yang menggambarkan betapa lengketnya pulut tersebut. Karena dengan makan pulut ini diharapkan semua elemen masyarakat akan betul-betul ikut dalam mensukseskan acara mangalap boru (pengantin wanita) tersebut. Begitu juga halnya dengan Desa Aek Badak Jae, Kelurahan Sayurmatinggi semuanya tetap menjalankan acara marpege-pege sebagai suatu tradisi masyarakat yang akan menjemput boru (pengantin wanita).
Selanjutnya, hasil perbincangan dengan salah seorang hatobangon (pengemuka adat di sipange) yang benama Pamosuk Pulungan[22] telah menjelaskan bahwa acara marpege-pege tersebut masih sangat dilematis. Namun, sebelum  membicarakan tentang marpege-pege perlu saya jelaskan sedikit tentang aturan mangalap boru. Karena mangalap boru inilah yang menjadi awal munculnya istilah marpege-pege. Mangalap boru yaitu acara mempelai laki-laki. Selain di rumah mempelai perempuan, di rumah mempelai laki-laki juga memiliki beberapa susunan acara. Adapun susunan acara, yaitu:
1)      Mananya calon pengantin wanita, yaitu melamar calon mempelai perempuan yang dihadiri oleh calon mempelai laki-laki dan kahanggi.
2)      Patobang hata (menunjukkan keseriusan) kepada keluarga si calon mempelai wanita, yaitu setelah melamar selanjutnya adalah bertanya untuk kedua kalinya atau memastikan jawaban dari calon mempelai perempuan, ini dihadiri oleh keluarga perempuan, kahanggi, dan anak boru.
3)      Pataru hepeng sahatan, (mengantarkan mahar/uang) yaitu mengantar uang mahar ke rumah mempelai perempuan. Acara ini dihadiri dari kaum mempelai laki-laki yairu kahanggi, anak boru, hatobangaon dan begitu juga dari kaum mempelai perempuan.
4)      Mangalap boru, yaitu pesta untuk menjemput mempelai perempuan. Sebelum berangkat masih ada acara “Kobar adat”, yaitu memberikan nasihat kepada rombongan “pangalap boru”. Adapun rombongannya adalah kahanggi, anak boru, hatobangon, bayo pangoli (pandongani), dan nauli bulung.
5)      Manjagit boru, yaitu menyambut kedua mempelai. Biasanya mereka akan disambut di depan pintu dengan membuat “kulit pisang dengan beras dan bungan dingin-dingin (suatu kulit batang pisang yang di dalamnya diletakkan berbagai macam bunga) di atasnya” untuk di injak oleh mempelai perempuannya. Dan di tabur dengan beras kuning.
6)      Malehen mangan, (memberi makan) setelah di sambut kedua mempelai akan di beri makan nasi oleh-oleh yang dibawa oleh rombongan. Yaitu nasi dengan telor, satu ekor ayam yang sudah digulai dan dipotong-potong yang dibungkus oleh daun pisang dan kain “bugis(nama kain adat) serta diberi “jagar-jagar”(symbol adat) diikatkan di atasnya.
7)      Acara ini dihadiri oleh kahanggi, anak boru, hatobangon, harajaon, dan rombongan “pangalap boru(penjemput boru). 
Lanjut dijelaskan oleh Pamosuk Pulungan[23] yang memberikan gambaran bahwa:
Marpege-pege di Desa Sipange ini sebenarnya tetap kita laksanakan sesuai dengan kebiasaan di desa ini. Tujuannya adalah untuk membantu pihak suhut dalam menikahkan anaknya dengan wanita atau calon mempelai wanita yang jauh maupun dekat. Sehingga, keluarga yang akan menjemput ini sebenarnya bermaksud untuk dibantu sesuai dengan kemampuan semua anggota masyarakat. Hanya saja kalau di Desa Sipange ini sekarang sudah diperkecil ranahnya. Sehingga kalaupun ada yang marpege-pege tersebut itu hanya antar kahanggi (Keluarga dekat saya) saja. Sedangkan secara kolektif ini sudah tidak diterapkan lagi. Untuk itu, besar harapan jika dikembalikan ke cara semula. Dimana Seluruh masyarakat terlibat dalam hal marpege-pege ini, sehingga masalah yang berat akan terasa ringan, masalah yang sedikit akan terasa banyak jika dilakukan dengan pola kebersamaan.

Berdasarkan dari penjelasan di atas bahwa tradisi marpege-pege tetap dijalankan dengan baik meskipun hanya sebatas keluarga terdekat. Namun, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh beliau bahwa tardisi marpege-pege secara universal kiranya bisa terwujud kembali di Desa Sipange Kecamatan Sayurmatinggi dengan alasan bahwa jika dilakukan dengan bersama-sama secara banyak orang maka masalah itu akan semakin mudah diselesaikan dan jika uang yang dibutuhkan itu masih sedikit maka akan terasa mudah jika bersama-sama ditanggung.
Foto Bersama Pamosuk Pulungan
Kecamatan Sayurmatinggi pada tanggal, 23 Maret 2019.

Penutup
Tradisi marpege-pege dulunya menjadi suatu tradisi lokal di Tapanuli Selatan. Tradisi ini pada akhirnya mengalami perubahan secara dinamis. Adapun Pelaksanaan marpege-pege di satu sisi tetap berjalan seperti di Desa Pintupadang Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun pada sisi yang lain bahwa kegiatan marpege-pege ini sudah tidak dilaksanakan lagi. Hal ini sesuai dengan pengakuan Kepling I Kelurahan Sigalangan. Sedangkan pelaksanaan marpege-pege di Desa Aek Badak Julu, Jae dan Kelurahan Sayurmatinggi masih tetap dilaksanakan seperti mana biasanya. Hanya saja untuk Desa Sipange tetap dilaksanakan dengan cara yang berbeda dimana yang diundang hanya sebatas keluarga dekat saja dalam dalam bahasa angkola disebut dengan sa kahanggi (hanya keluarga pihak ayah dan ibu saja. Dengan demikian dalam penelitian ini menemukan sebuah temuan baru dimana adanya perubahan secara dinamis baik itu dalam bentuk pelaksanaan maupun terjadinya perubhan secara total bahkan hilangnya tradisi marpege-pege tersebut. Untuk itu, penulis memberikan suatu masukan berupa saran kepada peneliti berikutnya agar penelitian seperti ini dilanjutkan pada sisi normartif, historis dan sebagainya.


Daftar Pustaka

Sumber Jurnal:

Robi Darwis, ‘TRADISI NGARUWAT BUMI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kampung Cihideung Girang Desa Sukakerti Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang)’, Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya, 2.1 (2017), 75–83 <file:///C:/Users/User/Downloads/2361-6148-1-PB.pdf>.

DOFARI, ‘PENGARUH BUDAYA NUSANTARA TERHADAP IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ISLAM DI INDONESIA’, Fitrah, 04.2 (2018), 283–96 <https://doi.org/: ttp://dx.doi.org/10.24952/fitrah.v4i2.947>.

Buhori, ‘ISLAM DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA’, Al-Maslahah, 13.2 (2017), 229–46 <file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI MARPEGE-PEGE/926-2551-1-SM.pdf>.

Setiyawa Agung, ‘BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam’, Esensia, XIII.2 (2012), 203–21 <file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI MARPEGE-PEGE/738-1212-1-PB.pdf>.

Puji Kurniawan, ‘MEMAHAMI PERTAUTAN AGAMA DAN BUDAYA STUDI TERHADAP TRADISI MARPEGE-PEGE DI BATAK ANGKOLA Oleh Puji Kurniawan Dosen Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan’, Yurisprudentia, 2.2 (2016), 35–53 <http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/yurisprudentia/article/view/670>.

Barkah Hadamean Harahap, ‘Urgensi Media Rakyat Di Kota Padangsidimpuan Dan Tapanuli Bagian Selatan (Perspektif Sistem Komunikasi)’, Hikmah, VI.01 (2012), 97–109 <http://repo.iain-padangsidimpuan.ac.id/205/1/Barkah Hadamean Harahap1.pdf>.   

Heri Aisyah, Siti & Effendi, ‘Bentuk Revitalisasi Tradisi Marpege-Pege Masyarakat Benteng Huraba Tapanuli Selatan Pada Era Globalisasi’, Jurnal Education and Development STKIP Tapanuli Selatan, 7.1 (2017), 56–62.

Muhammad Bin Ismāīl Bin Ibrāhīm Bin al-Mughīrah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari,  Ṣahīh al-Bukhārī (Beirūt: Dār Ibnu Katsīr, 2002) No. 6011), Lihat juga pada Muslim, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj Bin Muslim Bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ṣahīh Muslim (Mesir: Dār Taybah, 2006) No. 2586, Ahmad bin hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Bin Hanbal (Beirūt: Yayasan ar-Risālah, 2009) jilid IV, h. 270.

Irham Dongoran, ‘TINJAUAN HUKUM ISLĀM TERHADAP TRADISI MARTAHI DALAM PERNIKAHAN SUKU BATAK DI KECAMATAN DOLOK’, Jurnal WARAQAT, II.1 (2017), 66–82 <http://assunnah.ac.id/ejournal/uploads/jurnal/2vol1/4.pdf>.


Sumber Buku:
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008. 
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. 


Sumber Wawancara:
       
Pamosuk  Pulungan, Wawancara, pada Tanggal, 23 Maret 2019.
Manan Pulungan, Wawancara, Pada Senin, 1 Juli 2019 Pukul 10.30 Wib.
Asep Safa’at, Wawancara, Pada hari Selasa, 23 Juli 2019 Pukul 11.38 Wib.
Pauji Rahmad (Hatobangon), Miswaruddin  (Alim Ulama), Hamli Sitompul  (Kepling I) Kelurahan Sigalangan Kecamatan Batang Angkola, Wawancara,  Pada hari Rabu, 3 Juli 2019 Pukul 14. 20 Wib.

Bahraini Lubis (Tokoh Adat Tapanuli Selatan), Wawancara pada Hari Rabu, 20 Februari 2019. Pukul 14.00 Wib.







                                                                                                           



[1]Robi Darwis, ‘TRADISI NGARUWAT BUMI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT (Studi Deskriptif Kampung Cihideung Girang Desa Sukakerti Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang)’, Religious: Jurnal Studi Agama-Agama Dan Lintas Budaya, 2.1 (2017), 75–83 <file:///C:/Users/User/Downloads/2361-6148-1-PB.pdf>.
[2]DOFARI, ‘PENGARUH BUDAYA NUSANTARA TERHADAP IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ISLAM DI INDONESIA’, Fitrah, 04.2 (2018), 283–96 <https://doi.org/: ttp://dx.doi.org/10.24952/fitrah.v4i2.947>.
[3]Buhori, ‘ISLAM DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA’, Al-Maslahah, 13.2 (2017), 229–46 <file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI MARPEGE-PEGE/926-2551-1-SM.pdf>.
[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 16. 
[5]Supriyadi, Sejarah Peradaban…, h.  18.
[6]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1543. 
[7]Setiyawa Agung, ‘BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam’, Esensia, XIII.2 (2012), 203–21 <file:///D:/REFERENSI JURNAL TRADISI MARPEGE-PEGE/738-1212-1-PB.pdf>.
[8]Puji Kurniawan, ‘MEMAHAMI PERTAUTAN AGAMA DAN BUDAYA STUDI TERHADAP TRADISI MARPEGE-PEGE DI BATAK ANGKOLA Oleh Puji Kurniawan Dosen Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan’, Yurisprudentia, 2.2 (2016), 35–53 <http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/yurisprudentia/article/view/670>.
[9]Barkah Hadamean Harahap, ‘Urgensi Media Rakyat Di Kota Padangsidimpuan Dan Tapanuli Bagian Selatan (Perspektif Sistem Komunikasi)’, Hikmah, VI.01 (2012), 97–109 <http://repo.iain-padangsidimpuan.ac.id/205/1/Barkah Hadamean Harahap1.pdf>.               
[10]Patik, uhum, ugari merupakan suatu istilah aturan yang terdapat di Masyarakat Tapanuli Selatan.
[11]Heri Aisyah, Siti & Effendi, ‘Bentuk Revitalisasi Tradisi Marpege-Pege Masyarakat Benteng Huraba Tapanuli Selatan Pada Era Globalisasi’, Jurnal Education and Development STKIP Tapanuli Selatan, 7.1 (2017), 56–62.
[12]Bahraini Lubis (Tokoh Adat Tapanuli Selatan), Wawancara pada Hari Rabu, 20 Februari 2019. Pukul 14.00 Wib.
[13]Lihat Alquran Surat Al-Maidah ayat 2.
[14]Muhammad Bin Ismāīl Bin Ibrāhīm Bin al-Mughīrah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari,  Ṣahīh al-Bukhārī (Beirūt: Dār Ibnu Katsīr, 2002) No. 6011), Lihat juga pada Muslim, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj Bin Muslim Bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ṣahīh Muslim (Mesir: Dār Taybah, 2006) No. 2586, Ahmad bin hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Bin Hanbal (Beirūt: Yayasan ar-Risālah, 2009) jilid IV, h. 270.
[15]Irham Dongoran, ‘TINJAUAN HUKUM ISLĀM TERHADAP TRADISI MARTAHI DALAM PERNIKAHAN SUKU BATAK DI KECAMATAN DOLOK’, Jurnal WARAQAT, II.1 (2017), 66–82 <http://assunnah.ac.id/ejournal/uploads/jurnal/2vol1/4.pdf>.
[16]Asep Safa’at, Wawancara, Pada hari Selasa, 23 Juli 2019 Pukul 11.38 Wib.
[17]Martahi yaitu suatu tradisi kebudayaan yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tradisi ini menunjukkan suatu  kegiatan ….
[18]Bahraini Lubis (Tokoh Adat Tapanuli Selatan) Sekarang tinggal di Desa Pintupada Kecamatan Batang Angkola, Wawancara pada Hari Rabu, 20 Februari 2019. Pukul 14.00 Wib.
[19]Asep Safa’at, Wawancara, Pada hari Selasa, 23 Juli 2019 Pukul 11.38 Wib. 
[20]Pauji Rahmad (Hatobangon), Miswaruddin  (Alim Ulama), Hamli Sitompul  (Kepling I) Kelurahan Sigalangan Kecamatan Batang Angkola, Wawancara,  Pada hari Rabu, 3 Juli 2019 Pukul 14. 20 Wib.
[21]Manan Pulungan, Wawancara, Pada Senin, 1 Juli 2019 Pukul 10.30 Wib.
[22]Pamosuk  Pulungan, Wawancara, pada Tanggal, 23 Maret 2019.
[23]Pamosuk  Pulungan, Wawancara, pada Tanggal, 23 Maret 2019.